Di mana Lelaki Pengayun Kapak itu
Oleh: Suyito Basuki
Kami membicarakan orang yang tidak waras. Â Sebenarnya dikatakan begitu, mungkin keterlaluan. Â Tetapi perilaku Herdi akhir-akhir ini nyaris tak ubah dengan perilaku orang yang memiliki pikiran yang gila. Â Kalau minggu-minggu lalu, dia hanya duduk tercenung, sambil terkadang bicara sendiri, sekarang lebih tragis. Â Kalau dia lihat orang di jalan, dia lalu berceloteh sambil menantang-nantang orang itu untuk diajak berkelahi. Â Hartono, tetangganya sebelahnya malah diancam akan dibelah-belah tubuhnya hingga muncrat-muncrat darahnya. Â Hartono, tetangga yang baik hati, tentu saja miris hatinya. Â Dari pada ramai dengan tetangga, Hartono lebih memilih pergi ke dalam rumah, sambil menahan hati yang gemuruh.
Biasanya kalau saya lagi lewat di depan rumahnya, saya sapa, dia diam saja. Â Melihat sepintas kemudian matanya kembali ke arah yang tidak jelas, menerawang entah ke mana. Â Namun heran, ketika suatu kali saya ke rumah Hartono, untuk keperluan meninjau warga jemaat yang tengah sakit, kebetulan Herdi duduk di kursi bambu depan yang difungsikan untuk juga tidur pada waktu malam dan siang, Â dia tiba-tiba berkata dengan nada menantang. Â Tiba-tiba saya jengah, saya masuk ke teras rumah Hartono sambil membawa pikiran yang berkecamuk.
Duduk di depan saya Pak Kamituwo Sarni yang sudah tua. Â Usianya sekitar 80 tahun. Â Meski usia sudah senja, namun jika pergi ke kantor kelurahan atau menarik pajak warga, keliling kampung hanya bersepeda saja. Â Pernah menderita sakit jantung, dirawat beberapa hari di rumah sakit, setelah sembuh, justru semakin semangat bersepeda. Â Dengan suaranya yang pelan penuh wibawa mulai mengajukan pendapat-pendapatnya mengenai Herdi. Â Saya, Hartono, kedua om dari Herdi: Priyo dan Mardi mencoba menangkap maksud pembicaraannya.
"Herdi sudah kelewat batas ucapan-ucapannya dan tindakannya mulai berbahaya. Â Sekarang orang tidak berani lagi lewat di gang kita," ujarnya yang memiliki rumah berhadap-hadapan dengan Herdi. Â "Setiap ada orang lewat, dia selalu menantang orang itu untuk berkelahi. Â Kalau ada orang ngobrol, dia marah, dikira membicarakannya. Â Bahkan wanita tetangganya yang menyapu halaman rumahnya sendiri saja, kena semprot olehnya."
"Ya, apalagi akhir-akhir ini dia sering mengasah kapaknya. Â Makanya saya miris mendengar ancamannya. Â Jangan-jangan yang diucapkannya memang benar," kata Hartono. Â Hartono pensiunan pegawai perkebunan dan kehutanan, saya kenal sebagai orang yang keras. Â Meski selalu baik dengan saya, karena barangkali saya adalah pendetanya, dia biasanya tidak pernah takut berhadapan dengan orang lain. Â Pembicaraannya selalu tidak mau dikalahkan. Â Tetapi menghadapi Herdi ini kelihatannya dia giris. Â Ya siapa tidak bergidik mendengar omongan orang gila yang mengancam akan membelah dan memotong tubuh korbannya? Â Toh hukum selama ini selalu tidak bisa menyentuh perilaku orang-orang yang tidak waras, walau perbuatannya merugikan orang lain.
"Kemarin ketika aku menjenguknya, tiba-tiba dia menyongsongku sambil membawa kapaknya, sambil berkata 'Kau mau cari mati ya'..." Priyo ikut berbicara sambil menghela napasnya. Â Pria dengan kulit legam dengan kulit muka bercak-bercak yang pernah kerja sebagai tukang ukir di Jakarta itu, sekarang seringkali mencari ikan di laut. Â Berhari-hari tidur di bagang di tengah laut. Â Kadang-kadang juga jika ada orang membutuhkan jasanya, dia akan menyopir truk untuk mengangkut kayu jati atau meubel-meubel ke luar kota. Angin laut dan udara hutan tidak saja membuat mukanya keras, tetapi juga ucapan dan tindakannya kadang bagai batu.
"Bocah edan itu," demikian Priyo menceritakan keponakannya itu,"Tiba-tiba saja mengayunkan kapaknya ke arahku. Â Untung aku masih punya kesadaran. Â Langsung saja tangan kiriku menangkap tangan bocah pengayun kapak itu. Â Sementara secara reflek, tangan kananku memegang lehernya dan memelintirnya dari belakang. Â Kaki kirinya kutendang saja dengan kaki kananku. Â Langsung dia terjerembab, mengaduh-aduh dan menangis. Â Sementara kapak tajam itu, terlempar kira-kira sejengkal dari tubuhnya," cerita Priyo sembari menghisap rokok putihnya. Â Asap rokok keluar dari mulutnya, menggulung di udara, menggumpal, seolah menunjukkan hati Priyo yang penuh kebanggaan.
"Dia tidak segera bangkit dan menyerang lagi?" Saya setengah penasaran bertanya.
"Dia tidak bisa lagi bangun, karena tubuhnya lemas," Mardi adik Priyo yang memiliki perawakan kecil ikut menimpali. Â "Tiga hari sebelumnya dia tidak mau makan, hanya minum. Â Tentu saja itu mempengaruhi kekuatan fisiknya. Â Dia hanya merintih, matanya memelas, seolah kesadarannya pulih," lanjut lelaki kecil yang lebih memilih bekerja menjadi buruh tani di desa kami.
Perihal Herdi tidak makan tiga hari tiga malam itu, menurut Hartono dan beberapa orang desa, memang Herdi sering melakukannya. Â Konon menurut petuah seorang guru, laku ini dapat bermanfaat untuk menarik hati para wanita dan dapat lancar dalam bekerja. Â Jika lancar kerja, maka kekayaan akan segera dengan mudah didapatkan.
Sebenarnya tanpa melakukan ngelmu apa-apa, Herdi dengan kondisi fisiknya yang menurut saya, ia diberkahi dengan ketampanan yang lumayan, bodinya juga atletis. Â Rambut gondrongnya yang ikal, jika diikat dengan tali di belakang, menambah pesona penampilannya. Â Sangat mudah baginya untuk menarik hati para wanita. Â Bukankah dia tidak membutuhkan waktu lama untuk memikat hati seorang wanita Purwodadi yang kebetulan bekerja di perusahaan meubel tempatnya bekerja saat itu? Â Hanya sayang sekali, Herdi yang kala itu suka mabuk dan berjudi sangat menjengkelkan hati wanita molek itu, sehingga perkawinannya berujung pada perceraian.
Tetapi mengherankan.  Belum juga setahun, Herdi sudah menggandeng seorang wanita tetangga desa.  Janda dengan seorang anak itu sebenarnya tidaklah begitu cantik.  Tubuhnya kecil, hitam, di sekujur kakinya ada luka-luka yang agak membusuk.  Mengapa Herdi mau menikahi wanita yang ditinggal suaminya entah pergi ke mana itu?  Menurut beberapa para tukang di tempat ia bekerja, Herdi bersedia menikahi wanita yang suka berdandan modis itu, karena wanita yang suka mengucir rambutnya itu  menjanjikan akan segera membelikan sebuah sepeda motor kepada Herdi seusai pernikahan.  Namun sudah setengah tahun menikah, janji itu tidak dipenuhi.  Herdi yang dulu begitu bangga dengan impiannya akan segera naik sepeda motor baru, selanjutnya menjadi Herdi yang pemurung, sering bicara sendiri, dan itulah awal petaka hingga dia menjadi seperti sekarang ini.  Tidak tahan di rumah istrinya, dia kemudian pergi tanpa pamit.  Konon kepergiannya hingga berbulan-bulan itu dia lakukan lebih banyak berjalan kaki.  Dia pergi ke Purwodadi ke tempat bekas istrinya.  Setelah itu ke Jakarta, kemudian ke Sumatra, balik lagi ke Jawa, kemudian lama tinggal di perkebunan karet di kota kami, hingga seorang tetangga menemukannya ketika mencari rumput untuk pakan ternaknya.
Perihal dia ingin kaya, mungkin semua orang ingin, tetapi Herdi sangat pengin itu segera tergapai. Â Bagaimana tidak? Â Herdi sejak kecil hidup dengan neneknya yang serba kekurangan. Â Sehari tidak mesti makan tiga kali sebagaimana layaknya anak-anak. Â Kalaupun toh makan, itupun tidak tentu makan nasi. Â Kadang nasi jagung, kadang nasi tiwul, seringkali makan bubur putih asin dengan santan kelapa.
Setamat SMP dia harus menghidupi dirinya sendiri. Â Pernah dia menjadi pelayan di sebuah restoran cina di tengah kota. Â Atas ajakan seorang temannya, menjadi pencuci mobil dan motor di daerah Solo pun pernah dia lakukan. Â Kemudian ia balik ke kotanya, belajar membuat meubel dan mengukir. Â Kebetulan di kota kami lagi ramai-ramainya pekerjaan meubel. Â Kayu jati jarahan begitu mudahnya didapat dengan harga yang sangat murah. Â Pesanan dari luar negeri mengalir deras. Â Herdi segera saja betah menerjunkan dirinya pada pekerjaan di tempat tetangga yang memiliki usaha meubel yang diharapkan dapat melambungkan masa depannya.
Ibu herdi, Hesti namanya, setelah Herdi dan adiknya usia SD, segera menikah dengan seorang lelaki, dan kemudian tinggal di Pati. Â Bagaimana bapak Herdi? Â Sampai saat ini Herdi tidak tahu siapa bapaknya. Â Menurut cerita tetangga, Hesti ketika masih muda, sebagaimana wanita-wanita muda di kota kami, mencari penghasilan di Jakarta. Â Ada yang jadi pelayanan toko, pengamplas, pedagang, dan banyak yang jadi pelacur. Â Orang desa tidak tahu Hesti bekerja menjadi apa, tetapi pulang dari kota metropolitan itu, ia membawa dua orang anak kecil, yakni Herdi dan adiknya. Â Setelah menitipkan kepada ibunya, Hesti, kembali ke kota besar. Â Tak berapa lama, Hesti pulang dengan seorang pria, Madun namanya. Â Apakah itu bapak Herdi, orang tidak banyak yang tahu, karena sesudahnya Hesti pulang dengan laki-laki lain, Kilung namanya. Â Lain waktu, wanita yang konon berwajah rupawan itui pulang lagi dengan laki-laki lain, Lengkis namanya.
Herdi pernah mengimpikan punya rumah tingkat dengan halaman yang luas. Â Di belakang rumah terdapat sebuah bedeng tempat membuat meubel. Â Di bedeng itu siang malam tidak pernah berhenti suara gergaji dan ketam bermesin menghaluskan perabot-perabot rumah tangga yang dipesan oleh buyers asing. Â Ada lusinan tukang, baik itu pembuat meubel, pemlitur, pengamplas, dan manol-manol kayu. Â Di depan rumah berkubik-kubik kayu jati ngendon siap untuk digergaji. Mobil kijang kapsul dan sebuah lagi mobil pick up berada di garasi rumah yang luas. Â Istri cantiknya menyapu rumah dan halaman, dibantu oleh anak putri remajanya yang menginjak SMA. Â Sedangkan anak lelakinya yang masih usia SMP usai pergi memancing, bermain bola dengan teman-temannya di halaman rumahnya yang luas dengan pohon jati sebagai pagar hidupnya.
Tetangga-tetangganya kalau kekurangan selalu datang ke rumahnya. Â Sekedar pinjam uang, beras, atau keperluan rumah tangga lainnya. Â Tangannya tidak pernah mencengkeram, tetapi selalu terbuka untuk membantu sesama. Â Sehingga nama Herdi menjadi harum. Â Maka tak pelak, ketika ada pencalonan kepala desa, Herdi dicalonkan. Â Tentu saja Herdi dengan sikap khas jawanya, dengan berdalih siapakah dirinya yang tidak memiliki latar belakang yang menguntungkan, tidak memiliki pendidikan tinggi, sebab ia hanya tamat SMP, tidak memiliki apa-apa, walau ia kaya, ia kemudian menolak. Â Tetapi justru dengan penolakannya itu, orang-orang kampung malah semakin semangat mendukungnya.
Akhirnya jadilah Herdi seorang kepala desa. Â Bengkok sawahnya 15 hektar. Â Belum lagi pendapatan pajak jual beli tanah di desanya yang memang karena meubel sangat ramai di Jepara, banyak pengusaha luar kota dan bahkan luar negeri yang mencari tempat usaha di kota kami, termasuk di desa kami. Â Jadilah Herdi seorang kepala desa yang kaya, karena usaha meubelnya juga berkembang pesat. Â Dengan uang yang tak pernah berhenti mengalir, ia investasikan pada perkebunan, pesawahan, dan beternak sapi brama dan kambing etawa yang lagi ngetrend. Â Hasil kebun dan sawah juga melimpah. Â Lumbungnya selalu penuh, tiap waktu tak kunjung habis.
Suatu kali dia menikahkan anak gadisnya yang telah selesai kuliah di akademi kebidanan, dan telah menjadi bidan di desanya. Â Rumahnya bak istana. Â Tamu sudah hilir mudik seminggu sebelum acara. Â Tidak hanya tamu dari desanya, tetapi juga relasi-relasi pemerintahan seperti Pak Camat dan bahkan Pak Bupati serta rekan bisnis meubelnya selama ini. Â Saudara-saudaranya, tidak ada yang tersisa, semua ikut melayani dan menjadi tuan rumah di acara pernikahan itu. Â Istrinya yang menawan itu sampai kelelahan menerima tamu. Â Melihat istrinya seperti itu, ia lalu menghiburnya, bahwa nanti toh setelah acara selesai, bisa istirahat. Â Ia menjanjikan, sesuai acara itu, dia akan membawa istrinya ke sebuah hotel mempesona di pulau Karimunjawa. Â Sebagaimana biasa di desa di daerah pantai, hiburan yang pling digemari adalah Orkes Melayu. Â Herdi pun memanggil sebuah grup Orkes Melayu dari kota Salatiga dengan para penyanyi ternama dari Jogja dan Blora.
"Kita harus membawa Herdi segera ke rumah sakit jiwa," Pak Sarni kamituwo tua memberi sebuah usulan. Â Mendengar itu saya sangat setuju, karena perilakunya semakin membahayakan orang lain.
"Tapi ada dua hal yang perlu aku sampaikan," Priyo mengetengahkan suaranya. Â "Yang pertama, sejak dia mau mengampak aku, lalu dia jatuh terjerembab itu, keesokan harinya Herdi tidak ada lagi di rumah, dan aku tidak tahu ke mana perginya," terang Priyo.
"Benar, padahal malam harinya, anak itu melempari rumah saya dengan kerikil. Â Entah apa sebabnya. Â Akibatnya genteng-genteng ada yang bolong, serta kaca depan rumah pecah," Mardi menimpali sambil berkeluh.
"Kamu tidak berbuat apa-apa?" Hartono yang tahu Herdi benci pada Mardi karena pernah mengusulkan suatu ketika supaya Herdi dipasung bertanya.
"Bagaimana mungkin, dia selalu memegang kapaknya..." Mardi berkata begitu sambil tersenyum pahit.
"Yang kedua...,"kata Priyo,"Aku dan keluarga terus terang tidak punya uang untuk pengobatan keponakan saya itu. Â Sedangkan kalian tahun sendiri, Hesti, ibunya sudah sibuk dengan urusan keluarganya," keluh Priyo, kali ini dengan agak terbata.
Mendengar hal itu, lalu kami membicarakan jalan keluarnya. Â Keluarga dengan dibantu Pak Sarni akan mencarikan kartu Askeskin, yakni kartu yang dapat membebaskan pasien dari biaya pengobatan, karena miskin. Â Hartono mendapat tugas mencarikan sumbangan dana dari lingkungan RT dan RW. Â Saya kebagian mencari dana di luar desa. Â Segera saja, saya ingat rekan yang bekerja di sebuah majalah yang menampung dana dermawan untuk kebutuhan orang-orang sakit. Â Saya kemudian telpon rekan itu, dan secepatnya saya membuat proposal pengajuan. Â Tak sampai seminggu, dana itu sudah masuk ke rekening yang saya sebutkan.Â
Langkah berikutnya, Herdi harus segera dicari, jika sudah ketemu harus dibawa pulang, walau dengan paksa. Kemudian Herdi harus segera dibawa ke rumah sakit jiwa di Semarang. Â Tapi bagaimana mencari lelaki dengan kapak yang selalu di tangan itu? Â Dimana ia?
Ketika kami bertemu untuk berembug lagi, dibagilah 2 tim di antara kami. Â Hartono dengan Mardi bertugas mencari Herdi di pasar-pasar kota kecamatan dan pasar pusat kota, siapa tahu dia masih berada di lingkungan pasar di kota kami. Â Pak Sarni, Priyo dan saya kebagian tugas mencari Herdi di desa-desa, di pantai, di sungai, dan di perkebunan karet serta hutan jati di kota kami. Â Waktu pencarian dibatasi satu minggu.
Oleh karena itu jika kalian lihat sebuah rombongan lelaki muda sederhana dengan pakaian kaos, celana jins butut dan sandal bandol karet, serta seorang yang sudah tua, disertai dengan lelaki legam dengan muka bercak-bercak, dengan mobil kijang tua berkeliling di desa-desa, di pantai-pantai, di sungai-sungai dan di perkebunan-perkebunan karet dan hutan jati, itulah kami.  Kadang kami berhenti di hutan karet, bertanya kepada para penggembala atau pekerja perkebunan.  Kadang pula berhenti di pantai-pantai, bertanya pada nelayan atau penjual ikan.  Kadang juga kami berhenti di sebuah jembatan, dari arah jembatan saya lihat sungai dengan batu-batu gajahnya, siapa tahu Herdi lelaki gila itu tengah melamun dengan memegang kapaknya  di sana?
Pernah Terbit di Suara Merdeka Minggu, Th. 2008
Sumber gambar: dpmg.bandaacehkota.go.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H