" Seni Melipat Jas Hujan"
Suwandi Aris
Lebaran telah berlalu, waktunya menyegarkan diri dan bersiap aktivitas lagi. 'Gimana ya' niat hati pingin lebih hemat dan menabung setelah hari raya tapi keperluan selalu ada.Â
Beragam hajatan hadir usai lebaran, niat silaturahmi, kita tentu datang dan memberi sumbangan. Belum lagi, acara reunian, halal bi halal sampai acara liburan yang menunggu didepan.Â
Meskipun terkadang kita punya berbagai alasan, libur lebaran memang tetap menyenangkan. Namun keseruan itu tentu ada batasnya. Kini saatnya beralih fokus dan 'selamat datang rutinitas keseharian'.
Daripada pemasukan dihabiskan untuk berbagai keseruan tambahan mending buat beli jas hujan. Benda sederhana namun begitu membantu saat mulai bepergian dengan motor atau sepeda. Saat seperti usai hari raya, jumlah kendaraan meningkat di sepanjang jalan. Kegiatan mulai aktif dan hari kerja kembali berjalan.
Seminggu ini, kepadatan jalanan mulai terasa di beberapa ruas di Pekalongan. Selain pengendara yang biasa 'wira-wiri', ada juga mahasiswa dan pelajar yang mulai berangkat sekolah seperti biasa.Â
Begitu padatnya lalu lintas membuat berkendara memerlukan konsentrasi yang ekstra. Berbagai himbuan agar beristirahat saat lelah juga terus digaungkan oleh sejumlah pihak.
Dari soal keramaian jalan, pengendara juga mesti siaga dengan cuaca yang dapat berubah setiap saat. Cuaca begitu sulit diprediksi, bisa panas, gerimis, hujan bahkan 'mendung tanpo udan'.Â
Kalau sudah begini, membaca prediksi cuaca dari BMKG bisa jadi referensi. Apalagi hp sudah begitu canggih, tinggal klik saja muncul  laporan prediksi cuaca, suhu dan lain sebagainya.
Pagi hari memang paling pas buat berkendara apalagi kalau kita cermat memilih jalan menuju lokasi. Pagi itu, aku mencoba berangkat lebih awal karena sengaja menghindari keramaian.Â
Aku pikir, naik motor kaya lagunya Kotak, 'Pelan-pelan saja' akan jadi hal baik untuk membuat mood pagi meningkat. Bekal ingin hemat dan niat sarapan di kampus jadi inti dari semangat 'santuy'.Â
Memang wajar apalagi sebagai pengguna motor selow, aku memang tidak biasa 'ngebut' apalagi bikin 'burnout' kaya pawai motogp. Aku menikmati setiap suasana saat berkendara dengan sesekali mencium aroma masakan disana-sini.Â
Aku berusaha tetap santai sambil melirik orang-orang tengah beraktivitas. Sebuah pemandangan yang bakalan jarang ditemui saat kita berkendara terburu-buru.
Setiap mau berangkat dengan tunggangan kesayangan, 'melipat jas hujan' sejujurnya yang paling malas buat dilakukan. Memilih tetap membawa jas hujan tentu jauh lebih bijak ketimbang 'ngoyos' basah tak karuan. Kelihatanya memang mudah namun ada seni dibalik itu semua.
 'Mau tidak mau' jas hujan memang penting buat persiapan, antisipasi, preventif atau apapun itu bahasanya, kalo kata orang Pekalongan ya 'Palango alias siap-siap'. Setidaknya baju dan uang jajan masih kering di kantong celana.Â
Saat berkendara, aku belajar seni baru yang rasanya baru 'ngeh' selama sekian waktu. 'Seni Alami', aku menyebutnya begitu. Sesuatu yang memang berjalan biasa dimana setiap orang pernah melakukanya. Bisa dibilang seni ini begitu triki alias 'gampang-gampang susah'.
Tipe Motoran pakai jas hujan
Mendung dan hujan menjadi nikmat hidup yang luar biasa. Setidaknya suasana lebih adem dan jadi ada alasan buat pakai jaket tebal. Buat yang tidak suka dingin, jaket memang cukup saat suasana pagi mendung. Namun kalau sudah hujan deras, tetap saja jas hujan jadi pilihan para pengendara.
Meskipun kita bisa berkata, 'sedia payung sebelum hujan' namun bagiku sedia jas hujan memang banyak untungnya.Â
Cerita dalam tulisan ini memang nampak 'unfaedah'. Beberapa kalimat dengan gamblang tak mendukung mereka yang suka nostalgia. 'Ya, maksudku' nostalgia sewaktu kecil, hujan-hujanan tanpa hirauan basah dan tidak nyaman.Â
Saat turun hujan, berbagai cara memang bisa dilakukan oleh pengendara. Mulai meneduh di depan toko/bangunan, mampir warung/rumah makan sampai 'ngebut' tak karuan.Â
Beberapa dari kita berharap jalanan di depan terang bak perbatasan jalan yang beda cuaca. 'Tau kan?' yang walau masih satu desa dimana ruas jalan satunya hujan sementara satunya kering.
Aku terbiasa naik motor dengan menyimpan jas hujan. Beberapa orang menaruh jas hujan bak pakaian habis kondangan. 'Tidak perlu rapi' dan asal muat ke dalam jok. Sebuah seni melipat yang unik karena memang penuh dengan tantangan.Â
Bayangkan saja, begitu hujan turun, pengendara hanya punya waktu sekian menit sebelum air  mengguyur tubuh dan seisi jok motor.  Itu pun kalau pas bisa meneduh di tengah perkotaan, kalau sedang jalan di tengah sawah pasti jauh lebih menantang.Â
Beberapa pengendara enggan melepas jas hujan meskipun sudah terang. Kondisi macam itu memang sudah biasa terjadi, sekali lagi 'palango' barangkali ada hujan susulan.
Seni melipas jas hujan memerlukan jam terbang meskipun sering kita temui. Dalam waktu yang singkat, pengendara menggerakan jari jemari untuk membalikan lipatan jas hujan, menentukan waktu yang pas buat dilepas/dipakai maupun sekedar teknik melipat pada jenis jas hujan yang berbeda.Â
Bagaimana menurutmu? Perlu ada yang buka kursus seni melipat yang satu ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H