Tulisan ini merupakan seri aturan dasar saat berkegiatan di luar ruang (outdoor), khususnya mendaki gunung, berkemah, dan lainnya. Sengaja ditayangkan acak dengan beberapa pertimbangan.
Ironisnya, aturan dasar tersebut sering kali dilanggar, seolah membenarkan stereotip "aturan untuk dilanggar."Efeknya bisa sangat fatal.
Sekalangan orang awam, pemula atau belum akrab dengan dunia pendakian gunung, sangat mungkin menilai gunung tempat wisata biasa, seperti halnya pantai.
Karena penilaian tersebut, maka mereka pergi ke gunung tanpa persiapan, hanya pakai celana jeans, baju kaos, pakai sendal, bawa cemilan, tanpa bawa tenda atau flysheet untuk kondisi darurat.
Cukup banyak peristiwa tragis di gunung terjadi karena tanpa persiapan tiba-tiba terjadi kondisi darurat yang tak diantisipasi sebelumnya.
Ambil contoh tewasnya 15 orang santri dan ustaz Al-Mukmin Ngruki Sukoharjo di gunung Lawu, 15-18 Desember 1987, sewaktu melakukan tadabur alam, karena terkena hipotermia.Â
Mereka melakukan pendakian gunung hanya pakai celana panjang, baju kaos, bekal nasi beberapa bungkus dengan ikan asin, tanpa bawa mantel hujan, tanpa jaket, penerangan, dan tenda. Tiba-tiba mereka terkena kabut tebal, hujan badai, dan tersesat karena panik.
Kejadian yang tak kalah tragis di gunung Rinjani, Maret 2007, 7 orang pendaki lokal asal Lombok tewas terkena hipotermia. Ke-7 pendaki itu mendaki tanpa persiapan memadai, tanpa tenda, jaket, mantel hujan, dan logistik yang cukup.
Gunung terlihat indah dari kejauhan, tapi sebenarnya merupakan tempat ekstrem, cuaca bisa berubah kapan saja tanpa pemberitahuan.
Selain butuh daya tahan fisik (endurance), mendaki gunung juga butuh pengetahuan kondisi dan jalur yang akan dilewati, selain membawa peralatan dan logistik yang memadai.