Mohon tunggu...
Suyito Basuki
Suyito Basuki Mohon Tunggu... Editor - Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pemulung berita yang suka mendaur ulang sehingga lebih bermakna

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Mrema Menjelang Lebaran Sebabkan Melambungnya Harga dan Urbanisasi

23 April 2022   08:55 Diperbarui: 23 April 2022   19:27 1081
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi blusukan ke pasar, usahakan harga kebutuhan pokok stabil (Sumber Foto: foto.tempo.co)

Mrema Menjelang Lebaran Sebabkan Melambungnya Harga dan Urbanisasi

Oleh: Suyito Basuki

Biro travel langganan kami memberi informasi adanya kenaikan harga sebagai berikut:  Tarif Tiket Jogja-Jepara sampai tgl 23 April Rp. 140.000.  Namun mulai  tgl 24 April - 28 April Rp. 170.000, tgl 29 April - 9 Mei Rp. 190.000 dan tgl 2 Mei Rp. 280.000.  Ada kenaikan harga bertahap mulai 8 hari sebelum Lebaran  hingga puncaknya di hari Lebaran.  Wah itu biro travel lagi "mrema" kata saya kepada istri.

"Mrema" menurut arti kamus adalah "ngeman marang" (Kamus Bahsa Jawa, Jogjakarta: Kanisius 2001, h. 522).  Kata ini baik krama maupun ngoko bentuknya sama.  Sedang arti "ngeman marang" dalam bahasa Indonesia berarti "sayang terhadap" (orang, barang dsb).  Dalam bahasa Jawa yang lazim penggunaan kata ini misalnya dalam kalimat: "Wis tak premakke becik nanging meksa durung ana owah-owahane." Artinya: "Sudah ku beri kesempatan dengan kasih sayang, tetapi terpaksa belum ada perubahannya." (terhadap rekanan bisnis yang bangkrut atau terhadap anak yang nakal dan lain-lain).

Dalam perkembangannya, kata "mrema" ada pemahaman yang negatif.  Misalnya seperti biro travel tadi, menjelang lebaran mereka "mrema".  Itu artinya menjelang lebaran ini, mereka sengaja menaikkan harga jasa travel mereka, dari waktu ke waktu bertahap dan menuju klimaks pada saat hari-H-nya.  Dalam bentuk kalimat pasif (ukara tanggap) maka akan muncul kata "diprema".  Kata ini muncul dari pihak obyek penderita.  Misalnya kalimat: "Wah aku diprema karo bakul-bakul pasar."  Artinya dalam bahasa Indonesia "Wah aku dikenakan harga lebih mahal oleh penjual-penjual di pasar."

Mrema sebagai Sebuah Kebiasaan

Menjelang hari-hari besar atau hari raya, memang sudah dipahami adanya budaya "mrema" ini.  Tidak saja menjelang hari Lebaran yang diperingati oleh kalangan umat Islam setelah sebulan penuh mereka melakukan puasa di bulan Ramadhan, tetapi menjelang hari raya Natal dan Tahun Baru yang diperingati oleh kalangan umat Kristiani pun "mrema" dan "diprema" dalam arti menaikkan harga dari harga yang wajar sebelumnya terjadi.  Oleh karena itulah selalu pemerintah dari tahun ke tahun berusaha mengendalikan harga terutama kebutuhan pokok pada saat menjelang hari-hari raya, khususnya Lebaran dan Natal/ Tahun Baru.

Namun meski pemerintah berusaha mati-matian mengendalikan perdagangan, supaya segala kebutuhan pokok stabil, namun di pasar-pasar dan di berbagai tempat terjadinya transaksi jual beli, bisa dipastikan harga tetap akan melambung.  Mengapa demikian?  Hal ini terjadi kait mengait dan sebab akibat dalam dunia perdagangan dan jasa.  Mengambil contoh kenaikan harga dari biro jasa travel tadi, juga pasti akan diikuti dengan kenaikan angkutan bus antar kota dan angkutan pedesaan.  Para pedagang yang adalah pengguna angkutan umum dalam mereka mengangkut dan mendistribusikan dagangannya, secara otomatis akan menaikkan harga jual barang dagangannya untuk perimbangan hasil keuntungan dan pendapatannya.  Mana ada pedagang yang ingin merugi?  Insting pedagang adalah mencari untung, di setiap zaman dan di setiap waktu.

Memang ada peribahasa Jawa "tuna sathak bathi sanak" yang artinya "nggak apalah rugi dalam hal keuntungan uang atau barang (materi), yang penting memiliki pertambahan pertemanan."  Biasanya ini karena yang membeli barang itu adalah rekan satu alumni sekolah dulunya, saudara atau pedagang tersebut sedang melakukan promo, buka toko atau lapak yang baru.  Coba cari pedagang-pedagang apa saja menjelang Lebaran ini, apakah ada yang mempunyai prinsip seperti peribahasa ini?  Hampir dapat dipastikan "tidak ada"!  Mereka berusaha untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, selain untuk mengimbangi biaya transportasi dan lain-lain yang semuanya naik, juga kebutuhan Lebaran yang secara kebiasaan, mereka  harus menyediakan makanan spesial dan kebutuhan pakaian baru kepada anggota keluarga serta berderma kepada sanak keluarga atau tetangga yang dipandang kurang mampu.

Mrema Sebabkan Urbanisasi

Keluarga kami yang berasal dari Desa Dompon, Tambang, Mlaur dan sekitarnya di Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang cukup banyak yang menjadi pedagang ayam di Semarang, sejak di Pasar Johar, kemudian pindah ke Pasar Kobong dan sekarang ini di Pasar Penggaron Pedurungan Semarang.  Cerita awalnya, mbah putri saya yang bernama Mbah Sunten karena suatu hal bersama dengan suaminya atau mbah Kakung urbanisasi dari desa Dompon ke Semarang mencari penghidupan baru.  Mereka melakukan "bara" dalam bahasa Jawa yang kurang lebih berarti mengembara. 

Mbah Sunten mencoba berjualan ayam di Pasar Johar lantai atas Semarang, sedang suaminya, Mbah Atmo Muri, saya panggil 'bapak' berjualan barang-barang rombeng di Pasar Johar juga.  Usaha Mbah Sunten berkembang, sehingga adiknya yang bernama mbah Dalmi pun mengikuti jejak kakaknya, mulailah dengan membantu kakaknya hingga kemudian bisa mandiri, memiliki "kombong dhasaran" yakni tempat untuk berjualan sendiri. 

Sementara Mbah Sunten tidak lagi berjualan ayam karena kesehatan, Mbah Dalmi yang sering kami sebut Mbah Sunar karena beliau memiliki anak yang namanya Sunarto atau Mbah Karang Ayu karena bertempat tinggal di daerah Karang Ayu Semarang Barat mengalami kemajuan pesat dalam jual beli ayam kampung.  Hal ini yang bisa menyekolahkan anaknya hingga menjadi dokter di Jakarta saat itu.  Prestasi yang luar biasa bagi keluarga besar kami!

Setiap menjelang Lebaran seperti saat ini, pasar ayam sangat ramai dengan transaksi jual beli ayam kampung.  Maklum pada era tahun 1970-1980-an belum ada orang beternak ayam potong yang menjamur seperti sekarang ini.  Kebutuhan orang yang berlebaran dalam memasak opor atau "ingkung" ayam ya menggunakan ayam kampung ini.  Karena situasi pasar yang ramai menjelang lebaran ini, maka keponakan, saudara, bahkan tetangga desa Mbah Dalmi mulai berdatangan untuk membantu sekedar menjualkan.  Mereka akan menerima tips jika mereka berhasil menjualkan.  Namun mereka dengan berkeliling pasar juga diijinkan mengambil keuntungan pribadi jika dimungkinkan.  Misal harga ayam babon/ betina 70 ribu rupiah, mereka akan menawarkan ayam tersebut seharga 80 ribu rupiah.  Misalnya pembeli bersedia membeli dengan harga 80 ribu rupiah itu, maka mereka mendapatkan keuntungan 10 ribu rupiah, belum nanti mendapat tips dari mbah Dalmi.  Besar kecilnya tips tergantung dengan seberapa banyak mereka bisa menjual ayam sehari-hari.  Mereka yang datang, dulu kami sebut dari "ndesa" ini tinggal bersama keluarga kami dan akan pulang ke desa mereka menjelang atau bahkan setelah lebaran.  Di desa mereka akan kembali bekerja sebagai petani menggarap sawah dan kebun mereka masing-masing.

Yang dilakukan oleh saudara, tetangga dari "desa" yang membantu menjual ayam dengan menaikkan harga inilah yang disebut sebagai "mrema".  Kalau mereka ditanya oleh tetangga-tetangga mereka mau kemana?  Mereka akan menjawab dengan lugas,"Mau mrema di Semarang."  Rupanya banyak di antara saudara kami, dari semula "mrema" menjelang Lebaran, karena ketrampilan yang meningkat dan kegigihan mereka dalam berusaha, maka tidak sedikit yang kemudian berkembang dengan memilki "kombong dagangan" sendiri.  Mereka tidak lagi "ngawula" (menjadi hamba/ pembantu) tetapi mereka berubah status sosialnya menjadi "juragan" atau bos.  Keadaan ekonomi yang semakin membaik ini menjadikan mereka dapat membeli tanah di pinggir-pinggir kota yang akhirnya secara bertahap menjadi rumah yang layak huni bahkan menjadi permanen dan bagus.  Barang-barang pun yang membuat mereka semakin memudahkan dalam melakukan usaha seperti sepeda motor, mobil pick up mereka dapat beli secara kredit.  Mereka dimudahkan dalam hal kredit karena memang usaha mereka mengalami kemajuan dari waktu ke waktu.

Kehidupan saudara-saudara dari "ndesa" yang mengalami kehidupan signifikan ini membuat saudara-saudara yang lain dari desa berbondong-bondong ke Semarang dengan cara menjelang Lebaran, mereka akan ikut "mrema".  Usaha mrema ini akan berlanjut menjadi  penjual ayam mandiri. Hal inilah yang menjadi penyebab kemudian mereka berurbanisasi dari desa mereka ke kota Semarang.  Mereka membuat rumah dan beranak pinak di kota Semarang yang adalah kota propinsi Jawa Tengah yang jelas lebih gemerlap dan banyak menyajikan fasilitas kebutuhan sosial dibanding desa mereka kala itu.

Siap-siap Saja Diprema

Menjelang hari Lebaran yang semakin dekat ini, siap-siap saja diprema oleh para pedagang.  Jika Anda adalah seorang pedagang atau memilki usaha angkutan atau jasa, bisa saja gantian "mrema" kepada pelangganmu, hal ini sepertinya sah-sah saja bukan?  Tetapi persoalannya kalau Anda bukan seorang pedagang atau memiliki usaha angkutan atau jasa apa pun, juga bukan seorang pegawai negeri atau ASN pemerintah yang mendapatkan tunjangan hari raya, harga-harga kebutuhan pokok terutama yang melambung dengan dasar "mrema" tadi memang sangat menyulitkan penghidupan.

Oleh karenanya, bagi yang memiliki uang, membeli kebutuhan barang kebutuhan pokok sekarang ini mungkin bagus juga, dari pada membelinya nanti pada hari mendekati hari Lebaran.  Tentu masih murah harga di hari ini.  Kami membeli hampers Lebaran untuk keluarga besan yang akan merayakan Lebaran hari kemarin, lumayanlah harga tertulis 275 ribu diberi korting 25 ribu, sehingga kami membayar seharga 250 ribu rupiah saja.  Kami melihat barang-barang yang ada seperti sirup, roti dan lain-lain yang ada di hampers itu masih wajarlah.  Kalau belinya nanti mepet-mepet hari Lebaran pastilah kami akan "diprema" mendapatkan harga yang lebih mahal pastinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun