Kegelandangan sebuah Tema Baru
Novel Ziarah sebagaimana novel Iwan Simatupang yang lain, bertemakan "kegelandangan". Â Kegelandangan di sini memiliki pengertian kegelandangan material dan spiritual. Â
Kegelandangan material dapat dilihat dari kehidupan tokoh protagonis: pelukis yang tidak pernah terlihat hidup layak sebagaimana kehidupan manusia pada umumnya. Â Setelah kematian istrinya ia menjalanni kehidupan menggelandang dalam arti sesungguhnya: miskin, tidak memiliki penghasilan tetap, hidup acak-acakan, tempat tinggal yang tidak terurus: sebuah kamar kecil, di satu rumah kecil, dan di pinggir kota kecil. (Ziarah, hal. 1)
Kehidupan menggelandang semacam ini disebabkan oleh kematian istrinya dan ini membuat cita rasa hidupnya menjadi hampa. Â Satu hal yang rutin dilakukannya adalah dia bangun pagi hari lalu menyusuri sebuah tikungan dengan harapan bakal ketemu dengan istrinya. Â
Pelukis hidup dengan imaji-imajinya tanpa pernah berusaha menerima keadaan yang sebenarnya ia alami. Â Maka dia tidak lagi memperhatikan kondisi fisiknya dan hidup sebagaimana layaknya manusia. Â Inilah awal dari proses kegelandangannya.Â
Dari kehidupan kegelandangan ini, Iwan Simatupang ingin menunjukkan kepada pembacanya bahwa kehidupan manusia tidak tergantung pada materi. Â Ada suatu nilai yang harus lebih diperjuangkan manusia dalam kehidupannya, yakni tentang bagaimana manusia menghargai hidup itu sendiri, merasa suka cita dan memiliki pengharapan meski tanpa bekal materi.
Dalam keadaan "miskin" semacam ini, tokoh pelukis sengaja dihadapkan pada persoalan-persoalan yang menguji keampuhannya dalam satu keadaan baru yakni keadaan dari tepi-tepi terakhir kemanusiaan itu sendiri. Â
Pelukis pada akhirnya dapat lolos dari ujian iini. Â Terbukti bahwa dia dapat menerima kematian istrinya yang ditunjukkannya ketika pelukis mengapur tembok pekuburan dengan tenang bahkan pada akhir cerita dia justru ingin menjadi opseter pekuburan baru, setelah opseter sebelumnya bunuh diri. Â Dengan menjadi opseter, ia beranggapan bahwa ia melakukan ziarah pada kemanusiaan.
Tokoh-tokoh Tanpa Nama
Sebagaimana dalam novel-novel Iwan Simatupang yang lain, dalam Ziarah ini tokoh protagonis tidak diberi nama hanya disebut sebagai pelukis saja. Â
Jika dalam Merahnya Merah masih ada tokoh Fifi, maria dan Icih, di dlam Ziarah ini, cukup disebut tokoh-tokohnya yang lain adalah walikota, opseter, bekas mahasiswa, maha guru filsafat, dan beberapa tokoh lain yang disebut berdasarkan jabatannya. Â Hal ini barangkali disebabkan konsep Iwan bahwa nama tidak penting, sebab di sorga tak ada kartu nama. (Ziarah, 89)