Mohon tunggu...
Suwandi S. Sangadji
Suwandi S. Sangadji Mohon Tunggu... Dosen - Mahasiswa Program Doktor Ilmu Manajemen Universitas Airlangga

Suwandi S. Sangadji lahir di Tidore, Kabupaten Halmahera Tengah (sekarang Kota Tidore Kepulauan), Provinsi Maluku Utara, pada tanggal 2 Februari 1990. Beliau menyelesaikan studi S1 di program studi Agribisnis Universitas Nuku pada tahun 2011. Dua tahun setelah itu, beliau melanjutkan studi S2 dengan konsentrasi Manajemen Pemasaran di Program Pascasarjana Universitas Mercu Buana Jakarta dan berhasil lulus pada tahun 2016. Sejak tahun 2018, Suwandi aktif sebagai seorang dosen di Program Studi Agribisnis Universitas Nuku. Saat ini, beliau juga memegang tanggung jawab sebagai Editor & Reviewer di beberapa Jurnal Penelitian dan Jurnal Pengabdian yang telah terakreditasi Nasional. Selain itu, beliau juga terlibat sebagai Reviewer di jurnal Internasional bereputasi yang terindeks Scopus dan berafiliasi dengan Elsevier.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Orang-Orang Utopis : Ekspektasi dan Realita

12 November 2023   14:56 Diperbarui: 6 Januari 2025   02:46 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saya sering kali merasa terjebak dalam dilema yang tidak nyaman. Setiap kali bertemu dengan orang-orang yang memiliki ambisi besar dan harapan tinggi, saya merasa seperti memainkan peran yang bertentangan dengan prinsip saya. Mereka adalah orang-orang utopis, yaitu orang yang bermimpi besar tetapi kurang memahami bagaimana mewujudkannya dalam kenyataan. Sebagai seorang realis, situasi ini membuat saya enggan karena saya tidak tertarik mendukung mimpi yang tidak diimbangi dengan usaha nyata. Salah satu pengalaman yang paling sering saya temui adalah ketika mereka meminta bantuan dalam dunia akademik. Banyak dari mereka datang dengan harapan tinggi, meminta saya untuk membantu mereka menerbitkan artikel pada jurnal internasional terindeks Q1 Scopus, seolah-olah itu adalah tiket emas menuju dunia penelitian yang lebih prestisius. Mereka ingin publikasi mereka diterbitkan di jurnal-jurnal terkemuka dengan impian menjadi guru besar, memenuhi syarat kepangkatan lektor kepala, hingga keinginan menjadi peneliti yang diakui secara global. Namun, ketika saya menanyakan anggaran mereka untuk berlangganan jurnal atau biaya publikasi (APC), kebanyakan dari mereka hanya terdiam. Anggaran yang tersedia sering kali jauh dari cukup untuk mendukung ambisi itu, apalagi jika mereka juga belum memiliki pemahaman mendalam mengenai cara memanfaatkan sumber daya akademik secara optimal.

"Bisakah Anda bantu saya menemukan jurnal Q1 yang gratis?" tanya seorang kolega, matanya berbinar penuh harap.

Saya terdiam sejenak. Saya tahu betul bahwa untuk dapat mengakses jurnal-jurnal tersebut, biasanya diperlukan langganan atau biaya per artikel. Bahkan jika mereka beruntung menemukan yang bisa diakses secara gratis, itu tidak selalu menjamin kualitas yang mereka harapkan.

"Masalahnya bukan hanya tentang menemukan jurnal Q1, tetapi juga tentang bagaimana cara menulis dan merancang penelitian yang sesuai standar jurnal tersebut," jawab saya dengan tegas. "Mencapai kualitas itu membutuhkan lebih dari sekadar akses jurnal. Ada keterampilan, pengalaman, dan pemahaman mendalam yang diperlukan untuk menulis penelitian yang benar-benar memenuhi standar internasional."

Namun, jawaban itu tak pernah meredakan harapan mereka. Sebagian tetap meminta bantuan lebih, meskipun saya tahu anggaran mereka tidak mencukupi, dan pemahaman mereka tentang prosesnya masih terbatas. Saya sering kali merasa seperti berada di antara dua dunia: dunia mereka yang penuh harapan tanpa melihat keterbatasan nyata, dan dunia saya yang harus menghadapi kenyataan bahwa tidak ada yang datang tanpa usaha yang sebanding. Inilah alasan saya semakin tidak nyaman berurusan dengan mereka.

Merenungi Fenomena Utopis

Saya mulai berpikir lebih dalam tentang fenomena ini. Mengapa mereka begitu utopis? Apakah mereka tidak tahu apa yang diperlukan untuk mencapai impian mereka? Ataukah mereka hanya tidak siap menghadapi kenyataan pahit bahwa untuk sukses, perlu ada perencanaan, dedikasi, dan kesanggupan untuk berinvestasi—baik waktu, uang, maupun tenaga?

Kenangan lain datang ketika seorang rekan menghubungi saya untuk meminta bantuan menerbitkan artikel di jurnal Q1. "Bantu saya menulis artikel yang bisa diterima di jurnal internasional, tapi anggaran saya terbatas," katanya. Kali ini, saya tahu saya harus memberikan jawaban yang lebih tegas.

"Menulis artikel untuk jurnal Q1 bukan hanya soal menulis dengan baik, tetapi juga tentang memahami metodologi yang tepat, mengumpulkan data yang valid, dan menyajikan analisis yang mendalam. Itu semua memerlukan investasi dalam bentuk waktu, keterampilan, dan terkadang dana," ungkap saya. "Saya akan bantu memberikan saran atau masukan, tetapi Anda harus siap dengan kenyataan bahwa proses ini tidak semudah yang dibayangkan."

Hari-hari berlalu, dan meskipun permintaan semacam itu terus berdatangan, saya semakin yakin bahwa mimpi besar tanpa kesiapan yang matang adalah sumber kekecewaan. Saya tidak lagi melihat fenomena ini sebagai peluang, melainkan sebagai beban yang sering kali membuat saya frustrasi.

Utopis Versus Realis

Ada perbedaan mendasar antara orang-orang utopis dan mereka yang lebih realistis. Orang utopis sering kali terjebak dalam fantasi indah tentang masa depan, sementara orang realistis memahami tantangan dan bekerja keras untuk mengatasi hambatan itu. Saya pribadi lebih memilih untuk bekerja dengan mereka yang realistis daripada menghabiskan waktu dengan mereka yang hanya memupuk harapan kosong.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun