Mohon tunggu...
Suyito Basuki
Suyito Basuki Mohon Tunggu... Editor - Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pemulung berita yang suka mendaur ulang sehingga lebih bermakna

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Konfrontasi Bukan Kompromi dalam Dunia Mistik Masa Kini

4 Februari 2022   06:40 Diperbarui: 4 Februari 2022   06:43 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konfrontasi Bukan Kompromi dalam Dunia Mistik Masa Kini

Oleh: Suyito Basuki

            Saat masih diperbincangkannya "boneka arwah" sekarang ini sebagai salah satu bentuk perilaku negatif dalam masyarakat, saya mau bilang juga: "hati-hati dengan tayangan mistik di dunia medsos dan televisi masa kini!"   Ini himbauan bukan saja pada masalah bahaya kemungkinan adanya kamuflase dari pihak programer pembuat konten yang hanya mencari keuntungan saja tetapi juga pada bahaya meluasnya sindrom ketakutan penonton pada setan atau hantu.  Selain itu tidak kalah pentingnya adalah kita berpikir tentang strategi bagaimana pola pengusiran atau pelepasan setan yang efektif.

Metode Kompromi

            Pengusiran setan dengan metode kompromi berarti: memperhatikan keinginan roh atau setan, memperlakukannya sebagai pribadi yang layak dihormati, menjaga keharmonisan hubungan dengan setan, dan menganggap setan yang masuk ke tubuh seseorang tidak selalu membawa celaka, kadang malah sebaliknya membawa berkah.

            Mempelajari Satanologi, ilmu tentang persetanan, maka dapat ditemukan bahwa setan selalu berperan sebagai pecundang bagi manusia.  Dialah yang berperan dalam jatuhnya Adam dan Hawa ke dalam dosa, dalam kisah Ayub, Setan adalah pribadi yang selalu ingin mencobai manusia supaya jauh dari Tuhan.  Setanlah yang menggoda Tuhan Yesus, supaya pekerjaan Tuhan gagal di dunia ini (Mat. 4:1-11).  Setan adalah penguasa di udara yang wajib diwaspadai dan diperangi dengan segala perlengkapan rohani (Ef. 6:10-20).  Dia selalu mengitari dan berharap orang percaya menjadi celaka (I Ptr. 5:8).  Dia mendapat julukan: pembinasa, pendakwa, bapa pendosa dan lain-lain.  Masa akhir hidup setan adalah di neraka sampai selama-lamanya (Why.20:11-15).

            Setan selalu berniat mencelakakan.  Mengambil contoh perbuatan Setan di dalam Injil Matius saja, maka akan didapati fakta-fakta bahwa setan membuat orang bisu (Mat. 9:32-34), buta dan bisu (Mat. 12:22), celaka (Mat. 17:14-18), menjadikan manusia sosok monster yang ditakuti (Mat. 8:28), selalu ingin membuat lebih buruk (Mat. 12:43-45), penyebar benih ilalang (Mat. 13:36-43), dan lain-lain.  Pelayanan pengusiran atau pelepasan yang dilakukan Tuhan Yesus adalah dalam rangka menolong orang-orang yang berusaha "dicelakakan" setan itu.  Dalam pelayanan-Nya, Tuhan bukan memohon supaya setan keluar, tetapi memerintahkan supaya setan meninggalkan orang yang dirasukinya sesegera mungkin.  Bahkan suatu ketika Tuhan perlu "menegor dengan keras" pada setan supaya keluar dari tubuh yang dirasukinya (Mat. 17:18). 

            Kepada setan yang adalah pihak "pencelaka" ini patutkah kita kompromi?  Haruskah kita menghormati para penghuni neraka ini?

Konfrontasi dalam Pelepasan

            Konfrontasi dalam pelayanan pelepasan, didasari pada teologia yang sehat bahwa setan adalah pihak yang ingin merusak keberadaan manusia dewasa ini.   Selain itu juga berdasarkan apa yang dilakukan Tuhan Yesus dalam pelayanan pelepasan ini.  Oleh karena itu perintah (pasti diucapkan dalam nama Tuhan Yesus) supaya setan segera meninggalkan tubuh seseorang adalah hal yang harus diucapkan dan tidak boleh ditawar-tawar lagi.        

            Suatu ketika dalam sebuah pelayanan pelepasan terhadap salah seorang warga gereja, terjadi dialog  seperti ini antara saya dengan setan yang merasuki tubuh warga tersebut.  Peristiwanya di desa, sehingga dialog yang saya gunakan bahasa Jawa, eh, setannya pun menjawab dengan bahasa Jawa:

Saya: "Ing Asma Gusti Yesus ayo metu" (Dalam nama Tuhan Yesus, hayo keluar)

Setan: "Emoh-emoh" (tidak mau)

Saya: "Kudu metu, iki dudu panggonanmu" (Harus keluar, ini bukan tempatmu)

Setan: "Njaluk pindhah" (Minta pindah)

Saya: "Aja pindhah neng wong-wong iki, pindhaha sing adoh" (Jangan pindah ke orang-orang di sini, pindahlah yang jauh)

Setan : "Njaluk nyawa" (Minta nyawa)

Saya: "Ora kena, ayo metu" (Tidak boleh, ayo keluar).

            Akhirnya setan itu keluar, tanpa harus pindah ke tubuh rekan-rekan yang bersama-sama mendukung pelayanan pelepasan itu.  Dan juga tanpa harus memberikan "nyawa" permintaan setan itu.  Konon menurut sementara orang, permintaan pindah dan nyawa itu dapat disiasati dengan pindah di tubuh anak ayam, dan nyawa binatang bisa diberikan.  Tapi sejak awal saya meyakini, berhadapan dengan setan, kita tidak bisa kompromi, tetapi konfrontasi!

            Tapi biasanya, jika komprominya gagal, setan mulai mengintimidasi.  Dalam kesempatan pelepasan yang lain saya menerima intimidasi itu.  Inilah dialog yang  masih saya ingat.

Setan: "Aku ngelak, njaluk banyu" (Aku haus, minta minum)

Saya: "Ora ana banyu" (Tidak ada air)

Setan: "Aku njaluk kembang" (Aku minta bunga)

Saya: "Ora ana kembang" (Tidak ada bunga)

Setan: "Aku terna ning nggonku" (Antarkan aku ke tempat asalku)

Saya: "Ayo metu, bali dhewe" (Ayo keluar, pulang sendiri)

Karena segala permintaannya tidak saya turuti, dan saya tidak menggubris dengan segala apa yang dikatakannya, kemudian setan mengintimidasi lebih jahat:

Setan: "Tak Jabut nyawamu!" (Ku ambil nyawamu!)

Saya: "Jabuten!" (Ambillah!)

Perkataan saya yang terakhir, didasarkan pada keyakinan bahwa setan hanya bisa mengintimidasi, sedang yang berkuasa mengambil nyawa seseorang hanya Tuhan saja.  Keberanian menantang ini muncul karena sejak awal saya punya konsep bahwa pelepasan setan itu harus konfrontasi, bukan kompromi!  Akhirnya setan itu pun keluar.

            "Hati-hati dengan tayangan mistik di dunia medsos dan televisi masa kini!"  Menonton tayangan jenis ini sebaiknya dengan disertai sikap kritis dalam banyak hal.  Salah-salah kita akan kompromi bukannya konfrontasi dalam pelayanan pelepasan.  Tapi yang sehat bagi saya adalah: konfrontasi bukan kompromi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun