Mohon tunggu...
Suyatno
Suyatno Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fresh Graduate

Hai, nama saya Suyatno. Hobi saya adalah menulis. Saya menyukai menulis karena bagi saya menulis menjadi ruang untuk mengekspresikan ide dan kegelisahan atas sesuatu. Tulisan saya banyak terinspirasi dari nilai-nilai dan etik yang saya temukan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, menulis juga bagi saya adalah tempat belajar yang menarik karena dengan menulis saya dapat melihat kekurangan yang ada pada diri saya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Istilah "Beban Keluarga" dalam Pandangan Hukum Positif

24 Mei 2024   17:40 Diperbarui: 24 Mei 2024   18:30 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa Itu "Beban Keluarga" ?

Pada dewasa ini, penulis sering mendengar dan melihat fenomena yang cukup familiar di kalangan para remaja, yaitu pelebelan "beban keluarga". "beban keluarga" merupakan istilah yang sering kali dipakai oleh sebagian orang saat berada di tongkrongan. Hemat penulis, "beban keluarga" adalah sebuah istilah yang digunakan untuk mengekspresikan keadaan yang seharusnya terhadap usia seseorang, tetapi realitasnya tidak demikian bahkan menyimpang. Penggunaan istilah ini identik dengan keadaan yang seharusnya pada seorang remaja. Misalnya ada seorang remaja berusia 22 tahun dia sudah memiliki pekerjaan, mampu membelikan baju lebaran untuk dirinya dan orang tua, memberikan hadiah kepada adik, dan sebagainya. Sementara disisi lain ada seorang remaja yang usianya seumuran tetapi belum mampu memberikan semua itu padahal latar belakang keduanya tidak jauh berbeda. Maka sebagian orang membandingkan kedua keadaan ini dan menyimpulkan remaja kedua adalah "beban keluarga" karena diusianya yang sama dia tidak bisa memberikan semuanya itu.

"Beban keluarga" juga digunakan untuk melebelkan perbuatan menyimpang akibat kenakalan remaja. Kenakalan remaja yang sedang marak pada saat ini adalah tawuran. Belum tahu pasti apa yang melatarbelakangi mereka untuk melakukan perbuatan tersebut, namun yang jelas tindakan ini sangat merugikan diri sendiri, orang tua, dan juga masyarakat. Seorang remaja seharusnya waktunya disibukkan untuk belajar, bukan berlari-lari di jalan membawa senjata tajam atau konvoi dengan membuat kegaduhan dimana-mana. Fenomena ini belakangan ramai di media sosial yang kemudian mengundang berbagai komentar dari warganet yang cenderung menyayangkan atas tindakan remaja tersebut. Sebagian dari mereka mengatakan "beban keluarga" karena bukannya belajar di sekolah dengan sungguh-sungguh, justru malah melakukan perbuatan yang merugikan orang lain dan berimbas kepada keluarganya yang harus berurusan dengan hukum.  

"Beban Keluarga" dalam Masyarakat

Di tengah-tengah hidup bermasyarakat, kita mungkin sering mendengar istilah "beban keluarga". Dalam masyarakat "beban keluarga" ini banyak dilebelkan kepada anak-anak. Menurut undang-undang perlindungan anak, Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Saat penulis sedang berada di kampung halaman, tepatnya di Indramayu untuk menikmati liburan, terjadi perkelahian yang melibatkan dua kelompok anak-anak kemudian berujung pada pembacokan yang melukai punggung salah seorang anak. Atas kejadian ini lalu banyak teman-teman dari penulis menanggapi dengan berbagai pernyataan, salah satunya menganggap mereka adalah "beban keluarga". Dengan kata lain konsepsi atas "beban keluarga" juga dapat merujuk pada kenakalan remaja. Dilansir dari website ppid.kejaksaan.go.id kenakalan remaja merupakan perilaku menyimpang dari norma-norma hukum yang dilakukan oleh remaja. Kenakalan remaja terbagi menjadi empat jenis yaitu; cyber bullying, penyalahgunaan narkoba, seks bebas dan tawuran. Peristiwa pembacokan di atas masuk ke dalam kenakalan remaja dengan jenis tawuran.

Berdasarkan kasus yang dipaparkan di atas, kejadian tersebut diancam dengan hukuman yang serius. Merujuk pada pasal 358 KUHP jika penyerangan atau perkelahian itu hanya berakibat orang terluka berat, maka ancaman hukumnya dengan pidana penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan. Namun, apabila penyerangan itu sampai mengakibatkan orang mati, maka pidana penjara selama-lamanya empat tahun. Kemudian menurut undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak, tindakan tersebut di atas penyerangan atau perkelahian terhadap anak dapat dipidana maksimal 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 72 juta (Pasal 80 ayat 1).

Jadi, "beban keluarga" adalah pelebelan atau stereotip yang merujuk pada keadaan seharusnya terhadap seorang anak dan pada kenakalan remaja. Dalam keadaan yang seharusnya seorang anak dikatakan "beban keluarga" saat dirinya melihat atau dibandingkan dengan pencapaian orang lain dan bersifat candaan, sementara "beban keluarga" yang merujuk kepada kenakalan remaja adalah pelebelan "beban keluarga" yang serius karena perilaku, tindakan, perbuatannya mengancam, membahayakan, dan merugikan keselamatan dirinya sendiri, orang lain, dan keluarga yang menimbulkan akibat hukum.

Aspek Hukum "Beban Keluarga"

Dari potret sosial di atas, ada aspek-aspek hukum yang dapat diuraikan dan perlu dipahami dari pelebelan "beban keluarga" baik keadaan yang seharusnya ataupun kenakalan remaja, meliputi; keluarga, hak dan kewajiban anak, serta hak dan kewajiban orang tua terhadap anak. Berikut ini adalah penjelasan dari setiap aspek hukum tersebut.

Pertama, keluarga. Dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa keluarga adalah orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah dan garis menyamping sampai derajat ketiga, orang yang mempunyai hubungan perkawinan, atau orang yang menjadi tanggungan Saksi dan/atau Korban. Keluarga terdiri dari suami, istri, ayah, ibu, dan anak. Semua ini merupakan entitas di dalam keluarga, yang kemudian disebut sebagai anggota keluarga. Salah satu sebab adanya keluarga ialah karena hubungan perkawinan, di mana asas Undang-undang No. 1 tahun 1974 menjelaskan tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

Dengan demikian, keluarga harus menjadi lingkungan yang memberikan dampak positif bagi anggota di dalamnya. Dari sudut pandang ini, istilah "beban keluarga" tidak ada karena bertentangan dengan tujuan perkawinan dan asas keluarga itu sendiri. Istilah "beban keluarga" bisa menjadi paradoks atas sosio-kultural yang dapat diuraikan menjadi beban dan keluarga. Kata "beban" secara umum sering disandingkan dengan "tanggung jawab" sehingga dikatakan beban dan tanggung jawab. Di dalam tanggung jawab terdapat kewajiban untuk menanggung segala akibat dari sesuatu yang telah diperbuatnya. Sehingga "beban keluarga" mengacu pada kewajiban-kewajiban orang tua terhadap anak. Jadi ada Upaya legal reasoning terhadap istilah tersebut yang mengacu pada kewajiban dan hak para anggota keluarga.

Kedua, hak dan kewajiban anak. Setiap orang pasti memiliki hak dan kewajiban yang saling terkait. Hak dan kewajiban ini tidak dapat dipisahkan karena dalam setiap hak terkandung kewajiban untuk menghormati hak orang lain dan tidak boleh mengganggunya. Hak dan kewajiban anak sudah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Dalam undang-undang ini, secara umum pada pasal 6 disebutkan bahwa hak-hak anak meliputi hak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orang tua atau wali. Selain itu, pasal 9 menyebutkan hak anak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran serta mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.

Dalam konteks beban ganda yang merujuk pada kenakalan remaja, sering kali anak yang berperilaku negatif diberi label sebagai "beban keluarga". Pelebelan semacam ini dapat merugikan anak tersebut karena tidak hanya mengabaikan hak mereka untuk mendapatkan bimbingan dan perlindungan, tetapi juga dapat memperburuk kondisi psikologis mereka. Hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip perlindungan anak yang seharusnya memastikan setiap anak mendapatkan hak-hak mereka, termasuk hak untuk tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang mendukung dan bebas dari kekerasan serta diskriminasi. Oleh karena itu, penting untuk menghindari pelebelan negatif dan fokus pada pendekatan yang mendukung perkembangan positif anak, sesuai dengan hak dan kewajiban yang diatur dalam undang-undang.

Kewajiban anak diatur oleh pasal 46 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka selagi masih berkaitan dengan hal-hal yang baik. Lalu setelah anak beranjak dewasa ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya. Sebagai seorang anak menghormati kedua orang tua merupakan kewajiban dan setelah anak tumbuh menjadi orang dewasa, orang tuanya akan menjadi lansia sehingga pada waktu ini anak wajib memelihara orang tua dan keluarganya dari garis lurus ke atas. Kemudian jika anak dilebelkan sebagai "beban keluarga" pada keadaan yang seharusnya, secara konstitusional tidak ada syarat minimal anak memelihara atau merawat harus memiliki pekerjaan dan penghasilan sejumlah sekian atau menjadi apa terlebih dahulu. Anak diwajibkan memelihara kedua orang tua sesuai dengan kemampuannya, yang mana kemampuan setiap anak berbeda-beda.

Lalu jika "beban keluarga" merujuk pada tawuran, pertanyaannya orang tua mana yang mengajarkan anaknya untuk melakukan tawuran. Pada dasarnya orang tua mengajarkan anak untuk berbuat baik dan menghormati orang lain. Seandainya ada orang tua yang menghendaki hal negatif kepada anak, anak harus bisa bersikap tegas dan menyampaikan hak dan kewajibannya terhadap orang tua. Kesimpulannya, hak dan kewajiban anak adalah dua hal yang saling terkait dan tidak dapa dipisahkan. hak dengan kewajiban masing-masing diatur oleh undang-undang. Pelebelan beban ganda pada kenakalan remaja sering kali merugikan anak karena dapat mempengaruhi psikologis mereka. kewajiban anak adalah menghormati orang tua dan merawat mereka dengan kemampuan yang dimilikinya.

Ketiga, kewajiban orang tua terhadap anak. Salah satu hak setiap orang melalui perkawinan menurut UUD 1945 Pasal 28B ayat 1 adalah melanjutkan keturunannya, yaitu anak. Dalam konteks ini, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 mengatur bahwa kedua orang tua memiliki kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak dengan sebaik-baiknya. Kewajiban ini berlaku terus hingga anak tersebut menikah atau mampu berdiri sendiri. Berdiri sendiri diartikan sebagai kemampuan anak untuk memenuhi kebutuhan dan menanggung risiko hidupnya secara mandiri. Dalam prosesnya, tanggung jawab orang tua tidak hanya berupa penyediaan kebutuhan fisik, tetapi juga mencakup aspek pendidikan dan bimbingan moral yang sesuai dengan perkembangan anak.

Sering kali ketika seorang anak tidak memiliki keadaan yang seharusnya, maka sebagian orang memberikan label sebagai "beban keluarga". Namun, pelebelan ini tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Jika seorang anak belum memiliki pekerjaan atau penghasilan, maka tanggung jawab mendidik dan memelihara dari orang tua tetap berlaku, dan pelebelan sebagai "beban keluarga" tidak dapat dibenarkan. Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 menegaskan bahwa anak memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan, perlindungan, dan pengasuhan yang baik. Pelebelan negatif semacam ini tidak hanya melanggar hak-hak anak karena secara tidak langsung mendiskriminasikan anak sebagai beban di dalam keluarganya. Selain itu,  pelebelan ini bertentangan dengan kewajiban orang tua yang diatur oleh undang-undang.

Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk melebelkan anak sebagai "beban keluarga" jika ia belum sampai berumah tangga atau mandiri. Setiap anak yang belum mampu berdiri sendiri tetap berada di bawah tanggung jawab orang tua. Stigma sebagai "beban keluarga" tidak memiliki dasar hukum atau moral yang kuat dan justru dapat merugikan perkembangan psikologis anak. Penting bagi orang tua dan masyarakat untuk memahami dan menghormati hak-hak anak, serta memastikan bahwa mereka mendapatkan bimbingan dan dukungan yang dibutuhkan untuk tumbuh menjadi individu yang mandiri dan bertanggung jawab.

Kesimpulannya adalah kewajiban orang tua terhadap anak adalah memelihara dan mendidik anak dengan baik hingga anak mampu berdiri sendiri atau menikah. Tanggung jawab ini meliputi penyediaan kebutuhan fisik, pendidikan, dan bimbingan moral. Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 juga menegaskan bahwa anak memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan, perlindungan, dan pengasuhan yang baik. Pelebelan negatif seperti menyebut anak sebagai "beban keluarga" jika mereka belum mandiri tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Stigma tersebut tidak memiliki dasar hukum atau moral yang kuat dan justru bertentangan dengan kewajiban orang tua untuk memberikan dukungan penuh kepada anak-anak mereka. Oleh karena itu, penting bagi orang tua dan masyarakat untuk memahami dan menghormati hak-hak anak, serta memberikan bimbingan dan dukungan yang diperlukan agar anak dapat tumbuh menjadi individu yang mandiri dan bertanggung jawab.

Dari paparan di atas poin yang perlu dicatat adalah istilah "beban keluarga" sering digunakan dalam masyarakat sebagai pelebelan yang merujuk pada anak-anak yang dianggap tidak memenuhi ekspektasi tertentu, baik dari segi tanggung jawab maupun perilaku. Istilah ini muncul dalam dua konteks utama: pertama, ketika seorang anak dibandingkan dengan rekan sebayanya yang lebih berhasil atau mandiri, dan kedua, ketika remaja terlibat dalam perilaku menyimpang seperti kenakalan remaja. Dari sudut pandang hukum positif, pelebelan "beban keluarga" tidak memiliki dasar yang kuat. Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak, anak-anak memiliki hak-hak fundamental seperti pendidikan, perlindungan, dan pengasuhan yang baik, dan orang tua memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan fisik, pendidikan, dan moral anak hingga mereka mampu berdiri sendiri atau menikah. Pelebelan negatif ini tidak hanya melanggar hak-hak anak, tetapi juga berpotensi merusak kondisi psikologis mereka.

Penting untuk memahami bahwa setiap anak memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang mendukung dan bebas dari diskriminasi serta kekerasan. Orang tua dan masyarakat harus menghindari pelebelan negatif dan fokus pada pendekatan yang mendukung perkembangan positif anak sesuai dengan hak dan kewajiban yang diatur dalam undang-undang. Dengan demikian, istilah "beban keluarga" seharusnya dihindari karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan moral yang mengatur hubungan antara anak dan orang tua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun