Menyedihkan sekali ketika membaca berita adanya kejahatan klitih di Jogja. Seorang pelajar dengan inisial D (18) menjadi korban kejahatan klitih baru-baru ini. (detik.com 4 April 2022) Pelajar D berasal dari Kebumen Jawa Tengah ternyata anak seorang anggota DPRD Kebumen, Madhkhan Anis.
Dikisahkan bahwa pelajar D dengan membonceng motor temannya sedang mencari makan untuk sahur.
Menurut seorang saksi mata yang sedang nongkrong di sebuah angkringan di kelurahan Banguntapan jalan Gedong Kuning Bantul. Pelajar D tiba-tiba diserang pemotor lain dengan senjata gir menurut saksi mata.
Pelajar D kemudian terjatuh dan terseret motor sejauh 20 meter.
Sekedar tahu saja bahwa gir itu adalah salah satu komponen motor bulat bergerigi yang membantu perputaran rantai motor.
Dengan diikat pada rantai atau tali, maka gir bisa dihantamkan kepada seseorang dalam jarak yang cukup jauh dan bisa menyebabkan luka parah jika kena pada kepala atau tubuh korbannya.
Terhadap peristiwa itu, salah satu anggota Komisi III DPR RI Eva Yuliana yang membidangi masalah keamanan, sebagaimana yang dikutip detik.com mengutuk terjadinya peristiwa itu serta mendesak Kepolisian di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) untuk segera mengungkap seluruh pelakunya.
Kata Eva, "Saya mengutuk semua yang terlibat dalam kekerasan yang menyebabkan putra dari Pak Madkhan meninggal dunia. Seluruh pelakunya harus segera diminta pertanggungjawaban dan mendapatkan hukuman yang adil."
Arti Klitih dan Perkembangan Maknanya
Di dalam kamus bahasa Jawa, terdapat kata "klithah-klithih" yang berarti: tansah mlaku wira-wiri, semu nggoleki, bingung lan sakpanunggalane (selalu berjalan hilir mudik, seperti mencari sesuatu atau kebingungan dan lain-lain) (Poerwodarminto, Batavia, Baoesastra Jawa, 1939, h. 230). Kadang untuk memberi pengertian seperti di atas, bisa disebut dengan satu kata saja "klithah" (Bausastra Jawa, Yogyakarta, Kanisius, 2001, h. 400).
Dalam pengertian orang Jawa secara umum, kata "klitih" adalah aktivitas jalan-jalan, mencari angin atau keluyuran. Dalam perkembangan kejahatan yang dilakukan oleh remaja di Jogja ini, maka kata "klitih" dikenakan.
Suprapto, seorang Kriminolog yang sebelumnya bergabung di Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, kepada Tirto.id mengatakan bahwa dia tidak setuju dengan penggunaan kata klitih untuk mendefinisikan kejahatan di jalanan.
"Kejahatan jalanan itu beda dengan klitih. Jangan menyebut klitih karena klitih sendiri berarti aktifitas positif yang dilakukan untuk mengisi waktu luang. Sayangnya ini kemudian diadaptasi pelajar atau remaja untuk kegiatan mencari musuh." ujarnya (tirto.id 28/12/2021).
Tagar #JogjaTidakAman# Klitih#SriSultanYogyaDaruratKlitih#
Di jagad twitter, di tahun 2021 pernah beredar tagar #JogjaTidakAman# Klitih#SriSultanYogyaDaruratKlitih#.
Hal ini menunjukkan perhatian masyarakat terhadap kejahatan yang dilakukan sekelompok remaja di Jogja ini sudah sangat mengkhawatirkan. Para orangtua yang menyekolahkan anak di Jogja pasti semua mengalami kekhawatiran yang sama.
Semula orangtua bangga karena anaknya bisa sekolah atau kuliah di kota Jogja yang mendapat julukan sebagai Kota Pelajar. Tetapi menunjuk keamanan kota Jogja beberapa tahun terakhir ini, orangtua merasa cemas dengan keberadaan anak mereka di Jogja.
Terhadap anak saya yang saat ini sedang menyelesaikan studi akhir di Universitas Negeri Yogyakarta, saya berpesan supaya jangan keluar sampai larut malam karena adanya kejahatan klitih.
Saya berkali-kali berpesan seperti itu karena kebetulan dia mengambil program studi seni rupa, yang kadang-kadang mahasiswa bidang itu harus keluar malam untuk proses kreatif lukisan yang sedang mereka kerjakan atau kepentingan lain seperti pameran seni rupa yang mereka selenggarakan, seperti yang dikerjakan anak saya dan teman-temannya berpameran di Taman Budaya Yogyakarta saat ini.
Terhadap kejahatan klitih ini, menurut seorang dosen sosiologi Arie Sujito, sebagaimana yang dikutip oleh tirto.id menyebutkan bahwa kejahatan klitih ini merupakan regenerasi kejahatan-kejahatan sebelumnya.
"Ini terjadi regenerasi kasus dan reproduksi. Dulu terjadi karena sentimen kelompok, tapi sekarang polanya bergeser. Banyak orang hanya iseng, orang baru belanja disikat, cuma gaya-gaya. Polanya ini tidak bisa kita mendiagnosis seperti dulu," demikian ujar Arie.
Oleh karenanya menurut Arie dibutuhkan keterlibatan berbagai elemen masyarakat untuk mengatasi kejahatan klitih itu.
Pihak kepolisian menurut Arie memiliki keterbatasan karena polisi pendekatannya secara hukum. Jadi kepolisian mengalami kesulitan mengatasi masalah kejahatan yang melibatkan para remaja ini?
Hipnotis Jogja
Saya pernah selama 12 tahun tinggal di daerah Kalasan kabupaten Sleman DIY, dari tahun 1990-2002. Saya kuliah dan mengajar di Universitas Kristen Immanuel dan Sekolah Tinggi Teologia Injili di daerah Kalasan Jogja.
Saat itu di tahun 1997 hingga tahun 2000 saya mengambil pelajaran pedhalangan di sekolah pedhalangan Habirandha ndalem Pracimasono kraton Jogja. Pelajaran pedhalangan tersebut diselenggarakan sore hingga malam hari 2-3 kali selama satu minggu.
Hal ini yang membuat saya sering keluar dan pulang malam untuk kegiatan ini. Kadang bersama beberapa teman kami masih mampir di seorang guru, Ki Cermo Sutejo yang memiliki rumah di Gedongkuning Bantul. Sehingga kadang sampai agak larut malam pulang ke rumah.Â
Namun saat itu belum terdengar kejahatan klitih ini. Baru terdengar kejahatan klitih beberapa tahun terakhir ini. Dan ini sangat memperihatinkan.
Seorang teman masih muda, saat kuliah di Jogja, tengah malam juga pernah berpapasan dengan dua orang remaja menuju ke arah selokan mataram, berboncengan di mana remaja yang membonceng itu membawa pedang mengkilat.
Untung saja remaja tersebut tidak melakukan kejahatan terhadapnya, mungkin jalanan di sekitar ring road tempat ia membonceng motor masih relatif ramai kendaraan. Dalam tempat-tempat yang sepi di waktu dini hari, pelaku klitih ini memangsa korbannya.Â
Sultan Hamengkubuwono X, Gubernur Jogja saat menemui Panglima TN Jendral Andika Perkasa mengungkapkan kecurigaannya bahwa kejahatan klitih ini kemungkinan disengaja dibesar-besarkan oleh sekelompok orang tertentu, by design kata Sultan, dengan maksud memberikan stigma negatif terhadap Jogja sebagai kota yang aman dan nyaman. (kompas.com 2/1/2021).
Tetapi bagaimana pun penjelasan Sultan dan pemerintah DIY terhadap kejahatan klitih ini, kenyataannya kejahatan klitih kembali memakan korban.
Sebagai orangtua, saya ikut sedih, marah dengan peristiwa korban klitih ini.
Sedih karena ikut merasakan perasaan orangtua yang telah mengirim anak mereka untuk menimba ilmu di Jogja dengan harapan bisa membanggakan orangtua, tapi kenyataannya meninggal dengan sia-sia di tangan para penjahat klitih yang tidak bertanggung jawab.
Perasaan marah juga meruyak, karena penanganan klitih ini terasa tidak tuntas dan berkelanjutan dari pihak aparat keamanan dan pemerintah daerah yang bertugas mengayomi masyarakatnya.
Sudah Masanya Jogja Ditinggalkan?
Kota Jogja memang luar biasa hipnotisnya bagi para pelajar dan mahasiswa. Kota ini warisan budaya Jawa lama yang masih memiliki kekentalan budayanya. Banyak tempat yang mendatangkan kesan bagi orang-orang yang pernah tinggal di Jogja.
Penyanyi Katon Bagaskara bersama Kla Project, sangat terkesan dengan kota Jogja, sehingga sempat membuat dan menyanyikan lagu "Jogjakarta" yang hits dan memang enak didengar.
Selain Katon Bagaskara, ada beberapa penyanyi yang juga menyanyikan lagu bertemakan Jogja. Sebut saja Aditya Soyan (Sesuatu di Jogja), Didi kempot (Bangjo Malioboro), Gemini (Tunggu Aku di Jogja), dan Tony Q (Ngayogyakarta).
Para penyair angkatan Umbu Landu Paranggi, WS Rendra, Emha Ainun Najib, termasuk penyanyi Ebiet G.Ade adalah antara lain seniman-seniman yang terhipnotis kota Jogja dalam melahirkan karya-karyanya.
Jogja banyak juga melahirkan seniman lukis, tari, penyanyi dan lain-lain seperti Affandi, Amri Yahya, Bagong Kusudiarjo, Nyi Tjondro Lukito, Butet Kertadjasa, Godod Sutejo, Linus Suryadi AG, Joko Pinurbo dan masih banyak lagi. Jogja memang menjadi magnet tersendiri seniman menginiasi dirinya.
Tetapi Jogja dengan adanya kejahatan klitih ini, terus terang, menjadikan hati orangtua was-was untuk mengirimkan anaknya ke kota Jogja untuk belajar.
Selain itu, kebutuhan ekonomi di Jogja juga semakin mahal. Parkir mobil saja di area pertokoan ke arah Bethesda, di beberapa tempat angkringan dekat kraton Jogja dan mungkin saja di tempat-tempat sudah 5 ribu rupiah. Ini seperti parkir di kota-kota metropolitan saja.
Belum lagi adanya pedagang yang kadang nakal yang memberi harga "nuthuk", sebuah harga yang tidak sewajarnya, yang diingatkan oleh Sri Sultan. (tribunnews.com, 24/12/2018)
Sekarang hampir setiap kota atau kabupaten berbenah diri dari segi edukasi dengan mendirikan sekolah dan universitas yang baik di kota atau kabupaten mereka masing-masing.
Sehingga apakah tidak sebaiknya orangtua menyekolahkan atau mengkuliahkan anak-anak mereka di kota atau kabupaten mereka sendiri saja, selain lebih murah karena tidak perlu kost juga lebih mudah pengawasan kepada anak-anak mereka.Â
Atau kalau memang terpaksa mengirim anak-anak untuk studi atau sekolah keluar kota, kirim saja ke kota-kota yang relatif lebih aman, sehingga orangtua tidak was-was karena kejahatan klitih yang terus meraja lela.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H