Disiplin santri, kalau kita dengar kata "disiplin" mungkin langsung terbayang deretan jadwal yang ketat, suara alarm subuh yang menyeramkan, atau wajah ustadz yang tegas. Tapi, kalau dilihat dari perspektif yang lebih dalam---baik itu dari teori pendidikan modern, atau dari sudut pandang Al-Qur'an dan Hadits---disiplin ternyata punya peran yang jauh lebih penting dan mulia. Apalagi, dalam konteks pendidikan santri di pesantren, disiplin bukan sekadar aturan, tapi bentuk pelatihan mental dan spiritual yang akan membekas seumur hidup.
Menurut teori pendidikan klasik dari B.F. Skinner, disiplin dalam pendidikan sangat erat kaitannya dengan reinforcement atau penguatan. Ketika santri disiplin bangun subuh, hadir tepat waktu di majlis ta'lim, dan menjalankan kewajiban sehari-hari, mereka sebenarnya sedang dibiasakan dengan serangkaian reinforcement positif. Misalnya, pujian dari ustadz atau sekadar rasa puas setelah berhasil menyelesaikan hafalan. Skinner percaya bahwa pengulangan perilaku positif akan membentuk kebiasaan jangka panjang. Di pesantren, hal ini terlihat jelas: santri belajar menjadi disiplin, bukan karena paksaan semata, tetapi karena mereka terbiasa dengan rutinitas yang memberi mereka rasa pencapaian.
Namun, disiplin dalam Islam lebih dari sekadar perilaku yang diperkuat. Dalam Al-Qur'an, Allah SWT berfirman:
"Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik." (QS. Al-Ankabut: 69).
Ayat ini menunjukkan bahwa usaha, ketekunan, dan disiplin dalam mengikuti aturan-aturan agama akan mendatangkan bimbingan dari Allah. Jadi, ketika santri berdisiplin dalam shalat, menghafal, atau menuntut ilmu, mereka sebenarnya sedang berusaha mendekatkan diri kepada Allah. Disiplin menjadi jembatan yang menghubungkan antara usaha manusia dan rahmat Ilahi.
Hadits Rasulullah juga menekankan pentingnya disiplin dalam ibadah dan kehidupan sehari-hari. Dalam sebuah hadits, Nabi bersabda:
"Sebaik-baik amalan adalah yang dilakukan secara terus menerus meskipun sedikit." (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari perspektif ini, kita bisa melihat bahwa disiplin adalah konsistensi. Santri yang rajin bangun subuh, menunaikan shalat tepat waktu, dan menuntaskan hafalan bukanlah karena paksaan semata, tetapi karena mereka paham bahwa kebaikan harus dilakukan secara terus-menerus agar mendapat keberkahan. Meskipun sulit pada awalnya, perlahan-lahan disiplin tersebut menjadi kebiasaan yang mendarah daging.
Melihat dari perspektif psikologi modern, teori Maslow tentang "Hierarki Kebutuhan" juga berperan dalam memahami pentingnya disiplin santri. Maslow menjelaskan bahwa manusia memiliki kebutuhan dasar yang harus dipenuhi sebelum mencapai aktualisasi diri. Disiplin di pesantren membangun dasar-dasar kebutuhan seperti rasa aman, keteraturan, dan keanggotaan dalam komunitas yang lebih besar (pesantren). Dengan memenuhi kebutuhan ini, santri berada dalam posisi yang lebih baik untuk mencapai puncak aktualisasi diri, di mana mereka dapat meraih pencapaian spiritual dan intelektual yang lebih tinggi.
Tentu saja, pengalaman sehari-hari di pesantren memberikan banyak contoh tentang bagaimana teori-teori ini bekerja dalam kehidupan nyata. Ketika santri bangun pukul empat pagi dan harus mematuhi jadwal ketat, mereka sebenarnya sedang berlatih untuk mengendalikan diri---sebuah konsep yang dalam psikologi disebut "delayed gratification" (menunda kepuasan). Misalnya, ketika mereka menahan kantuk untuk tahajud, atau ketika mereka harus menahan diri untuk tidak bermain game dan memilih mengaji, mereka sedang mengembangkan kemampuan mengendalikan dorongan sesaat untuk mencapai tujuan yang lebih besar.
Dari sisi spiritual, disiplin santri tidak hanya berdampak pada aspek fisik dan kognitif, tetapi juga menyentuh ranah keimanan. Dalam Islam, ibadah yang dilakukan secara disiplin dan konsisten adalah salah satu bentuk penghormatan kepada waktu, yang merupakan anugerah Allah. Disiplin dalam shalat lima waktu, puasa, dan mengaji, semua itu melatih santri untuk menghargai waktu sebagai salah satu sumber daya paling berharga yang diberikan oleh Sang Pencipta. Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman:
"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya menaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran." (QS. Al-Asr: 1-3).
Ayat ini mengingatkan kita bahwa orang-orang yang mampu menggunakan waktunya dengan baik, termasuk dengan disiplin dalam menjalankan tugas-tugas dan kewajibannya, adalah orang-orang yang akan mendapat keberuntungan di dunia dan akhirat.
Jadi, dari perspektif Islam dan teori pendidikan, disiplin santri bukan hanya soal mengikuti aturan. Disiplin adalah latihan mental, spiritual, dan emosional untuk membentuk karakter yang kuat, konsisten, dan penuh tanggung jawab. Di pesantren, disiplin bukan beban, melainkan sebuah kesempatan untuk terus belajar dan memperbaiki diri, baik di dunia maupun untuk bekal akhirat. Dan, tentu saja, dalam prosesnya, ada banyak cerita lucu, canda tawa, dan momen-momen kecil yang akan terus diingat sepanjang hidup mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H