Kata ilahi dan ilahiah dibedakan. Â Kata "ilahi" dari bahasa Arab diartikan Allahku atau sesembahanku (yang aku sembah). Â Sedangkan kata "ilahiah" diartikan babagan Allah (ketuhanan). (h. 250) Â Sementara kita sering menggunakan kata "ilahi" dengan pengertian hal-hal yang bersifat keallahan (bab-bab kang nduweni sifat utawa bab-bab kang gegayutan karo Gusti Allah).Â
Beberapa kata seperti kata "gersang", "padang" perlu uraian dan penjelasan lebih lanjut. Â Kata "gersang" diartikan ampahan, bera, tegerak (tanah yang tidak subur berbatu-batu). Â Kata gersang tanpa tanaman diartikan ngenthak-enthak. Â (h. 202) Mungkin kata "cengkar" bisa ditambahkan untuk lebih menjelaskan kata gersang ini. Â Kata "padang" diartikan ara-ara. Â Padang di daerah pengunungan diartikan dherik. (h. 491) Belum dijelaskan adanya kata padang gurun yang sebenarnya bisa diartikan ara-ara samun misalnya. (Kamus Indonesia-Jawa, Panitia Kongres Bahasa Jawa, 1991, terbitan Dutawacana University Press, h. 223)
Meski kamus ini diakui lebih lengkap dan up to date dari kamus sejenis sebelumnya, tapi toh beberapa kata, baik yang kekinian dan beberapa kata yang bersifat teknis ada yang belum termuat dan dijelaskan. Â Ambil saja contoh, sekarang ini orang diperkenalkan dengan kata baru hack yang diindonesikan dengan kata "meretas". Â Kata "meretas" tidak terdapat dalam kamus Sutrisno ini. Â Justru kata "meretas" malah ada di Kamus lain. Â Kata retas sebagai ajektif, diartikan rantas, dhedhel. Â Sehingga "meretas" berarti ndhedheli, mbukak layang nganggo peso, mberek (kulit), mbabat wit (kanggo dalan) , njebol (tembok) (Kamus Indonesia-Jawa, Panitia Kongres Bahasa Jawa, 1991, terbitan Dutawacana University Press, h. 266). Â Jadi kalau misalnya ada kalimat dalam bahasa Indonesia: Waduh akun FB ku diretas hacker, mungkin bahasa Jawanya: Waduh akun FB-ku dijebol hacker!
Selain itu juga tidak ada penjelasan kata "degil" sementara di kamus lain yang sejenis ada penjelasannya. Istilah "degil" sebagai ajektif diberi arti mbrengkunung, wangkal, mbrengkela. (Kamus Indonesia-Jawa, Panitia Kongres Bahasa Jawa, 1991, terbitan Dutawacana University Press, h. 63) Istilah teknis untuk tanaman tertentu tidak bisa dicari di sini, Â misal, tidak ada istilah pohon ara, padahal di kamus lain, pohon ara dijelaskan sebagai wit anjir.
Hakekat kamus adalah untuk memperjelas sebuah arti dan tentunya semua itu untuk membantu kemudahan dalam berkomunikasi.  Tetapi selengkap apa pun sebuah kamus, tentu masih ada kekurangannya, karena kata-kata yang dijelaskan akan terus berkembang sesuai dengan kemajuan jaman para penggunanya.  Apa pun kekurangannya, Kamus Indonesia Jawa Sutrisno Sastro Utomo ini patut diapresiasi kehadirannya.  Terlebih juga penerbit PT Gramedia sebagai penerbitnya juga pantas diacungi jempol, karena proyek penerbitan buku kamus semacam ini belum tentu akan mendapat keuntungan besar, tetapi justru kemungkinan malah mendatangkan kerugian!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H