Potret Kriminalisasi Guru
Akhir-akhir ini tengah ramai di media sosial tentang Guru yang dimasukan bui atau penjara karena berupaya mendidik muridnya. Kejadian ini dialami oleh Pak Sambudi, divonis 3 bulan penjara karena mencubit muridnya yang tidak mau sholat, Ibu Supriyanti yang dijebloskan ke bui karena dituduh memukul muridnya yang merupakan anak polisi, Pak Zaharman matanya buta usai di ketapel orang tua yang tidak terima anaknya dimarahi karena merokok.
Fenomena ini tidak hanya menarik simpati tetapi juga mengundang perdebatan tentang batas kewenangan guru dalam mendidik dan menerapkan disiplin di sekolah. Kita sepakat bahwa Guru ialah sosok yang "digugu" dan "ditiru" (orang yang dipercaya dan diikuti) bukan hanya mengajar di kelas tapi harus menanamkan nilai-nilai moral dan kedisiplinan kepada siswa sehingga tindakan korektif dianggap perlu.Â
Hemat penulis, satu hal yang rawan menjadi polemik disini adalah pendekatan yang dianggap wajar dalam mendisiplinkan siswa teruatama pendekatan fisik. Karena sekarang tindakan semacam itu dihadapkan dengan tuntutan hukum yang keras, apalagi melibatkan pihak-pihak dengan pengaruh tertentu.
Maraknya kasus seperti ini menimbulkan dilema etis dalam dunia pendidikan: bagaimana memastikan bahwa disiplin tidak melampaui batas yang dapat mencederai hak siswa, tanpa mengurangi efektivitas pendidikan karakter di sekolah?
Tak hanya itu, beberapa orang tua kini semakin responsif atau bahkan protektif terhadap anak mereka. Ketegangan ini menyoroti perlunya pendekatan sinergi antara guru dan orang tua dalam membentuk kedisiplinan dan karakter siswa. Hubungan yang kuat antara kedua belah pihak akan membantu membangun lingkungan sekolah yang kondusif sehingga kejadian semacam ini tidak terulang kembali.
Guru Dalam Wacana Undang-undang
Seorang guru tidak hanya bertugas menyampaikan pelajaran di dalam kelas. Berdasarkan Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, tugas utama Guru adalah mendidik membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan melakukan evaluasi siswa. Sehinnga tak heran peran dan tugas seorang guru tidak terbatas di dalam kelas, melainkan melekat pada semua aspek siswa pada setiap jenjang pendidikan.Â
Melihat perilaku seorang siswa yang bertentangan dengan norma dan dalam rangka membentuk karakter, sudah seharusnya guru memberikan teguran, nasihat, dan arahan. Hal ini berdasarkan pasal 7 ayat 1 huruf a bahwa guru memilki prinsip profesionalitas yakni berkomitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak yang mulia.
Kemudian dalam menjalankan tugas mendidik, guru memiliki hak untuk menegur dan mengarahkan siswa agar sesuai dan memahami nilai-nilai moral dan etika sosial. Sehingga peran ini menjadi sangat penting karena kelak akan membentuk pola dan perilaku siswa di lingkungan masyarakat.Â
Berdasarkan pasal 39 ayat 2 Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, seorang guru berperan dalam menciptakan lingkungan belajar yang mendukung pengembangan potensi peserta didik secara menyeluruh, baik dari segi akademik maupun karakter melalui pembelajaran, penilaian, sampai pembimbiangan.Â
Dengan kata lain, guru diharapkan tidak hanya berfokus pada kecerdasan kognitif siswa, tetapi juga memperhatikan aspek emosional dan spiritual mereka.
Sebagai pilar pendidikan, guru memerlukan dukungan hukum dan pemahaman masyarakat agar dapat menjalankan fungsinya dengan optimal. Diperlukan kerjasama antara pihak sekolah, keluarga, dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan karakter siswa.Â
Dengan demikian, diharapkan akan lahir generasi yang cerdas secara intelektual dan memiliki akhlak yang baik serta berdampak positif terhadap kehidupan masyakarat.
Penyebab Terjadinya Kriminalisasi
Pada sub tema pertama tentang potret kriminalisasi guru, kesimpulan yang dapat kita ambil yaitu salah satu penyebab kriminalisasi terhadap guru dalam menjalankan tugasnya adalah pergeseran pandangan orang tua tentang disiplin di sekolah.Â
Penulis masih ingat ketika dulu tindakan korektif yang diberikan oleh guru, termasuk pendekatan fisik seperti cubitan atau teguran keras, sering dianggap wajar sebagai bagian dari pendidikan karakter.Â
Kemudian seiring berjalannya waktu, pendekatan ini dipandang sebagai pelanggaran hak anak, terlebih jika melibatkan orang tua atau pihak dengan pengaruh tertentu yang siap memperkarakan tindakan guru. Fenomena ini memperlihatkan dilemma yang begitu besar antara tanggung jawab sebagai pendidik dan sanksi hukum yang akan ditimbulkan.Â
Banyak ditemukan di media sosial video berjenis parodi yang memperlihatkan siswa yang sedang bertengkar dan dilihat oleh seorang guru. Kemudian guru tersebut menghiraukannya karena takut apabila menegur akan mendapatkan sanksi hukum.Â
Walupun hanya sebuah konten, nyatanya hal tersebut dalah pesan penting bahwa sekarang guru sedang dalam dilemma besar untuk menjalankan fungsinya di sekolah.
Selain itu, sikap orang tua yang semakin protektif turut berkontribusi pada kriminalisasi terhadap guru. Banyak orang tua yang cepat bereaksi, bahkan langsung membawa kasus seperti di atas ke ranah hukum, tanpa terlebih dahulu melakukan mediasi atau tabayyun dengan pihak sekolah.Â
Tidak ada asap kalau tidak ada api, begitulah logikanya ketika anak mendapatkan teguran atau hukuman dari sang guru di sekolah.Â
Kemudian para orang tua seharusnya bahagia karena anaknya mendapatkan hukuman, karena itu artinya guru-guru di sekolah tersebut perhatian dan peduli dengan siswanya, justru karena ingin menjadikan anak didiknya baik maka dilakukan tindakan korektif. Bukankah pahitnya obat adalah untuk menyembuhkan dari sebuah panyakit?
Upaya PGRI Mengakhiri Kriminalisasi Terhadap Guru
Kini saatnya kepastian hukum dan perlindungan hukum harus melegitimasi para guru dalam menjalanan tugasnya. Dikutip dari akun Instagram tentangmahasiswa.co pada 30 Oktober 2024. Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Unifah Rosyidi, mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Guru sebagai langkah untuk mencegah kriminalisasi terhadap guru.Â
Usulan ini muncul menyusul meningkatnya kasus kriminalisasi, seperti yang terjadi di Konawe Selatan, di mana seorang guru honorer bernama Supriyani dituduh melakukan penganiayaan terhadap muridnya. Kasus-kasus seperti ini menimbulkan keresahan di kalangan guru yang khawatir akan dampak hukum dari tindakan disipliner mereka di kelas.
PGRI telah mengadakan pertemuan dengan Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Nasional untuk membahas dorongan terhadap Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Komisi X DPR, serta Ketua DPR agar segera menyusun dan membahas RUU Perlindungan Guru.Â
Dalam upaya ini, PGRI juga telah menyiapkan naskah akademik sebagai dasar pembahasan undang-undang dan akan segera mengirim surat resmi kepada DPR serta Kemendikbudristek untuk mempercepat proses legislasi.
Kemudian menurut Unifah, PGRI bersama LKBH memiliki perjanjian kerja sama dengan Ombudsman RI dan didukung keputusan Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan bahwa guru tidak dapat dipenjarakan.Â
Meski demikian, ia mengakui bahwa pelaksanaan perlindungan terhadap guru masih jauh dari optimal. Situasi ini memerlukan pendekatan yang lebih tegas agar guru mendapat jaminan hukum dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik tanpa rasa takut.
RUU Perlindungan Guru ini diharapkan dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan bebas dari kekerasan, baik untuk guru maupun siswa. Unifah menekankan pentingnya menghormati posisi guru sebagai pendidik dan pendamping siswa, serta menegakkan prinsip keadilan dan hak asasi manusia.Â
Dengan adanya perlindungan hukum yang kuat, guru diharapkan dapat mengajar dengan tenang dan fokus pada pengembangan karakter siswa tanpa ancaman kriminalisasi.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H