Mohon tunggu...
Suyito Basuki
Suyito Basuki Mohon Tunggu... Editor - Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pemulung berita yang suka mendaur ulang sehingga lebih bermakna

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di mana Lelaki Pengayun Kapak Itu

19 Desember 2021   05:07 Diperbarui: 19 Desember 2021   07:24 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: dpmg.bandaacehkota.go.id

"Dia tidak bisa lagi bangun, karena tubuhnya lemas," Mardi adik Priyo yang memiliki perawakan kecil ikut menimpali.  "Tiga hari sebelumnya dia tidak mau makan, hanya minum.  Tentu saja itu mempengaruhi kekuatan fisiknya.  Dia hanya merintih, matanya memelas, seolah kesadarannya pulih," lanjut lelaki kecil yang lebih memilih bekerja menjadi buruh tani di desa kami.

Perihal Herdi tidak makan tiga hari tiga malam itu, menurut Hartono dan beberapa orang desa, memang Herdi sering melakukannya.  Konon menurut petuah seorang guru, laku ini dapat bermanfaat untuk menarik hati para wanita dan dapat lancar dalam bekerja.  Jika lancar kerja, maka kekayaan akan segera dengan mudah didapatkan.

Sebenarnya tanpa melakukan ngelmu apa-apa, Herdi dengan kondisi fisiknya yang menurut saya, ia diberkahi dengan ketampanan yang lumayan, bodinya juga atletis.  Rambut gondrongnya yang ikal, jika diikat dengan tali di belakang, menambah pesona penampilannya.  Sangat mudah baginya untuk menarik hati para wanita.  Bukankah dia tidak membutuhkan waktu lama untuk memikat hati seorang wanita Purwodadi yang kebetulan bekerja di perusahaan meubel tempatnya bekerja saat itu?  Hanya sayang sekali, Herdi yang kala itu suka mabuk dan berjudi sangat menjengkelkan hati wanita molek itu, sehingga perkawinannya berujung pada perceraian.

Tetapi mengherankan.  Belum juga setahun, Herdi sudah menggandeng seorang wanita tetangga desa.  Janda dengan seorang anak itu sebenarnya tidaklah begitu cantik.  Tubuhnya kecil, hitam, di sekujur kakinya ada luka-luka yang agak membusuk.  Mengapa Herdi mau menikahi wanita yang ditinggal suaminya entah pergi ke mana itu?  Menurut beberapa para tukang di tempat ia bekerja, Herdi bersedia menikahi wanita yang suka berdandan modis itu, karena wanita yang suka mengucir rambutnya itu  menjanjikan akan segera membelikan sebuah sepeda motor kepada Herdi seusai pernikahan.  Namun sudah setengah tahun menikah, janji itu tidak dipenuhi.  Herdi yang dulu begitu bangga dengan impiannya akan segera naik sepeda motor baru, selanjutnya menjadi Herdi yang pemurung, sering bicara sendiri, dan itulah awal petaka hingga dia menjadi seperti sekarang ini.  Tidak tahan di rumah istrinya, dia kemudian pergi tanpa pamit.  Konon kepergiannya hingga berbulan-bulan itu dia lakukan lebih banyak berjalan kaki.  Dia pergi ke Purwodadi ke tempat bekas istrinya.  Setelah itu ke Jakarta, kemudian ke Sumatra, balik lagi ke Jawa, kemudian lama tinggal di perkebunan karet di kota kami, hingga seorang tetangga menemukannya ketika mencari rumput untuk pakan ternaknya.

Perihal dia ingin kaya, mungkin semua orang ingin, tetapi Herdi sangat pengin itu segera tergapai.   Bagaimana tidak?  Herdi sejak kecil hidup dengan neneknya yang serba kekurangan.  Sehari tidak mesti makan tiga kali sebagaimana layaknya anak-anak.  Kalaupun toh makan, itupun tidak tentu makan nasi.  Kadang nasi jagung, kadang nasi tiwul, seringkali makan bubur putih asin dengan santan kelapa.

Setamat SMP dia harus menghidupi dirinya sendiri.  Pernah dia menjadi pelayan di sebuah restoran cina di tengah kota.  Atas ajakan seorang temannya, menjadi pencuci mobil dan motor di daerah Solo pun pernah dia lakukan.  Kemudian ia balik ke kotanya, belajar membuat meubel dan mengukir.  Kebetulan di kota kami lagi ramai-ramainya pekerjaan meubel.  Kayu jati jarahan begitu mudahnya didapat dengan harga yang sangat murah.  Pesanan dari luar negeri mengalir deras.  Herdi segera saja betah menerjunkan dirinya pada pekerjaan di tempat tetangga yang memiliki usaha meubel yang diharapkan dapat melambungkan masa depannya.

Ibu herdi, Hesti namanya, setelah Herdi dan adiknya usia SD, segera menikah dengan seorang lelaki, dan kemudian tinggal di Pati.  Bagaimana bapak Herdi?  Sampai saat ini Herdi tidak tahu siapa bapaknya.  Menurut cerita tetangga, Hesti ketika masih muda, sebagaimana wanita-wanita muda di kota kami, mencari penghasilan di Jakarta.  Ada yang jadi pelayanan toko, pengamplas, pedagang, dan banyak yang jadi pelacur.  Orang desa tidak tahu Hesti bekerja menjadi apa, tetapi pulang dari kota metropolitan itu, ia membawa dua orang anak kecil, yakni Herdi dan adiknya.  Setelah menitipkan kepada ibunya, Hesti, kembali ke kota besar.  Tak berapa lama, Hesti pulang dengan seorang pria, Madun namanya.  Apakah itu bapak Herdi, orang tidak banyak yang tahu, karena sesudahnya Hesti pulang dengan laki-laki lain, Kilung namanya.  Lain waktu, wanita yang konon berwajah rupawan itui pulang lagi dengan laki-laki lain, Lengkis namanya.

Herdi pernah mengimpikan punya rumah tingkat dengan halaman yang luas.  Di belakang rumah terdapat sebuah bedeng tempat membuat meubel.  Di bedeng itu siang malam tidak pernah berhenti suara gergaji dan ketam bermesin menghaluskan perabot-perabot rumah tangga yang dipesan oleh buyers asing.  Ada lusinan tukang, baik itu pembuat meubel, pemlitur, pengamplas, dan manol-manol kayu.  Di depan rumah berkubik-kubik kayu jati ngendon siap untuk digergaji. Mobil kijang kapsul dan sebuah lagi mobil pick up berada di garasi rumah yang luas.  Istri cantiknya menyapu rumah dan halaman, dibantu oleh anak putri remajanya yang menginjak SMA.  Sedangkan anak lelakinya yang masih usia SMP usai pergi memancing, bermain bola dengan teman-temannya di halaman rumahnya yang luas dengan pohon jati sebagai pagar hidupnya.

Tetangga-tetangganya kalau kekurangan selalu datang ke rumahnya.  Sekedar pinjam uang, beras, atau keperluan rumah tangga lainnya.  Tangannya tidak pernah mencengkeram, tetapi selalu terbuka untuk membantu sesama.  Sehingga nama Herdi menjadi harum.  Maka tak pelak, ketika ada pencalonan kepala desa, Herdi dicalonkan.  Tentu saja Herdi dengan sikap khas jawanya, dengan berdalih siapakah dirinya yang tidak memiliki latar belakang yang menguntungkan, tidak memiliki pendidikan tinggi, sebab ia hanya tamat SMP, tidak memiliki apa-apa, walau ia kaya, ia kemudian menolak.  Tetapi justru dengan penolakannya itu, orang-orang kampung malah semakin semangat mendukungnya.

Akhirnya jadilah Herdi seorang kepala desa.  Bengkok sawahnya 15 hektar.  Belum lagi pendapatan pajak jual beli tanah di desanya yang memang karena meubel sangat ramai di Jepara, banyak pengusaha luar kota dan bahkan luar negeri yang mencari tempat usaha di kota kami, termasuk di desa kami.  Jadilah Herdi seorang kepala desa yang kaya, karena usaha meubelnya juga berkembang pesat.  Dengan uang yang tak pernah berhenti mengalir, ia investasikan pada perkebunan, pesawahan, dan beternak sapi brama dan kambing etawa yang lagi ngetrend.  Hasil kebun dan sawah juga melimpah.  Lumbungnya selalu penuh, tiap waktu tak kunjung habis.

Suatu kali dia menikahkan anak gadisnya yang telah selesai kuliah di akademi kebidanan, dan telah menjadi bidan di desanya.  Rumahnya bak istana.  Tamu sudah hilir mudik seminggu sebelum acara.  Tidak hanya tamu dari desanya, tetapi juga relasi-relasi pemerintahan seperti Pak Camat dan bahkan Pak Bupati serta rekan bisnis meubelnya selama ini.  Saudara-saudaranya, tidak ada yang tersisa, semua ikut melayani dan menjadi tuan rumah di acara pernikahan itu.  Istrinya yang menawan itu sampai kelelahan menerima tamu.  Melihat istrinya seperti itu, ia lalu menghiburnya, bahwa nanti toh setelah acara selesai, bisa istirahat.  Ia menjanjikan, sesuai acara itu, dia akan membawa istrinya ke sebuah hotel mempesona di pulau Karimunjawa.  Sebagaimana biasa di desa di daerah pantai, hiburan yang pling digemari adalah Orkes Melayu.  Herdi pun memanggil sebuah grup Orkes Melayu dari kota Salatiga dengan para penyanyi ternama dari Jogja dan Blora.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun