Keluarga kami yang berasal dari Desa Dompon, Tambang, Mlaur dan sekitarnya di Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang cukup banyak yang menjadi pedagang ayam di Semarang, sejak di Pasar Johar, kemudian pindah ke Pasar Kobong dan sekarang ini di Pasar Penggaron Pedurungan Semarang. Â Cerita awalnya, mbah putri saya yang bernama Mbah Sunten karena suatu hal bersama dengan suaminya atau mbah Kakung urbanisasi dari desa Dompon ke Semarang mencari penghidupan baru. Â Mereka melakukan "bara" dalam bahasa Jawa yang kurang lebih berarti mengembara.Â
Mbah Sunten mencoba berjualan ayam di Pasar Johar lantai atas Semarang, sedang suaminya, Mbah Atmo Muri, saya panggil 'bapak' berjualan barang-barang rombeng di Pasar Johar juga. Â Usaha Mbah Sunten berkembang, sehingga adiknya yang bernama mbah Dalmi pun mengikuti jejak kakaknya, mulailah dengan membantu kakaknya hingga kemudian bisa mandiri, memiliki "kombong dhasaran" yakni tempat untuk berjualan sendiri.Â
Sementara Mbah Sunten tidak lagi berjualan ayam karena kesehatan, Mbah Dalmi yang sering kami sebut Mbah Sunar karena beliau memiliki anak yang namanya Sunarto atau Mbah Karang Ayu karena bertempat tinggal di daerah Karang Ayu Semarang Barat mengalami kemajuan pesat dalam jual beli ayam kampung. Â Hal ini yang bisa menyekolahkan anaknya hingga menjadi dokter di Jakarta saat itu. Â Prestasi yang luar biasa bagi keluarga besar kami!
Setiap menjelang Lebaran seperti saat ini, pasar ayam sangat ramai dengan transaksi jual beli ayam kampung. Â Maklum pada era tahun 1970-1980-an belum ada orang beternak ayam potong yang menjamur seperti sekarang ini. Â Kebutuhan orang yang berlebaran dalam memasak opor atau "ingkung" ayam ya menggunakan ayam kampung ini. Â Karena situasi pasar yang ramai menjelang lebaran ini, maka keponakan, saudara, bahkan tetangga desa Mbah Dalmi mulai berdatangan untuk membantu sekedar menjualkan. Â Mereka akan menerima tips jika mereka berhasil menjualkan. Â Namun mereka dengan berkeliling pasar juga diijinkan mengambil keuntungan pribadi jika dimungkinkan. Â Misal harga ayam babon/ betina 70 ribu rupiah, mereka akan menawarkan ayam tersebut seharga 80 ribu rupiah. Â Misalnya pembeli bersedia membeli dengan harga 80 ribu rupiah itu, maka mereka mendapatkan keuntungan 10 ribu rupiah, belum nanti mendapat tips dari mbah Dalmi. Â Besar kecilnya tips tergantung dengan seberapa banyak mereka bisa menjual ayam sehari-hari. Â Mereka yang datang, dulu kami sebut dari "ndesa" ini tinggal bersama keluarga kami dan akan pulang ke desa mereka menjelang atau bahkan setelah lebaran. Â Di desa mereka akan kembali bekerja sebagai petani menggarap sawah dan kebun mereka masing-masing.
Yang dilakukan oleh saudara, tetangga dari "desa" yang membantu menjual ayam dengan menaikkan harga inilah yang disebut sebagai "mrema". Â Kalau mereka ditanya oleh tetangga-tetangga mereka mau kemana? Â Mereka akan menjawab dengan lugas,"Mau mrema di Semarang." Â Rupanya banyak di antara saudara kami, dari semula "mrema" menjelang Lebaran, karena ketrampilan yang meningkat dan kegigihan mereka dalam berusaha, maka tidak sedikit yang kemudian berkembang dengan memilki "kombong dagangan" sendiri. Â Mereka tidak lagi "ngawula" (menjadi hamba/ pembantu) tetapi mereka berubah status sosialnya menjadi "juragan" atau bos. Â Keadaan ekonomi yang semakin membaik ini menjadikan mereka dapat membeli tanah di pinggir-pinggir kota yang akhirnya secara bertahap menjadi rumah yang layak huni bahkan menjadi permanen dan bagus. Â Barang-barang pun yang membuat mereka semakin memudahkan dalam melakukan usaha seperti sepeda motor, mobil pick up mereka dapat beli secara kredit. Â Mereka dimudahkan dalam hal kredit karena memang usaha mereka mengalami kemajuan dari waktu ke waktu.
Kehidupan saudara-saudara dari "ndesa" yang mengalami kehidupan signifikan ini membuat saudara-saudara yang lain dari desa berbondong-bondong ke Semarang dengan cara menjelang Lebaran, mereka akan ikut "mrema".  Usaha mrema ini akan berlanjut menjadi  penjual ayam mandiri. Hal inilah yang menjadi penyebab kemudian mereka berurbanisasi dari desa mereka ke kota Semarang.  Mereka membuat rumah dan beranak pinak di kota Semarang yang adalah kota propinsi Jawa Tengah yang jelas lebih gemerlap dan banyak menyajikan fasilitas kebutuhan sosial dibanding desa mereka kala itu.
Siap-siap Saja Diprema
Menjelang hari Lebaran yang semakin dekat ini, siap-siap saja diprema oleh para pedagang. Â Jika Anda adalah seorang pedagang atau memilki usaha angkutan atau jasa, bisa saja gantian "mrema" kepada pelangganmu, hal ini sepertinya sah-sah saja bukan? Â Tetapi persoalannya kalau Anda bukan seorang pedagang atau memiliki usaha angkutan atau jasa apa pun, juga bukan seorang pegawai negeri atau ASN pemerintah yang mendapatkan tunjangan hari raya, harga-harga kebutuhan pokok terutama yang melambung dengan dasar "mrema" tadi memang sangat menyulitkan penghidupan.
Oleh karenanya, bagi yang memiliki uang, membeli kebutuhan barang kebutuhan pokok sekarang ini mungkin bagus juga, dari pada membelinya nanti pada hari mendekati hari Lebaran. Â Tentu masih murah harga di hari ini. Â Kami membeli hampers Lebaran untuk keluarga besan yang akan merayakan Lebaran hari kemarin, lumayanlah harga tertulis 275 ribu diberi korting 25 ribu, sehingga kami membayar seharga 250 ribu rupiah saja. Â Kami melihat barang-barang yang ada seperti sirup, roti dan lain-lain yang ada di hampers itu masih wajarlah. Â Kalau belinya nanti mepet-mepet hari Lebaran pastilah kami akan "diprema" mendapatkan harga yang lebih mahal pastinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H