Mohon tunggu...
Suyatno
Suyatno Mohon Tunggu... Lainnya - wirawiri

Bachelor of Law at UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung 2024

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Seni Menjaga "Kewarasan" di Pedesaan

17 September 2024   15:19 Diperbarui: 18 September 2024   15:21 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengenal Kewarasan dan Tantangannya

Dalam kehidupan sehari-hari kita pasti pernah mendengar kata "waras". Penggunaan kata "kewarasan" dalam artikel ini berasal dari kata "waras" yang artinya sehat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata waras dartikan sebagai sembuh jasmani. 

Sementara dalam pandangan penulis, kata "waras" dapat dimaknai secara filosofi yang berarti kembali pada keadaan semestinya. Kata mesti menujukkan keadaan ideal, di mana individu dapat beraktivitas tanpa terhambat oleh penyakit jasmani atau rohani apapun.

Keadaan awal individu sebagai manusia menginginkan situasi normal, sehingga ketika terserang penyakit harus segera disembuhkan karena dianggap tidak normal. Inilah yang dimaksud kembali pada keadaan semestinya, di mana waras dipahami sebagai kembalinya individu sebagai manusia yang sehat sesuai fitrahnya.

Lalu bagaimana jika konsep di atas diterapkan kepada individu sebagai sarjana? Tentu yang harus pertama dipahami adalah fitrahnya seorang sarjana, bahwa setelah menyelesaikan pendidikan tinggi seorang sarjana harus bisa mengamalkan ilmunya di tengah-tengah masyarakat. Mengamalkan artinya dapat memberikan pengaruh secara signifikan khususnya terhadap bidang yang ia tekuni selama pendidikan.

Namun tidak jarang setelah selesai mengenyam pendidikan tinggi, seorang sarjana akan mudah "tenggelam" dalam lingkungan yang dinamis sehingga ilmunya dapat luntur karena terkena penyakit malas. Penyakit malas ini dapat dipicu karena transisi lingkungan akademik ke lingkungan masyarakat, dimana terdapat perbedaan tuntutan. 

Maksudnya ketika masih di lingkungan akademik, individu cenderung dituntut untuk aktif membaca, menulis, dan berdiskusi, sementara di lingkungan masyarakat terdapat tantangan untuk melakukan semua itu seperti kesibukan dan terjebak dalam zona nyaman. 

Kedua hal ini dapat mengakibatkan sarjana terkena penyakit malas, yaitu malas membaca, malas menulis, dan malas berdiskusi. Penyakit malas memang bisa menyerang siapa saja, namun bagi seorang sarjana, penyakit malas akan berdampak buruk pada budaya akademiknya.

Sumber gambar: DALL-E pada Canva
Sumber gambar: DALL-E pada Canva

Lingkungan Pedesaan

Lingkungan pedesaan identik dengan keadaan seadanya mulai dari pendidikan belum merata, kultur masyarakat yang awam terhadap budaya akademik, sampai masih kurangnya minat baca.

Demikian itu adalah lingkungan pedesaan tempat tinggal penulis, bahwa memang dari segi pendidikan masyarakatnya kebanyakan lulusan Sekolah Dasar dan minat baca masih rendah. 

Hal ini dapat diverifikasi ketika penulis melihat grup facebook terjadi kegaduhan karena salah satu postingan yang mengkritik sebuah oknum guru madrasah dengan basis sentimen. 

Bukannya direspons dengan diskusi yang sehat, postingan tersebut malah memicu serangan pribadi dan emosi. Ini menunjukkan betapa rendahnya literasi di kalangan masyarakat pedesaan, di mana kemampuan untuk membaca dan memahami informasi secara mendalam belum terbentuk dengan baik.

Sebagai seorang sarjana yang kembali ke lingkungan desa, tantangan ini bisa terasa berat. Bagaimana seorang lulusan perguruan tinggi bisa mengamalkan ilmunya di lingkungan yang tidak mendukung budaya akademik? 

Di sinilah pentingnya kewarasan akademik yang sebelumnya dibahas. Seorang sarjana yang sehat secara akademik mampu tetap menjaga semangat membaca, menulis, dan berdiskusi meskipun lingkungan sekitarnya tidak mendukung.

Seni Menjaga Kewarasan

Dari paparan di atas kita bisa memahami bahwa kewarasan dalam artikel ini adalah kembali pada keadaan semestinya seorang sarjana terhadap fitrahnya, yakni budaya akademik. 

Hidup di lingkungan masyarakat berbeda dengan lingkungan akademik, sehingga budaya akademik perlu dijaga agar tidak hilang oleh rasa malas akibat lingkungan dan zona nyaman, di mana keadaaan seseorang yang stagnan dan merasa cukup dalam sebuah situasi. 

Kedua hal ini secara tidak langsung dapat menjerumuskan sarjana pada pola monoton yang berujung pada penyakit malas. Untuk menyikapi hal itu, perlu ada langkah-langkah atau cara untuk menjaga kewarasannya.

Seni menjaga kewarasan adalah langkah atau cara yang dilakukan oleh seorang sarjana untuk merawat kewarasannya. Penulis menggunakan kata seni karena kewarasan merupakan bentuk ekspresi dari budaya akademik dan bisa dipelajari sehingga dapat mendorong daya kreatif seseorang. Seni menjaga kewarasan juga dapat dilakukan oleh semua orang untuk merangsang dan melatih literasinya. Berikut ini adalah paparan dari seni menjaga kewarasan;

Membaca Buku

Membaca buku adalah langkah pertama dan paling mendasar dalam menjaga kewarasan, khususnya bagi sarjana. Dengan membaca, individu tidak hanya menambah wawasan baru tetapi juga melatih kemampuan berpikir kritis. 

Di lingkungan pedesaan yang minim akses terhadap sumber bacaan (perpustakaan), hal ini menjadi tantangan tersendiri. Namun dengan hadirnya teknologi dan buku digital atau e-book, hal ini bisa diatasi dengan mudah. Membaca buku membantu menjaga otak tetap aktif, dan sebagai sarjana, sangat penting untuk tetap terhubung dengan perkembangan ilmu pengetahuan.

Update Berita

Tidak kalah penting, sarjana juga harus selalu up-to-date terhadap perkembangan terbaru, minimal berita yang ada di tempat tinggalnya seperti ekonomi, politik, hukum, sosial, budaya dan sebagainya. 

Era sekarang, berita dapat diakses di manapun dan kapapun melalui media sosial atau artikel online sehingga bisa menjadi salah satu cara efektif untuk menjaga kewarasan. 

Dengan tetap terhubung pada peristiwa terkini, seorang sarjana dapat mengaitkan ilmunya dengan keadaan masyarakat saat ini dan terus relevan dalam percakapan sehari-hari.

Membaca Lingkungan

Membaca lingkungan berarti peka terhadap dinamika sosial dan budaya di sekitar kita. Bagi seorang sarjana yang tinggal di pedesaan, kemampuan ini menjadi penting. 

Menyesuaikan ilmu pengetahuan yang dimiliki dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat akan memperkaya pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan adaptasi. 

Memahami bagaimana masyarakat sekitar berpikir, bertindak, dan berinteraksi dapat menjadi sumber inspirasi bagi sarjana dalam menerapkan pengetahuannya secara praktis. Membaca lingkungan dapat dimulai dari orang-orang sekitar kita seperti teman atau keluarga.

Menulis 

Menulis menjadi salah satu cara terbaik untuk menjaga kewarasan. Dengan menulis, sarjana dapat menuangkan ide, gagasan, atau pemikiran yang mereka miliki. Menulis tidak hanya menjadi sarana ekspresi diri tetapi juga membantu mempertajam kemampuan analitis dan refleksi. 

Bagi sarjana yang tinggal di pedesaan, menulis juga dapat menjadi jembatan untuk berbagi wawasan kepada masyarakat atau sarjana lain di luar lingkungan mereka.

Membangun Relasi dengan Senior 

Membangun jaringan dengan sesama sarjana sangat penting untuk menjaga kewarasan. Berada dalam lingkungan yang minim budaya akademik tidak berarti harus terisolasi. Relasi ini bisa dilakukan secara online melalui diskusi, grup, atau komunitas. 

Dengan terhubung kepada sarjana lain, individu dapat saling bertukar ide, pengalaman, dan gagasan, yang akan memperkaya pengetahuan serta menjaga semangat akademik tetap hidup. Penulis sendiri memiliki circle yang juga sarjana, lingkungan ini dapat dijadikan sebagai tempat untuk melakukan diskusi dan sharing antar sesama.

Mengikuti Webinar

Di era digital, kesempatan untuk terus belajar terbuka lebar melalui berbagai seminar online (webinar). Sarjana dapat mengikuti webinar sesuai dengan bidang ilmu atau minatnya. 

Kegiatan ini tidak hanya memberikan pengetahuan baru tetapi juga membuka wawasan terhadap isu-isu terbaru yang sedang berkembang. Informasi webinar sangat mudah diakes melalui media sosial Instagram. Berbagai jenis webinar mulai dari yang gratis dan berbayar tersedia dengan berbagai tema. Hal ini juga akan membuka pengetahuan baru untuk belajar disiplin ilmu lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun