Seorang mahasiswa S3 pernah datang kepada saya dengan ide penelitian yang brilian. Ia ingin mengembangkan model baru dalam bidang kecerdasan buatan yang katanya bisa mengubah dunia. Saya terkesan dengan idenya, tetapi ketika saya meminta rencana detailnya, ia tampak bingung.
"Saya pikir ide ini cukup untuk diterima di jurnal Q1," katanya, percaya diri.
"Ide ini memang hebat, tetapi tanpa data yang mendukung, tanpa metodologi yang jelas, dan tanpa analisis yang matang, jurnal mana pun tidak akan menerimanya," balas saya. "Mari kita mulai dengan membuat rencana penelitian yang terstruktur. Kita pecah langkah-langkahnya, mulai dari pengumpulan data hingga penulisan laporan."
Meski awalnya terlihat enggan, mahasiswa tersebut akhirnya memahami pentingnya proses. Butuh waktu berbulan-bulan, tetapi ia berhasil menyelesaikan penelitiannya dan mempublikasikannya di jurnal bereputasi. Namun, pengalaman seperti ini jarang terjadi di antara mereka yang utopis. Kebanyakan dari mereka tidak pernah sampai pada tahap itu.
Mengubah Perspektif
Orang-orang utopis sebenarnya memiliki potensi besar. Mereka adalah inovator, pemimpi, dan visioner. Namun, tantangan terbesar mereka adalah menjembatani jurang antara harapan dan kenyataan. Sayangnya, banyak dari mereka yang lebih memilih tinggal di dunia fantasi mereka daripada menghadapi proses nyata yang penuh tantangan. Sebagai seorang realis, saya merasa bahwa memberikan panduan kepada mereka sering kali tidak sepadan dengan usaha yang dibutuhkan. Jika seseorang ingin mempublikasikan artikel di jurnal internasional, langkah pertama yang harus mereka lakukan adalah memahami standar jurnal tersebut. Setelah itu, mereka harus menyusun rencana penelitian yang terstruktur, mengumpulkan data, dan melakukan analisis yang sesuai. Namun, kebanyakan dari mereka hanya ingin hasil instan tanpa usaha yang cukup. Selain itu, penting bagi mereka untuk menyadari bahwa investasi dalam penelitian tidak hanya berupa uang, tetapi juga waktu dan tenaga. Mereka harus siap menghadapi kritik, revisi, dan penolakan—semua itu adalah bagian dari proses menuju sukses. Tetapi, jika mereka terus menolak realitas ini, maka keterlibatan saya pun menjadi sia-sia.
Antara Harapan dan Kenyataan
Pada akhirnya, saya menyadari bahwa membantu orang-orang utopis bukanlah peran yang cocok untuk saya. Sebagai seorang realis, saya merasa enggan membimbing mereka yang hanya membawa harapan tanpa kesiapan. Dunia ini memang membutuhkan pemimpi, tetapi lebih dari itu, dunia membutuhkan pekerja keras yang siap menghadapi kenyataan. Saya memilih untuk memberikan energi saya kepada mereka yang benar-benar mau berusaha, karena bagi saya, mimpi tanpa aksi adalah angan-angan kosong yang hanya membuang waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H