Mohon tunggu...
Suyito Basuki
Suyito Basuki Mohon Tunggu... Editor - Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pemulung berita yang suka mendaur ulang sehingga lebih bermakna

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Stunting pada Anak dari Zaman ke Zaman dan Cara Mengatasinya

27 Januari 2022   08:28 Diperbarui: 27 Januari 2022   08:37 539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: lifestyle.sindonews.com

Stunting pada Anak dari Zaman ke Zaman dan Cara Mengatasinya

Oleh: Suyito Basuki

Stunting adalah istilah modern untuk menyebut anak yang memiliki pertumbuhan tubuh tidak normal.  Tinggi badan dan berat badannya di bawah rata-rata anak yang memiliki tinggi dan berat badan yang normal.  

Kondisi stunting pada anak ini berbalik arah dengan kondisi pada anak yang disebut obesitas.  Obesitas adalah berat badan anak yang jauh melebihi batasan berat anak normal. 

Stunting pada anak disebabkan karena kurangnya asupan yang bergizi, lingkungan yang tidak mendukung pertumbuhan anak dan pola makan yang tidak sehat pada anak.  Keadaan stunting pada anak ini dimulai sejak anak dalam kandungan hingga anak itu lahir dan bertumbuh besar.  

Pada Hari Gizi 2022  ini pembahasan tentang stunting (tengkes) bagus dilakukan.  Semoga masyarakat menyadari pentingnya asupan bergizi untuk mencegah kondisi stunting pada anak.   

Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Presiden Nomor 72 tahun 2021 meminta masyarakat bersama-sama menurunkan angka stunting. Target capaian yang dipatok presiden adalah sebesar  14,0 persen hingga tahun 2024.

Masa Perang dan Awal Kemerdekaan Asupan Bergizi Sulit Didapatkan

Dalam masa peperangan atau kondisi perekonomian yang sulit memang kebutuhan asupan yang bergizi susah terpenuhi.  Misal saja sekarang ini negara Afganistan kesulitan memenuhi asupan anak yang bergizi karena morat-maritnya perekonomian negara yang sekarang ini dikuasai pejuang Taliban.  

Negara Indonesia juga pernah mengalami masa-masa sulit pada waktu penjajahan Belanda maupun Jepang, serta penataan ekonomi pada awal-awal kemerdekaan.

Belanda datang ke Indonesia (Hindia Belanda) untuk mengeruk keuntungan dari hasil bumi dan rempah-rempah yang melimpah di wilayah nusantara.  Politik etis atau balas budi Belanda menunjukkan rasa bersalah mereka.  

Selain mereka memperhatikan irigasi dan emigrasi, mereka juga memberi kesempatan pada inlander untuk mengambil studi di dalam dan bahkan di negeri Belanda.  Sehingga kemudian timbulah pergerakan-pergerakan nasional yang kemudian menginisiasi kemerdekaan.  

Tetapi zaman itu memang harus diakui, banyak kesulitan penduduk dalam memenuhi kebutuhan pangan mereka, sehingga berdampak pemberian asupan bergizi kepada anak-anak mereka jauh panggang dari api.

Jepang datang mengaku sebagai saudara tua.  Mereka memiliki misi penyelamatan Asia Raya.  Namun pada kenyataannya Jepang juga menguras kekayaan ekonomi Indonesia.  

Ada sesesorang yang sudah tua bersaksi bahwa Jepang memberi perintah waktu itu, semasa ada suara sirine, orang-orang di kampung harus bersembunyi, karena katanya musuh segera akan  datang.  

Saat sirine berbunyi, maka orang-orang di kampung bersembunyi, sehingga rumah menjadi sepi.  Saat itulah katanya orang-orang Jepang masuk ke rumah mengambil bahan-bahan  logistik berupa beras dan lain-lain yang ada di dalam rumah.

Pada masa itu, kakek saya bilang, orang makan seadanya.  Maka ada istilah makan dengan "dangkel gedhang" (akar pohon pisang).  "Dangkel gedhang"  diolah sedemikian rupa, sehingga dapat dikonsumi, sekedar pengganjal perut yang keroncongan.  

Bisa dibayangkan, bagaimana kondisi anak pada waktu itu.  Mereka pastilah kesulitan memenuhi asupan yang bergizi untuk mendapatkan pertumbuhan tubuh yang normal.  

Kalau kita perhatikan foto-foto anak pada masa lalu, hampir tidak ada foto anak yang berbadan tambun.  Hampir semuanya kurus kerempeng dengan perut yang melesak kedalam.

Pada tahun 1970-an, saat pemerintah Indonesia menata ekonominya, kondisi  belum bagus-bagus benar.  Saya masih teringat saat mengikuti orang tua antre beras bulgur yang disediakan pemerintah. 

Pada waktu itu makan dengan nasi ditambah garam sedikit atau dengan sambal sudah cukup.  Karena kebiasaan itulah, sampai sekarang saya punya klangenan, kalau makan minta dibuatkan sambal, sambal apa saja.  Sambal korek (lombok, bawang, garam ditumbuk) atau sambel terasi, wah itu favorit.

Antisipasi Stunting dengan Jamu Brotowali

Kondisi antisipasi stunting, sebenarnya sudah ada sejak dulu.  Para orang tua ketakutan jika anaknya sulit makan karena bisa berdampak gangguan kesehatan dan pertumbuhan mereka.  Seperti biasalah anak-anak selalu mengutamakan waktu bermainnya dari pada waktu makan.  

Jika anak seperti itu, maka orang tua akan memberikan jamu yang di lingkungan saya disebut "brotowali".  Jamu yang dibuat dengan bahan dasar rempah-rempah yang bernama brotowali dan lengkuas ini rasanya pahit sekali.  Jarang sekali anak dengan suka rela meminumnya.  

Maka dalam khasanah kosa kata Jawa ada istilah "dicangar".  Itu maksudnya anak dipaksa meminum jamu ini dengan cara ada orang yang memegangi anak dan membuka paksa mulutnya dan yang lain berusaha memasukkan jamu tersebut ke mulut anak yang sulit makan tersebut.  

Oleh karena itu, pada jaman dulu, saat orang tua berkata,"Tak jamoni brotowali lho" (Saya kasih jamu brotowali lho) anak takutnya bukan main.  Mendengar kalimat itu maka mereka akan segera makan nasi sesuai dengan anjuran orang tua berikut lauk pauknya.

Kalau jaman dulu kalimat tanya, "Mau makan apa?" itu maksudnya ingin makan apa ya, sementara tidak ada makanan apa-apa.  Ini jelas kondisi yang dapat menyebabkan stunting pada anak.  

Tetapi kalau zaman sekarang pertanyaan dengan kalimat, "Mau makan apa?" punya pengertian jenis makanan apa yang akan dimakan ya, tinggal memilih.  

Sekarang ini dengan kemampuan ekonomi masyarakat Indonesia yang semakin membaik maka makanan bukan masalah lagi.  Tetapi hal ini tidak secara otomatis berdampak berkurangnya gangguan stunting pada anak.  Mengapa?  Hal ini karena pola makan anak sekarang sungguh berbeda dengan pola makan anak pada jaman dulu.  

Dulu di sekolah dasar, saya masih ingat, guru mengajarkan sebuah lagu "Empat Sehat Lima Sempurna."  Sampai sekarang saya masih ingat syairnya: "Empat sehat lima jadi sempurna, wahai kawan apa itu artinya, itu penting bagi kita semua, nasi lauk sayuran buah dan susu." 

Zaman Dulu dan Zaman Sekarang

Jadi sejak dulu anak-anak sudah mulai ditanamkan tentang asupan yang bergizi yang bisa membangun pertumbuhan fisik mereka supaya sehat dan normal.  Kalau saya amati anak-anak sekarang, mereka tetap diajar di sekolah tentang asupan bergizi, tetapi mereka mengabaikannya.  

Semisal, mereka hanya makan nasi kalau ingin saja, selebihnya mereka makan camilan atau snack yang bisa mereka dapatkan secara offline maupun online.  

Mereka lebih suka makan tanpa sayur, misal nasi dengan ayam geprek atau mie instant menjadi favorit mereka.  Buah-buahan pun juga kurang begitu mereka minati.  Buah rambutan atau pisang bisa menjadi busuk di meja makan karena tidak ada anak-anak yang memakannya. 

Kalau hanya bertumpu pada kesadaran anak saja, maka mereka akan lalai dalam pemenuhan asupan mereka yang bergizi.  Memang peran orang tualah yang paling utama  supaya anak tercukupi asupan gizinya. 

Orang tua harus seperti orang cerewet  yang terus menerus mengingatkan kepentingan makan teratur dan bergizi kepada anak, selain tentu saja berusaha mempersiapkan makanan yang bergizi kepada anak tersebut.  

Karena hal itu berkaitan dengan pertumbuhan jasmani dan perkembangan otak mereka juga.  Kadang saya nggak enak melihat istri yang berulang-ulang menyuruh anak yang sudah duduk di universitas untuk makan, padahal sayur atau lauk yang diinginkan sudah disediakan.  Tetapi anak tetap tidak bergeming, masih saja rebahan dengan aktivitas kuliah atau sekedar melakukan komunikasi dengan media sosialnya. 

Padahal beberapa kali, akibat kemalasan dalam makan tersebut menyebabkan perutnya sakit maag.  Terpaksalah kadang istri mengambilkan nasi lengkap dengan sayur dan lauknya serta menyuapinya!  Dalam hati saya timbul pemikiran,"Apakah anak kami perlu dipaksa minum jamu brotowali?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun