Sabar dan Berhati-hati, Sesama Pengendara adalah Teman dan Saudara Sendiri
Oleh: Suyito Basuki
Perspektif yang kita bangun terhadap diri kita dan sesama pengendara, mempengaruhi kenyamanan berkendara. Â Semua pengendara menginginkan perjalanan yang dilakukan bisa mencapai tujuan dengan selamat sehingga bisa bertemu dengan keluarga dengan penuh suka cita. Â
Pengalaman yang Tak Terlupakan
"Braak!" Saya menengok ke arah kiri, sambil terus memegang kemudi mobil.  Aduh, spion kiri mobil saya kegasak bak truk besar yang melaju di depan.  Mulanya saya ingin mendahului truk tersebut.  Hari sudah beranjak malam, ingin segera sampai rumah setelah dari perjalanan luar kota.  Saat mau menyalip truk itu, ada kendaraan motor dari arah depan yang tidak mau memberi jalan.  Sehingga saya tidak meneruskan laju mobil yang saya kendarai.  Saya lebih memilih untuk mengerem dan mobil sedikit saya arahkan ke kiri, supaya motor tersebut memiliki kelonggaran jalan.  Tapi yang  terjadi adalah, spion mobil saya rupanya menyenggol bak truk, sehingga spion patah dan hancur berkeping-keping.
Ada keinginan untuk berhenti dan memeriksa kondisi mobil, tetapi saya tunda, lebih memilih tetap melaju dengan berbagai macam perasaan, menyesal, marah, kecewa, malu dan lain-lain. Â Sesampai di pom bensin, saya berhenti untuk mengisi BBM. Â Usai mengisi BBM, saya turun melihat spion mobil yang sudah amburadul. Â Semula saya takut, bahwa bak truk itu juga menyenggol bodi mobil. Â Ternyata yang tersambar oleh bak truk hanya spion sebelah kiri saja. Â Saya bersyukur sambil dalam hati berpikir, akh soal spion tidak seberapa, coba kalau sampai perbaikan kerusakan bodi mobil, wah bisa lebih repot.
Namun pelajaran utama yang saya pikirkan adalah, lain kali saya harus lebih sabar dan berhati-hati!  Benar, bahwa sebelumnya saya memang merasa tidak sabar.  Agak jengkel dengan truk besar yang berada di depan saya.  Jujur, waktu itu saya ingin segera mendahuluinya, tanpa memperhatikan bahwa jalanan tidak begitu lebar.  Saya mau memaksakan diri.  Untung saja saya tidak jadi  menerobos.  Jika itu yang terjadi, mungkin bisa saja motor dari arah depan yang kemudian tersenggol atau tertabrak mobil saya, sehingga urusan bisa menjadi tambah panjang.
Lebih sabar dan berhati-hati ternyata bisa berdampak bagus untuk kehidupan.  Dengan lebih sabar, maka pikiran akan menjadi lebih tenang, sehingga dapat memikirkan segala sesuatu dengan lebih baik dan berdaya guna.  Dengan lebih berhati-hati, maka dapat menyelamatkan diri sendiri atau orang lain, setidaknya meminimalisir terjadinya sebuah kecelakaan.  Lebih berhati-hati juga dapat mencegah adanya  pertengkaran, terutama di jalanan.  Coba saja misalnya seseorang tidak berhati-hati dengan kendaraannya, kemudian menyenggol atau menabrak sesama pengendara lainnya, kemungkinan yang terjadi adalah timbulnya pertengkaran mulut, adu argumen dan akhirnya terjadi perkelahian fisik. Padahal perkelahian fisik tersebut pada akhirnya akan berujung pada persoalan hukum yang merepotkan.
Sesama Pengendara adalah Teman dan Saudara
Dengan berjalannya waktu, maka saya belajar dari berbagai pengalaman berkendara, bahwa sesama pengendara itu sebenarnya adalah teman dan bahkan saudara. Â Karena berteman dan bersaudara itu maka pengendara satu selayaknya memberi pertolongan kepada pengendara yang lain saat dibutuhkan pertolongannya. Â Karena bersaudara, maka pengendara yang satu memberi kesempatan yang lain jika pengendara yang lain tersebut hendak mendahuluinya. Â Dengan pemikiran seperti itu maka terhadap pengendara lain tidak lagi menganggap sebagai musuh yang bisa diciderai baik dengan cara verbal maupun tindakan.
Suatu ketika saya bersama anak lelaki saya melakukan perjalanan ke Ambarawa untuk sebuah keperluan keluarga. Â Karena jalan dari Demak ke Semarang sedang dalam perbaikan, maka untuk menghindari kemacetan, kami mengambil jalan alternatif lewat Gubuk Purwodadi kemudian ke arah Kedungjati, Bringin dan kemudian Tuntang. Â Dari Gubuk ke Kedungjati ada hutan jati yang harus dilalui, demikian pula dari Kedungjati ke arah Bringin juga ada hutan jati yang harus dilewati. Â Karena berangkat dari rumah sudah agak malam, maka ketika sampai di Kaliceret, yakni desa yang mau masuk ke arah hutan Kedungjati waktu menunjuk tengah malam. Â Jalanan sangat sepi. Â Kami menepikan kendaraan, menanti kendaraan lain yang lewat, dengan maksud kami akan mengikutinya dari belakang. Â Kami inginkan teman untuk melintasi hutan Kedungjati di tengah malam itu. Â Dengan adanya teman sesama pengendara, maka akan terasa tenang jika terjadi gangguan keamanan di jalan.Â
Benar, kemudian lewatlah sebuah mobil dengan kecepatan tinggi ke arah Kedungjati. Â Segera saja kami mengikuti mobil tersebut. Â Tetapi ketika akan masuk ke area hutan jati, tiba-tiba mobil tersebut belok ke kiri, mungkin memang tujuannya adalah kampung yang berada di pinggir hutan itu. Â Kepalang basah, akhirnya kami meneruskan perjalanan dengan harapan tidak terjadi apa-apa dan mendapatkan sesama pengendara di perjalanan nanti. Â Kami melaju dengan kecepatan sedang karena kondisi jalan yang banyak tikungan. Â Di tengah hutan kami melihat ada sebuah truk. Â Lampu truk itu berpijar menerangi jalan yang membelah hutan. Â Kami menarik nafas lega karena merasa ada teman, ada saudara. Â Akhirnya kami berjalan beriringan hingga bisa melewati hutan Kedungjati dan hutan sesudahnya dengan aman dan hati yang tenang.Â
Semenjak dari pengalaman perjalanan itu, selain lebih berhati-hati dalam berkendara juga perspektif saya dalam berkendara berubah. Â Setiap saya melihat pengendara lain, saya menganggap mereka adalah teman atau saudara. Â Ketika mereka minta jalan untuk mendahului, maka saya memberinya jalan dengan sedikit menepikan mobil ke kiri. Â Atau jika mereka menyerobot jalan dari arah berlawanan, saya pun juga akan memberi mereka jalan. Â Meski tidak dipungkiri akan sedikit ngomel, tetapi ngomelnya kepada teman atau saudara yang tidak disertai dengan kebencian dan keinginan untuk mengumpat atau melukai.
Dengan perspektif dan perilaku seperti itu, rasanya berkendara kemana pun terasa lebih tenang.  Saya suatu ketika menengok seorang anak yang melakukan praktek kerja di sebuah Rumah Sakit Jiwa di kota Malang.  Setelah mengantar anak yang satunya kos di Yogyakarta, saya berangkat ke kota Malang sekitar jam 07.00 dari Yogyakarta dan sampai tempat tujuan yang ternyata mendekati kota Pasuruan sekitar jam 22.00 malam.  Saya belum pernah melakukan perjalan ke kota Malang, tetapi saya tidak terlalu kuatir karena memiliki pemikiran bahwa sesama pengendara adalah teman bahkan saudara yang akan banyak membantu selama perjalanan.  Benarlah, dalam perjalanan dengan melewati Klaten, Solo, Sragen, Ngawi, Madiun, Kediri, Blitar dan akhirnya Malang.  Di sepanjang jalan saya bertanya kepada orang atau sesama pengendara yang sedang mengisi BBM di SPBU.  Semua orang yang saya temui ramah dan memberi petunjuk-petunjuk yang bagus.  Ada google map sih, tetapi belum mantap kalau belum bertanya kepada orang lain yang memang paham terhadap tujuan lokasi.  Mereka kan teman, bahkan saudara kita?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H