Suatu ketika saya bersama anak lelaki saya melakukan perjalanan ke Ambarawa untuk sebuah keperluan keluarga. Â Karena jalan dari Demak ke Semarang sedang dalam perbaikan, maka untuk menghindari kemacetan, kami mengambil jalan alternatif lewat Gubuk Purwodadi kemudian ke arah Kedungjati, Bringin dan kemudian Tuntang. Â Dari Gubuk ke Kedungjati ada hutan jati yang harus dilalui, demikian pula dari Kedungjati ke arah Bringin juga ada hutan jati yang harus dilewati. Â Karena berangkat dari rumah sudah agak malam, maka ketika sampai di Kaliceret, yakni desa yang mau masuk ke arah hutan Kedungjati waktu menunjuk tengah malam. Â Jalanan sangat sepi. Â Kami menepikan kendaraan, menanti kendaraan lain yang lewat, dengan maksud kami akan mengikutinya dari belakang. Â Kami inginkan teman untuk melintasi hutan Kedungjati di tengah malam itu. Â Dengan adanya teman sesama pengendara, maka akan terasa tenang jika terjadi gangguan keamanan di jalan.Â
Benar, kemudian lewatlah sebuah mobil dengan kecepatan tinggi ke arah Kedungjati. Â Segera saja kami mengikuti mobil tersebut. Â Tetapi ketika akan masuk ke area hutan jati, tiba-tiba mobil tersebut belok ke kiri, mungkin memang tujuannya adalah kampung yang berada di pinggir hutan itu. Â Kepalang basah, akhirnya kami meneruskan perjalanan dengan harapan tidak terjadi apa-apa dan mendapatkan sesama pengendara di perjalanan nanti. Â Kami melaju dengan kecepatan sedang karena kondisi jalan yang banyak tikungan. Â Di tengah hutan kami melihat ada sebuah truk. Â Lampu truk itu berpijar menerangi jalan yang membelah hutan. Â Kami menarik nafas lega karena merasa ada teman, ada saudara. Â Akhirnya kami berjalan beriringan hingga bisa melewati hutan Kedungjati dan hutan sesudahnya dengan aman dan hati yang tenang.Â
Semenjak dari pengalaman perjalanan itu, selain lebih berhati-hati dalam berkendara juga perspektif saya dalam berkendara berubah. Â Setiap saya melihat pengendara lain, saya menganggap mereka adalah teman atau saudara. Â Ketika mereka minta jalan untuk mendahului, maka saya memberinya jalan dengan sedikit menepikan mobil ke kiri. Â Atau jika mereka menyerobot jalan dari arah berlawanan, saya pun juga akan memberi mereka jalan. Â Meski tidak dipungkiri akan sedikit ngomel, tetapi ngomelnya kepada teman atau saudara yang tidak disertai dengan kebencian dan keinginan untuk mengumpat atau melukai.
Dengan perspektif dan perilaku seperti itu, rasanya berkendara kemana pun terasa lebih tenang.  Saya suatu ketika menengok seorang anak yang melakukan praktek kerja di sebuah Rumah Sakit Jiwa di kota Malang.  Setelah mengantar anak yang satunya kos di Yogyakarta, saya berangkat ke kota Malang sekitar jam 07.00 dari Yogyakarta dan sampai tempat tujuan yang ternyata mendekati kota Pasuruan sekitar jam 22.00 malam.  Saya belum pernah melakukan perjalan ke kota Malang, tetapi saya tidak terlalu kuatir karena memiliki pemikiran bahwa sesama pengendara adalah teman bahkan saudara yang akan banyak membantu selama perjalanan.  Benarlah, dalam perjalanan dengan melewati Klaten, Solo, Sragen, Ngawi, Madiun, Kediri, Blitar dan akhirnya Malang.  Di sepanjang jalan saya bertanya kepada orang atau sesama pengendara yang sedang mengisi BBM di SPBU.  Semua orang yang saya temui ramah dan memberi petunjuk-petunjuk yang bagus.  Ada google map sih, tetapi belum mantap kalau belum bertanya kepada orang lain yang memang paham terhadap tujuan lokasi.  Mereka kan teman, bahkan saudara kita?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI