Berbeda dengan Amaq Sinta yang dibegal pakai pedang samurai. Pembelaan diri pakai senjata tajam masih dapat diterima. Bahwa Amaq Sinta membawa senjata tajam bisa hapus sifat melawan hukum dalam fungsi negatif.
Karena kompleksitas pembelaan diri itulah, maka ahli hukum dan pembentuk undang-undang sepakat penilaiannya harus dilakukan oleh hakim di muka persidangan.
Dengan demikian, cara yg ditempuh Polri, yakni menghentikan penyidikan, merupakan langkah keliru atau bermasalah secara hukum, bersifat melampaui kewenangannya.
Yang benar menurut hukum, Polri meneruskan kasus ini ke Kejaksaan tanpa perlu menahan tersangka, untuk selanjutnya Kejaksaan melakukan penuntutan ke pengadilan, lalu hakim menilai dan menjatuhkan putusan bebas.Â
Bila fakta pembelaan diri tsb memenuhi syarat, karena pembelaan diri memang ada syaratnya secara hukum, maka jaksa penuntut mengajukan tuntutan bebas (vrijspraak) terhadap terdakwa, dan terdakwa/penasihat hukumnya juga mengajukan pledoi minta dibebaskan dengan dasar Pasal 49 KUHP.
Terhadap tuntutan bebas dan peldoi demikian hakim kemudian memeriksa fakta dan hukumnya dan menilai apakah perbuatan tersebut memenuhi syarat pembelaan terpaksa vide Pasal 49 KUHP atau tidak. Baru kemudian hakim menjatuhkan vonis bebas terhadap terdakwa.
Tanpa prosedur ini, Kepolisian (dan juga Kejaksaan sebagai pengendali perkara atau dominus litis) telah melampaui kewenangannya.
Banyak efek negatif dari tindakan melampaui kewenangan demikian, antara lain, rawan penyelundupan hukum Pasal 49 KUHP agar lolos tak perlu ke persidangan, padahal dirinya tak memenuhi syarat pembelaan diri menurut hukum.
Misalnya, orang yang mengaku-ngaku membunuh karena korban begal, padahal aslinya pembunuhan berencana. Makanya, penilaian yang objektif perlu dilakukan oleh hakim di persidangan yang terbuka untuk umum.
Sementara kerawanan dari sisi masyarakat, akan makin marak aksi main hakim sendiri. Apakah ini sudah dikalkulasi Polri?
Sedikit saran, yang diperlukan sebenarnya, adalah ketegasan Polri dan Kejaksaan diiringi kemampuan komunikasi publik yang baik, agar tindakan hukum yang ditempuh aparat dapat dipahami oleh masyarakat.(*)