Saya pribadi sedapat mungkin menghindari lewat di jalur yang sedang berkonflik demi alasan keamanan. Di semua jalur ya, bukan spesifik jalur ini saja.
Khawatir ada sabotase terhadap kendaraan yang lewat atau diparkir. Kendaraan mau parkir dihalang-halangi, tapi ojek bawa pendaki tetap lalu lalang lewat di jalan tanah orang.
Kita mendaki gunung untuk mencari ketenangan. Ngapain masuk dalam konflik orang, bikin susah saja.
Harusnya, bila ada kerawanan lakalantas buat rambu peringatan, atau buat protap untuk mengingatkan setiap pendaki secara langsung di lokasi. Bukan malah melarang orang lewat jalan itu.
Polisi dan dinas perhubungan saja tidak akan melarang orang lewat suatu ruas jalan dengan alasan sering terjadi kecelakaan. Paling jauh dipasang rambu peringatan.
Dari permasalahan di jalur Padang Laweh ini dapat dipetik pelajaran, sangat pentingnya merancang resolusi konflik kelompok sadar wisata (pokdarwis) sebelum konflik benar terjadi.
Konflik pokdarwis vs masyarakat dan pokdarwis vs pokdarwis umum terjadi di banyak gunung di Indonesia tak terkecuali di Sumatera Barat.
Masuk akal, karena pengelolaan pokdarwis yang ramai pengunjung melibatkan uang yang tidak sedikit, baik dari pengunjung, bantuan pemerintah, maupun sponsor.
Uang tidak mengenal saudara, rawan menimbulkan konflik bila tak disusun resolusi konflik.
Sebaiknya sebelum jalur pendakian diaktifkan, pokdarwis petakan dulu apa saja potensi konflik, misalnya dengan sesama pengurus, dengan pemilik lahan parkir, dengan ojek pangkalan, sewa tanah basecamp, dsb.
Setiap potensi konflik itu dicari pemecahan agar tidak terjadi. Apabila konflik terlanjur terjadi, dibuat solusi menang-menang (win-win solution) yang dilandasi niat baik, kejujuran, dan keadilan.