Resensi Kamus Jawa Indonesia: Usaha Keras Menjelaskan Kata
Oleh: Suyito Basuki
Judul: Kamus Indonesia Jawa; Pengarang: Sutrisno Sastro Utomo; Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Agustus 2017; Jumlah hal. : 800 halaman
Mengapa ditulis resensi kamus bahasa Jawa Indonesia? Â Sutrisno Sastro Utomo, sebagai penulis kamus dalam prakata menyebut bahwa dia melihat bahwa dewasa ini ada kesulitan pengguna bahasa Jawa. Â Hal itu terlihat pemakaian kata bahasa Indonesia dalam pengucapan bahasa Jawa. Â Oleh karenanyalah, meski sudah ada beberapa kamus bahasa Indonesia Jawa, tetapi toh tetap membuat kamusnya. Â Dia meyakini bahwa kamusnya lebih unik dari kamus-kamus sejenis sebelumnya. Â Karena menurutnya selain luas kata-kata yang dijelaskannya keunikan yang ditawarkan adalah bahwa di dalam kamusnya akan ada banyak contoh kalimat yang bisa dibaca. Â Menyelami alur pemikiran Jawa, katanya, akan ada banyak ilustrasi wayang dalam kalimat di kamusnya. Â Keunikan yang lain, menurutnya penjelasan kata-kata dalam kamusnya menggunakan gaya jenaka.
Memang ada beberapa kata yang di kamus bahasa Indonesia Jawa yang lain tidak ada. Â Sebagai contoh kata "mengenai". Â Kata "mengenai" Â dijelaskan memiliki akar kata "kena" yang bearti dalam bahasa Jawa kena, kenek. Â Contoh kalimatnya: tembakan saya -- kakinya tembakanku kenek sikile. Â Bisa juga berarti keneng, kenging.
Contoh kalimatnya: lemparan saya -- lampu hingga pecah anggen kula mbandhem kenging lampu ngantos pecah.  Bisa berarti juga: pratitis, patitis, titis (arahnya) kena apa memiliki arti kena apa. Kenging menapa, ngapa, yagene.  Contoh kalimat: -- pagi-pagi sudah menangis? Yagene esuk-esuk kok wis nangis?  Diarahkan hingga kena  dikenakake mengarahkan hingga kena ngenakake, ngengingaken. Tidak kena blawe, blaweh, mleset.  Kata mengenai sendiri memiliki arti menurutnya: 1. Babagan.
Kata ini memiliki turunan  gegayutan, magayutan, magepokan, menggah, mungguh ing, mungguh, ngenani, ngengingi, ngingingi, tumrap. Contoh kalimatnya: hari ini yang kita bicarakan -- pertanian dina iki sing dirembug babagan tetanen. 2. Mener yang memiliki arti mracondhang, (melukai), namani, ngenekake (mengarahkan hingga mengenai).  Contoh kalimatnya: pukulannya -- kepala anjing itu hingga binatang itu lari sambil terkaing-kaing enggone menthung tumama ing sirahe asu iku, nganti kewan iku mlayu karo kaing-kaing. (h. 328) Sebuah penjelasan yang jenaka ya.
Obsesi penyusun kamus untuk menjelaskan kata dengan sejelas-jelasnya memang terlihat.  Turunan terhadap kata yang tengah dijelaskan diberikan cukup banyak.  Contoh kata "tanding".  Disebutkan bahwa kata "tanding" memiliki arti Tanding artinya tanding, tarung perang.  Tanding dengan tombak artinya atau bindhiwala;  tandingan artinya tandingan, bukan tandingannya dudu amput-ampute. Contoh kalimat:  adikmu itu bukan tandingan adik saya meskipun usianyanya sama adhimu kuwi dudu amput-ampute adikku senajan umure podho.  Dudu tandinge ora babak ora imbang ora timbang menandingi nandingi ngejori.  Contoh kalimat saya berani menandingi lebih tinggi sebab barangnya lebih baik: aku aku wani ngejori nganggo rega luwih dhuwur jalaran  barange apik.  Menandingi juga bisa berarti ngembari ngoncori nisihi.  Ditandingi artinya diejori  Contoh kalimat:  sekarang kekayaannya ditandingi teman: saya saiki kasugihan diejori kancaku. Ditandingi  diimbangi dimungsuhi, dipandhingi, dipun mengsahi disuwawa, ditandhingi.  Turunan kata yang dijelaskan adalah; mempertandingkan, dipertandingkan, bertanding, tertandingi (h. 694).
Kadang dalam menerangkan kata banyak juga menyandingkan dengan kata dalam bahasa Jawa kuno. Â Seperti kata "cela". Â Cela berarti ala, asor, cacad, ceda, cene,cintra, dri,codya, dwaja, enyek, kalengka, kalesa, kucira, kuciwa, ninda, paiben, paido, , tinda, wada. Â Terus terang dari deretan kata Jawa yang menerangkan kata "cela" yang saya mengerti hanya ala, asor, cacad, enyek, kuciwa, paiben, paido. (h. 118) Â Kata yang lainnya harus membuka Kamus Bahasa Jawa Kuno atau Sanskerta kalau mau tahu arti sebenarnya.
Untuk menerangkan kata "anak haram" sepertinya juga digunakan bahasa Jawa nggon-nggonan. Â Bahasa Jawa nggon-nggonan itu digunakan di daerah tertentu, sementara di daerah lainnya tidak digunakan, mungkin semacam dialek. Â Kata "anak haram" diartikan anak celoran. Â Sementara kata "haram" berarti haram atau karam. (h. 226) Â Demikian juga dengan kata "menista". Â Kata tersebut diterjemahkan dengan ayu ngalakake. Â Sementara akar kata menista, yakni nista memiliki arti adama, asor, cacah, cucah, camah, campur, cemer, cumur, cuta, dama, durbaga, dusana, ina, inthuk (orang nista), jalidra, kathungka, kuthip, nesthil, nesthip, nistha budi, nisthip, ora aji, papa, prucah-pruceh, receh, reron, rucah, udama, wiguna. Â Orang nista cedhis, cora, cora-pracore, core, coro, (peribahasa) loro sawudhon telu saurupan, neple (tentang sifat se3seorang), papa, sudra, pidak pedarakan, pracere, pracone, sudra papa, wong asor, wong kumpra, wong urakan. Â Tempatnya orang nista adalah inaloka. (h. 480)
Kata ilahi dan ilahiah dibedakan. Â Kata "ilahi" dari bahasa Arab diartikan Allahku atau sesembahanku (yang aku sembah). Â Sedangkan kata "ilahiah" diartikan babagan Allah (ketuhanan). (h. 250) Â Sementara kita sering menggunakan kata "ilahi" dengan pengertian hal-hal yang bersifat keallahan (bab-bab kang nduweni sifat utawa bab-bab kang gegayutan karo Gusti Allah).Â
Beberapa kata seperti kata "gersang", "padang" perlu uraian dan penjelasan lebih lanjut. Â Kata "gersang" diartikan ampahan, bera, tegerak (tanah yang tidak subur berbatu-batu). Â Kata gersang tanpa tanaman diartikan ngenthak-enthak. Â (h. 202) Mungkin kata "cengkar" bisa ditambahkan untuk lebih menjelaskan kata gersang ini. Â Kata "padang" diartikan ara-ara. Â Padang di daerah pengunungan diartikan dherik. (h. 491) Belum dijelaskan adanya kata padang gurun yang sebenarnya bisa diartikan ara-ara samun misalnya. (Kamus Indonesia-Jawa, Panitia Kongres Bahasa Jawa, 1991, terbitan Dutawacana University Press, h. 223)
Meski kamus ini diakui lebih lengkap dan up to date dari kamus sejenis sebelumnya, tapi toh beberapa kata, baik yang kekinian dan beberapa kata yang bersifat teknis ada yang belum termuat dan dijelaskan. Â Ambil saja contoh, sekarang ini orang diperkenalkan dengan kata baru hack yang diindonesikan dengan kata "meretas". Â Kata "meretas" tidak terdapat dalam kamus Sutrisno ini. Â Justru kata "meretas" malah ada di Kamus lain. Â Kata retas sebagai ajektif, diartikan rantas, dhedhel. Â Sehingga "meretas" berarti ndhedheli, mbukak layang nganggo peso, mberek (kulit), mbabat wit (kanggo dalan) , njebol (tembok) (Kamus Indonesia-Jawa, Panitia Kongres Bahasa Jawa, 1991, terbitan Dutawacana University Press, h. 266). Â Jadi kalau misalnya ada kalimat dalam bahasa Indonesia: Waduh akun FB ku diretas hacker, mungkin bahasa Jawanya: Waduh akun FB-ku dijebol hacker!
Selain itu juga tidak ada penjelasan kata "degil" sementara di kamus lain yang sejenis ada penjelasannya. Istilah "degil" sebagai ajektif diberi arti mbrengkunung, wangkal, mbrengkela. (Kamus Indonesia-Jawa, Panitia Kongres Bahasa Jawa, 1991, terbitan Dutawacana University Press, h. 63) Istilah teknis untuk tanaman tertentu tidak bisa dicari di sini, Â misal, tidak ada istilah pohon ara, padahal di kamus lain, pohon ara dijelaskan sebagai wit anjir.
Hakekat kamus adalah untuk memperjelas sebuah arti dan tentunya semua itu untuk membantu kemudahan dalam berkomunikasi.  Tetapi selengkap apa pun sebuah kamus, tentu masih ada kekurangannya, karena kata-kata yang dijelaskan akan terus berkembang sesuai dengan kemajuan jaman para penggunanya.  Apa pun kekurangannya, Kamus Indonesia Jawa Sutrisno Sastro Utomo ini patut diapresiasi kehadirannya.  Terlebih juga penerbit PT Gramedia sebagai penerbitnya juga pantas diacungi jempol, karena proyek penerbitan buku kamus semacam ini belum tentu akan mendapat keuntungan besar, tetapi justru kemungkinan malah mendatangkan kerugian!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H