Mohon tunggu...
Analisis

SBY, KPK dan NARASI 14

10 Juni 2018   21:22 Diperbarui: 11 Juni 2018   09:47 7596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SBY, KPK, Dan NARASI 14

BLITAR dan Tulungagung adalah basis kaum nasionalis. PDI Perjuangan (PDIP) selalu berjaya di Kota Blitar, Kabupaten Blitar dan Tulungagung, sejak Pemilu 1999. Di Pilkada pun, PDIP selalu menang. Ketika Pemilu 2009 Partai Demokrat booming suara, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berjaya, PDIP menang telak di Blitar Raya dan Tulungagung.

Pemilu 2009, Partai Demokrat hanya mendapat 4 kursi di DPRD Tulungagung. PDIP merajai dengan 13 kursi. Di Kota dan Kabupaten Blitar, PDIP bertengger juara satu. Pada Pilkada langsung, tahun 2010, Calon Walikota kader PDIP, Moh. Samanhudi Anwar mengandaskan calon walikota kader Partai Demokrat. Di Kabupaten Blitar, calon bupati dari PDIP juga menang.

Namun, di jantung kaum nasionalis itulah, SBY mulai membangun impian atas masa depan. Di Stadion Redjoagung Tulungagung, Minggu 15 Februari 2018. Di Rapat Konsolidasi Partai Demokrat, yang diikuti 1.500 kader dari seluruh Jawa Timur, untuk pemenangan Pilkada 2018, sebuah narasi besar mulai dibangun. Narasi yang berbau mistik.

Di depan para pendukungnya, SBY mengumumkan, bahwa dia dan kedua anaknya adalah keturunan Raja pertama Majapahit, Sri Maharaja Kertarajasa Jayawardhana, atau Raden Wijaya. Raden Wijaya berketurunan garisnya sampai keluarga SBY.

"Kalau diurut dari eyang saya Ki Ageng Buwono Keling hingga kedua anak saya yakni Agus Harimurti dan Edi Baskoro adalah trah ke-14," kata SBY, seperti dikutip Tempo.Co, Senin, 26 Februari 2018, dengan judul berita SBY: Nomor 14 untuk Demokrat, Mirip Abad Kejayaan Majapahit."

Saat pengundian nomor peserta Pemilu 2019 di KPU, Partai Demokrat mendapat nomor 14. Ini tepat sama dengan jalur keturunan ke-14 dari trah Majapahit, yang jatuh di Mayor TNI (Pur) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Edi Baskoro alias Ibas. Tidak berhenti di situ, SBY melanjutkan narasi, bawah Majapahit mencapai kejayaan di abad ke-14.

Kini, SBY telah mensugesti, angka 14 sebagai isyarat kebaikan bagi Partai Demokrat untuk mencapai kejayaan pada Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. "Tanda-tanda jaman insya Allah sudah kelihatan, partai kita akan bangkit dan merebut kemenangan kembali," kata SBY yang disambut sorak sorai kader Demokrat, dikutip Tempo.Co di atas.

Pilkada Tulungagung

Di Pilkada 2018, SBY menurunkan Margiono sebagai Calon Bupati Tulungagung. Dia anak emas SBY. Mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), di era kekuasaan SBY. Mantan Pemimpun Redaksi koran Rakyat Merdeka yang sukses menghantarkan SBY untuk memenangi Pilpres 2004.

Rakyat Tulungagung tahu, Margiono pion SBY. Dia menghadapi Syahri Mulyo, Calon Bupati petahana Tulungagung, kader PDIP. Syahri adalah anak desa, dari Ngantru, yang sukses meniti karir sebagai politisi hingga terpilih Bupati Tulungagung tahun 2013.

Syahri menginisiasi Tulungagung Emergency Medical Services (TEMS) di RSUD dr Iskak. Sistem itu menjangkau pasien kegawatdaruratan medis hingga ke titik lokasi, pemilahan pasien di RSUD dalam tiga kelompok untuk penentuan standar waktu respons penanganan, serta penanganan dokter khusus emergency. Inovasi itu membuat pasien mendapat layanan optimal serta mampu menurunkan angka kematian. Warga yang mengalami kecelakaan hingga yang terkena penyakit darurat secara mendadak terselamatkan dengan layanan tersebut.

Rumah Syahri di Ngantru tidak pernah sepi orang. Setiap hari orang datang, berkumpul. Ia juga menyediakan dapur umum, untuk menjamu setiap tamu yang datang. Kebiasaan merakyat itu telah dilakukan sejak 2013, saat maju calon bupati. Syahri dicintai rakyatnya.

Setiap hari, tiada henti, Syahri Mulyo dan pasangannya, Maryoto Bhirowo, bersama para relawan dan parpol pendukung, tidak pernah henti turun. Menemui rakyat, mengorganisir dan memperkuat keterpilihan.

Ada pun Margiono, dalam satu pekan, rata-rata turun 1-2 kali. Itu pun tidak setiap minggu. Rakyat Tulungagung memprediksi, pasangan SahTO (Syahri Mulyo dan Maryoto Bhirowo) akan meraih kemenangan telak, dengan mengalahkan Margiono, di Pilkada 27 Juni 2018. Survei menunjukkan, pasangan SahTo mendapatkan prosentase keterpilihan 63 persen.

Jika tidak ada kejadian luar biasa, tinggal tunggu waktu saja: Margiono, anak emas SBY itu, bakal "dipukul KO" Syahri Mulyo melalui kontestasi demokrasi yang fair.

Pilkada Jawa Timur

Di Pilkada Jawa Timur, SBY menurunkan Khofifah Indar Parawansa dan Emil Elestianto Dardak, diusung Partai Demokrat dengan parpol-parpol lain. Penetapan Khofifah-Emil berlangsung alot. Semula, SBY meminang Wakil Gubernur Saifullah Yusuf (Gus Ipul), pendamping Gubernur Soekarwo. Namun SBY memasang syarat tinggi. SBY meminta Gus Ipul mengurus KTA Partai Demokrat. Atau, Gus Ipul dipasangkan dengan Calon Wakil Gubernur dari kader Demokrat.

Namun, kedua syarat itu ditolak Gus Ipul. Kader NU ini memilih menjadi manusia merdeka. Ia bergerak ke masyarakat dalam bimbingan dan perlindungan para kiai sepuh NU. Akhirnya koalisi PKB dan PDIP memasangkan Gus Ipul dengan Puti Guntur Soekarno, cucu Bung Karno, Sang Proklamator yang disemayamkan di Kota Blitar.

Dengan majunya Gus Ipul dan Puti Guntur Soekarno, otomatis Kota Blitar dan Kabupaten Blitar, serta Tulungagung, begitu pula Kabupaten Kediri dan Kota Kediri, menjadi basis utama suara kaum nasionalis yang harus dioptimalkan. PDIP telah menetapkan standar menang tebal di semua daerah itu untuk Gus Ipul-Puti Guntur Soekarno.

Menghabisi Syahri Mulyo

Bagaimana menjalankan narasi besar SBY tentang kejayaan Partai Demokrat di Pemilu 2019, yang mengulang kejayaan Majapahit di abad 14? Jawaban kuncinya: kekuatan kaum nasionalis harus dihancurkan di kandang sendiri. Walikota Blitar Samanhudi harus dibabat. Calon Bupati Syahri Mulyo harus dihancurkan di Tulungagung. Efek berikutnya, Gus Ipul-Puti Guntur Soekarno akan kehilangan suara di basis-basis nasionalis.

Alat efektif untuk operasi itu adalah KPK, dengan menggerakkan oknum-oknum di dalam. Sudah menjadi isu, oknum-oknum KPK bisa digerakkan dari luar untuk menghancurkan target-target tertentu, asalkan: harga negosiasinya setimpal.

Skenario itu didukung oleh jaringan media massa yang dimiliki. SBY sangat dekat dengan Chairul Tanjung, bos Trans Corp, mantan Menko Perekonomian. Grup media ini memiliki sejumlah saluran, salah satunya CNN Indonesia, baik televisi maupun media online.

Dua hari sebelum OTT KPK di Tulungagung, seorang pendukung aktif Margiono, namanya Ilham, memberitahukan pada wartawan di Kota Marmer itu. "Akan ada kejadian LB (luar biasa) yang membuat Margiono menang," kata Ilham. Margiono dan timnya sadar betul, tanpa kejadian bersandi "LB' itu, mereka musykil mengalahkan Syahri Mulyo.

Waktu sudah pendek. Gerakan parpol-parpol pendukung Margiono, sama sekali tidak signifikan. Mesin organisasi Partai Demokrat sendiri tumpul di Tulungagung. Margiono juga bukan sosok figur hebat, yang mudah membuat warga Tulungagung berpaling.

Operasi KPK jatuh pada hari Rabu 6 Juni 2018. Saat itu, di Makam Bung Karno, Bendogerit, Kota Blitar, tengah banyak orang berziarah untuk memperingati kelahiran Sang Putera Fajar itu. Sebuah pilihan waktu yang tepat, dengan efek psikologis yang telak.

Berita CNN Indonesia

Kabar itu meledak, Rabu 6 Juni 2018, sekitar pukul 22.00. Ada OTT KPK di Tulungagung. Kepala Dinas Pekerjaan Umum Sutrisno diciduk. Kabar berikut tak kalah mengagetkan, OTT KPK juga terjadi di Kota Blitar. Beredar kabar Syahri Mulyo dan Samanhudi ditangkap KPK.

Namun, malam itu, kabar masih simpang-siur. Belum pasti. Satu-satunya media yang memberitakan penangkapan Samanhudi adalah CNN Indonesia, milik Trans Corp. Judul beritanya mencolok: KPK Tangkap Tangan Wali Kota Blitar. CNN Indonesia.Com menaikkan berita itu, Rabu 6 Juni 2018, pukul 22.35.

Berita ini dikutip dari SUMBER TIDAK RESMI yang tidak disebutkan asalnya. "(Iya benar ada OTT) Walkot Blitar," kata seorang sumber CNNIndonesia.com saat dikonfirmasi.

Di luar CNN Indonesia, media-media online lain memilih hati-hati. Berita ditulis dari sumber resmi, atau reportase lapangan. Yakni penangkapan 5 orang, diantaranya pengusaha Susilo Prabowo di Kota Blitar dan Kepala Dinas PU Tulungagung Sutrisno.

Sementara di lapangan, sejumlah media lokal menulis peristiwa penggeledahan di rumah dinas Walikota Samanhudi. "Kita harus berhati-hati karena menyangkut nasib orang dan kepastian faktanya," kata seorang editor media lokal.

CNN Indonesia adalah media nasional, bermarkas di Jakarta. Media ini dikenal tidak punya banyak koresponden di daerah. Penulisan berita KPK menangkap Walikota Samanhudi, diperoleh dari sumber di Jakarta. Bukan dari Blitar atau Tulungagung.

Bagaimana fakta di lapangan? Sampai menjelang tengah malam, 6 Juni hari itu, belum ada satu pun pejabat resmi KPK di Jakarta yang mengonfirmasi OTT di Blitar dan Tulungagung. Lewat pukul 00.00, barulah keluar pernyataan Juru Bicara KPK Febri Diansyah, yang dimuat Tirto.Id, bahwa KPK belum menangkap Samanhudi dan Syahri Mulyo. Media lain yang memberitakan itu adalah Tribunnews.Com.

Pemberitaan CNN Indonesia itu ceroboh. Salah fatal. Dengan memakai sumber tidak resmi, namun judul dan isinya telah memastikan pada pembaca tentang peristiwa di lapangan. Faktanya? Walikota Blitar Mohammad Samanhudi Anwar baru menyerahkan diri Jumat, 8 Juni 2018, pukul 18.30, seperti keterangan resmi Juru Bicara KPK Febri Diansyah yang dikutip Kompas.Com.

Jika dihitung sejak berita CNN Indonesia muncul, 6 Juni 2018 pukul 22.35, hingga peristiwa faktual penyerahan diri Walikota Blitar Mohammad Samanhudi Anwar, maka ada jarak waktu sekitar 44 jam. Rentang waktu yang sangat lama untuk kerja media online saat ini, yang mengutamakan update berita sekaligus akurasi. Dan, selama itu pula CNN Indonesia tidak pernah mengoreksi berita, atau meminta maaf pada khalayak pembaca.


Syahri Korban Politik

Berita CNN Indonesia adalah sebuah plot. Rencana. Skenario yang berjalan. Dari sanalah framing berita mengalir untuk membekuk Walikota Samanhudi. Berlakulah adagium, "Ringkus dulu pikiran publik, fakta mengikuti kemudian." Inilah yang terjadi kemudian. Dari skenario itu, berbagai pemberitaan media mengalir deras tentang keterlibatan Samanhudi dan Syahri Mulyo.

Kabar tidak sedap berhembus. Pimpinan KPK dan para Deputi tidak mengetahui OTT di Blitar dan Tulungagung. Operasi itu tertutup rapat-rapat. Pimpinan KPK dan Deputi terkejut bukan main, dan kesadarannya seperti dirantai. Berita CNN Indonesia patuh pada Sutradara Utama. Sementara, dari OTT di lapangan, tidak ada nama Syahri Mulyo dan Samanhudi.

Nasi sudah menjadi bubur. Kehormatan KPK harus diselamatkan. Maka desaian kasus berikutnya terpaksa tunduk pada oknum-oknum KPK, yang bekerja untuk Sutradara Utama. Esok harinya, setelah penangkapan, KPK mengumumkan status tersangka untuk Samanhudi dan Syahri Mulyo. Kemudian, KPK mengumumkan keduanya masuk Daftar Pencarian Orang (DPO).

Sejak itu, hancurlah Samanhudi dan Syahri Mulyo. Bila KPK konsisten dengan tangkapan, maka ke-5 orang yang ditangkap itu mestinya diproses lebih dulu. Bila kemudian diperoleh bukti-bukti cukup, yang menunjukkan keterlibatan Samanhudi dan Syahri Mulyo, barulah dilakukan pengembangan pada keduanya.

Menurut keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, penetapan tersangka harus berdasarkan minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana termuat dalam pasal 184 KUHAP, dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya. Tidak dibenarkan dalam Hukum Acara Pidana menetapkan seseorang subjek hukum selaku tersangka tanpa terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan. Pemeriksaan calon tersangka menjadi syarat mutlak sebelum penetapan tersangka.

Namun, apa yang terjadi dengan Samanhudi dan Syahri Mulyo? Keduanya ditetapkan tersangka sebelum dilakukan pemeriksaan. Sebaliknya, ke-5 orang ditetapkan KPK karena OTT. Satu hari menjelang penyerahan diri, Syahri Mulyo membuat rekaman video yang beredar di media-media sosial dan media online. "Biarlah saya menjadi korban politik," kata Syahri. Ia seperti tersadar, saat ini tengah menghadapi kekuatan besar, yang pernah berkuasa 10 tahun di negeri ini, dan mampu menjulur masuk ke internal KPK.

Napak Tilas Majapahit

SBY adalah tokoh yang sangat cerdas. Ahli strategi. Peraih medali Adhi Makayasa semasa lulus dari taruna militer. SBY paham betul, bahwa keberhasilan dan kegagalan politik tidak bisa dilepaskan dari narasi dan sugesti. Dan, ia telah meletakkan itu semua. Tahun 2019, adalah kembalinya kejayaan Partai Demokrat, seperti kejayaan Majapahit abad ke-14. Angka 14 adalah sama persis dengan nomor Partai Demokrat. Dan, jalur keturunan ke-14 dari trah Raja Majapahit yang pertama, jatuh di kedua anaknya.

Ini adalah narasi dan sugesti. Semua tahu, SBY tengah menyiapkan AHY sebagai pemimpin masa depan Indonesia. Mayor TNI (Pur) AHY adalah anak muda, yang menelan pil pahit kekalahan di Pilkada DKI tahun 2017. Wajar, jika SBY ingin menyiapkan jalan yang lebih rapi bagi anak sulungnya itu.

Dalam tour di Jawa Timur, selain kampanye untuk Calon Gubernur Khofifah Indar Parawansa dan Calon Wakil Gubernur Emil Dardak, SBY juga mengajak AHY yang lulusan Universitas Harvard AS untuk "lelaku", napak tilas leluluhurnya yang trah agung Majapahit.

Seperti dilaporkan Detik.Com, 2 April 2018, dari Pendopo Agung Trowulan, SBY mengajak AHY untuk napas tilas ke raja dan ratu Majapahit. Seperti Ratu Kencono Wungu, petilasan Tribuwana Tungga Dewi, petilasan Raja Hayam Wuruk dan petilasan raja pertama Majapahit Raden Wijaya (Makam Sitinggil).

Serangan Di Jantung Nasionalis

Samanhudi, Syahri Mulyo, Gus Ipul, Puti Guntur Soekarno, dan kekuatan kaum nasionalis tidak sadar, bahwa mereka tengah menghadapi sebuah plot, rencana besar, yang tengah disiapkan dengan baik oleh SBY. Plot itu dimulai dari Jawa Timur, provinsi dimana Majapahit lahir, tumbuh dan besar merajai Nusantara.

Dan, dalam plot merebut Jawa Timur itu, ada kantong-kantong suara penting yang harus dikuasai untuk memuluskan skenario itu, yakni menguasai Blitar dan Tulungagung, sekaligus mendudukkan Margiono menjadi Bupati Tulungagung, dan menjadikan Khofifah-Emil sebagai gubernur-wakil gubernur Jawa Timur.

Seluruh kekuatan nasionalis di Jawa Timur terlalu lugu. Polos. Mereka hanya bergerak terus ke bawah, menemui rakyat dan mengorganisirnya. Mereka tidak sadar ada kekuatan besar yang tengah bergerak untuk menggerusnya. Dan, pertunjukkan Hari-H drama tersebut, sengaja dipilih 6 Juni, hari kelahiran Bung Karno, di jantung kekuatan nasionalis pula.

Seandainya kekuatan nasionalis bergandeng tangan dengan SBY, Sang Sutradara Utama, yang ahli strategi, maka drama OTT KPK di Tulungagung dan Blitar niscaya tidak akan terjadi. Dan, pasti pula Samanhudi dan Syahri Mulyo tidak akan dihancurkan sekaligus dipermalukan dengan OTT KPK.

Drama serangan di Jawa Timur menunjukkan, untuk menjadi pemimpin di negeri ini tidak perlu susah-susah bertemu rakyat. Gerakkan alat-alat efektif di negara ini, ringkus calon yang kuat, maka seorang badut pun akan mudah melenggang di kursi kekuasaan.

Ngunut Tulungagung, 10 Juni 2018


Suwalu Brotowali

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun