Pendahuluan
Zaman sekarang adalah era informasi dan konseptual, demikianlah diungkapkan oleh Putu Putrayasa dalam bukunya Desain Ulang Hidup Anda, 2013.Â
Di era informasi dan konseptual ini sangat mudah informasi-informasi masuk ke dalam kehidupan kita, dan secara sadar atau tidak dapat mempengaruhi kita.Â
Kemajuan teknologi informasi tentu mesti kita sambut dengan positif, tetapi kita juga mesti waspada terhdap dampak negatif-nya, khusus terhadap beredar begitu banyak berita-berita apalagi hoax, berita-berita yang berkaitan dengan SARA, dan secara khusus pengajaran-pengajaran yang bertentangan dengan iman dan ajaran-ajaran yang sehat atau tidak biblikal.Â
Untuk itulah penulis berpendapat dalam pendidikan jemaat perlu memperkenalkan epistemologi, sehingga jemaat memiliki dasar dalam menjustifikasi suatu berita, isu, hoax, atau ajaran yang banyak beredar di zaman ini.
Apa Itu Epistemologi
Epistemologi bukanlah hal yang asing, setiap hari orang sudah berepistemologi demikian dikatakan oleh James K. Dew Jr, khusus ketika kita menanyakan sesuatu atau sebuah berita yang kita terima, misalnya ketika kita menanyakan kepada seseorang yang memceritakan sesuatu, "siapa atau dari mana kamu dapat berita ini?" dan seterusnya dimana kita sudah berepistemologi. Â
John M. Frame mengatakan epistemologi itu adalah doctrine of knowledge. Sedangkan James K. Dew Jr., dan Mark W. Foreman mengatakan epistemologi ialah "A branch of philosophy that deals with the nature and sources of knowledge and develops a theory of knowledge. Â
Epistemologi ialah bagian dalam filsafat yang berkaitan dengan sumber pengetahuan dan perkembangan sebuah teori pengetahuan. Â Ya, epistemologi adalah cabang filsafat, namun tunggu dulu bukankah epistemologi itu filsafat dan jemaat tidak berfilsafat?, Kevin Diller mengatakan sesungguhnya setiap hari kita berfilsafat.
Secara sederhana, epistemologi itu minimal berkaitan dengan beberapa hal ketika kita menjustifikasi suatu berita atau ajaran, antara lain: sumber, metode, standar. Â
Ketika kita menerima sebuah berita atau ajaran, hal pertama dilakukan adalah menanyakan atau mencari  tahu sumber berita tersebut, kemudian memperhatikan metode yang dipakai, dan standar apa atau siapa yang menjadi standarisasinya (Hal ini perlu diuraikan tersendiri). Â
Sumber adalah satu hal yang penting, kita dapat menilai apakah sumber tersebut kredibel atau tidak, kemudian metode yang dipakai termasuk logikanya bagaimana, metode induksi-deduksi, dan seterusnya, kemudian lihat apa yang menjadi standarisasi atau ukurannya.
Berkaitan denga epistemologi pendidikan dalam jemaat, maka saya mengusulkan memakai epistemologi John M. Frame dengan prinsip triperspektif yakni perspektif normatif, perspektif situasional, dan perspektif eksistensial. Pertama, perspektif normatif adalah hukum Allah atau wahyu khusus Allah (Alkitab). Â
Berkaitan dengan perspektif normatif yakni hukum Allah atau Alkitab, untuk itu eksegesis dan hermeneutik sangat diperlukan untuk menghasilkan teologi yang baik. Â E
ksegesis dan hermeneutik atau semua studi tentang Alkitab bukan untuk memberikan hukum atau arti baru terhadap objek pengetahuan, karena Firman Allah sendiri sudah memberikan arti pada semua ciptaan-Nya bahkan pada diri-Nya sendiri. Â
Studi Alkitab hanya untuk menemukan arti atau aplikasi Firman Tuhan ke dalam area kehidupan manusia. Untuk itu jika ada hal yang tidak sesuai, maka kita harus kembali menyesuaikannya dengan Firman Tuhan karena Firman Tuhan itu punya otoritas yang tertinggi.Â
Kedua, perspektif situasional. Perspektif situasional adalah fakta-fakta yang ada dalam dunia, diantaranya logika, bahasa, sejarah [gereja], filsafat, science [ilmu pengetahuan], dan budaya. Sekalipun kadang-kadang hal-hal tersebut di atas ada yang bertentangan dengan Alkitab, namun banyak fakta dari area ini menunjuk kepada kebenaran (Alkitab). Hal-hal yang bertentangan dengan Alkitab bukan karena Alkitab salah, hal itu lebih disebabkan karena kesalahan manusia dan penolakan manusia terhadap Allah. Â
Ketiga, perspektif eksistensial yakni orang yang berteologi, mencakup karakter, hati, kapasitas, rasio, emosi, perasaan, intuisi, persepsi, dan lain-lain. Â Manusia adalah ciptaan Tuhan dan seluruh apa yang ada dalam diri manusia bukan hanya sekedar unik tetapi juga punya fungsi dan kemampuan untuk berinteraksi dengan ciptaan lainnya dan dengan Tuhan. Â
Perspektif ini adalah sebagai subjek dalam arti yang menentukan dan merumuskan sebuah pengetahuan. Â Walaupun manusia sebagai subjek namun manusia tetap harus tunduk di bawah otoritas Firman Tuhan, Alkitab yang tanpa salah (inerrancy). Â
Ketiga perspektif ini mesti berjalan secara bersamaan di dalam merumuskan maupun menjustifikasi sebuah pengetahuan, namun perspektif normatif (hukum, Alkitab) harus menjadi landasan dari perspektif situasional dan eksistensial karena normatif dalam hal ini Firman Allah adalah pencipta, dan semua yang diciptakan Allah sudah diberikan arti masing-masing oleh Allah, selain itu firman Allah berotoritas dan tanpa salah. Â
Situasional dan eksistensial yakni dunia dan manusia adalah termasuk ciptaan Allah, telah jatuh dalam dosa serta memiliki keterbatasan. Namun demikian di dalam situasional dan eksistensial Allah masih bekerja, sejarah menyatakan Allah, banyak fakta-fakta di dalam dunia menyatakan Allah, dan banyak pengetahuan selaras dengan Firman Allah. Untuk itu di dalam epistemologi perspektif situasional dan eksistensial patut dipertimbangkan di dalam epistemologi.Â
Penjelasan ketiga perspektif tersebut di atas memang lebih diperuntukkan untuk prolegomena teologi, dan sebagai prolegomena dalam pendidikan jemaat, jemaat cukup mengetahu bahwa sebuah berita atau ajaran yang kita bangun atau menjustifikasi sebuah ajaran mesti dilihat dari beberapa perspektif atau tiga perspektif secara bersamaan tadi, dan perspektif normatif atau Alkitab tetaplah menjadi standar yang paling tinggi. Â
 Mengapa Epistemologi Pendidikan Dalam Jemaat
Epistemologi pendidikan dalam jemaat diperlukan karena banyaknya berita atau ajaran yang beredar bebas sekarang, sehingga jemaat tahu dan memiliki sedikit pengetahuan untuk menjustifikasi berita atau ajaran tersebut sehingga dapat menilai sejauh mana berita tersebut benar dan dapat dipercayai. Â Â
Jemaat mengerti bahwa sebuah ajaran walaupun ajaran yang diambil dari Alkitab namun bisa salah, karena tergantung pada tafsiran atau teolognya. Â Hal ini sudah dibuktikan dalam sejarah, misalnya adanya perbedaan pendapat tentang bentuk bumi antara pihak gereja dengan pihak ilmuwan dan ternyata pihak gereja salah dan pengetahuan benar.Â
Kesalahan gereja bukanlah kesalahan Alkitab. Untuk itu ilmu pengetahuan yang ada serta otak atau intuisi yang dikaruniakan Tuhan kepada manusia tetap harus dipertimbangkan atau dilihat, karena seluruh ilmu pengetahuan dan otak serta nurani manusia seperti yang disebutkan Frame sebagai perspektif situasional dan eksistensial merupakan karunia Allah atau wahyu umum Allah. Namun Alkitab tetap harus yang menjadi perspektif yang tertinggi otoritasnya. Â Untuk itu perlu ada analogis yang baik serta mencari sintesisnya.Â
Berdasarkan Roma 1: 18-20 memberitahukan bahwa seharusnya seluruh ilmu yang ada menyatakan kebesaran Allah, seperti John M. Frame mengatakan bahwa, "All knowing is Theologizing" (seluruh ilmu pengetahuan adalah teologi). Â Hal ini sekaligus untuk mengkarififikasi banyak persepsi jemaat bahwa iman Kristen atau Alkitab tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan atau science. Â Â
Mendidik dasar dan sitematika pemikiran teologi jemaat, sehingga jemaat memiliki dasar berpikir yang sistematis khususnya sebagai kaum evangelikal, sehingga jemaat tidak asal berkata "pokoknya" atau dasar berpikir satu sisi saja tanpa melihat sisi yang lain. Â Kadang-kala ada iman yang menolak logika, namun imannya juga iman yang buta yang diturunkan dari ajaran tradisi gereja dimana pokoknya jemaat ikut dan percaya saja.
Kesimpulan
Di era globalisasi atau informasi ini, epistemologi sangatlah diperlukan untuk menjustifikasi sebuah berita atau ajaran, hal ini disebabkan banyaknya berita hoax atau ajaran yang tidak bertanggungjawab atau biblikal, misalnya pluralisme, post-modernisme,humanisme, dan lain-lain. Didalam berepistemologi secara sederhana minimal ada tiga hal yang harus diajarkan jemaat  yakni sumber, standar, dan  metode.  Sedangkan terhadap ajaran-ajaran dalam kontek iman evangelikal dapat memakai epistemologi John M. Frame dengan triperspektivalisme, antara lain: perspektif normatif, perspektif situasional, dan perspektif eksistensial, serta Alkitab tetap sebagai normatif atau perspektif yang memiliki otoritas tertinggi.Â
Sumber:
- Putu Putrayasa. Â Desain Ulang Hidup Anda. Â Jakarta: Gramedia, 2013.
- http://fisikaumm.blogspot.com/2010/01/galileo-dan-sejarah-pengungkapan-bumi.html.
- Frame, John M.  The Doctrine of  The Knowledge of God.  Grand Rapids, Michigan: Baker, 1987.
- Frame, John M. Â Doktrin Pengetahuan Tentang Allah. Jilid 1: Objek Pengetahuan danÂ
- Justifikasi Pengetahuan.  Diterjemahkan oleh  Fenny V., Rahmiati T.  Malang: SAAT, 1999.
- ________. Â Doktrin Pengetahuan Tentang Allah. Jilid 2: Metode Pengetahuan. Diterjemahkan oleh Fenny V., Rahmiati T. Â Malang: SAAT, 2000.
- James K. Dew Jr., dan Mark W. Foreman, How Do We Know?: An Introduction to Epistemology (Downers Grove, Illinois: IVP Academic, 2014).
- Diller, Kevin.  Theology's Epistemological Dilemma: How Karl Barth and Alvin Plantinga Provide A Unified Response. Downers Grove, Illinois: IVP Academic, 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H