Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

SP3 Amaq Sinta, Polri Kebablasan

18 April 2022   12:25 Diperbarui: 3 Juni 2022   12:03 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Ist/iNewsNTB.id

PERKARA korban begal Murtede alias Amaq Sinta (34) akhirnya dihentikan Polda NTB. Penghentian penyidikan begini bermasalah secara hukum.

Sejauh fakta yang diberitakan, kasus ini memang memenuhi syarat pembelaan diri, vide Pasal 49 KUHP. Khususnya antara serangan dan pembelaan, cukup seimbang.

Sebagaimana diketahui, konsep "pembelaan darurat" atau "pembelaan terpaksa" (noodweer), misalnya oleh korban begal, vide Pasal 49 Ayat (1) KUHP, harus dilakukan di muka persidangan.

Pasal 49 KUHP sendiri berbunyi, "(1) Tidak dipidana, barangsiapa melakukan perbuatan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum."

Ayat (2) berbunyi, "Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana."

Semua persyaratan pembelaan diri di atas hakim yang menilainya. Frase "tidak dipidana" atau "tidak dijatuhkan pidana" itu hakim yang melakukannya melalui putusan pengadilan. Khusus pembelaan terpaksa melampaui batas (noodweer exces), vide Pasal 49 Ayat (2) KUHP,  sebaiknya dinilai oleh ahli/psikolog sebelum diajukan ke pengadilan.

Pun, doktrin ahli hukum pidana sudah sepakat soal ini. Dimana syarat-syarat pembelaan diri itu harus dinilai oleh hakim, yakni (1) terpaksa untuk membela diri secara wajar berimbang; (2) terhadap kepentingan badan, kehormatan dan barang diri sendiri atau orang lain; (3) serangan bersifat melawan hukum; dan (4) serangan dan pembelaan harus seketika atau sekonyong-konyong.

Misalnya, seorang korban begal hanya diancam pakai tinju jika tidak menyerahkan motor, tapi korban bereaksi dengan menujah pelaku pakai senjata tajam sampai mati. Pembelaan diri begini tidak memenuhi syarat Pasal 49 KUHP. Korban masih bisa mengelak, lari, atau melawan pakai tangan kosong.

Atau, ada orang mencuri mangga di halaman, lalu pemilik rumah menembak pelaku hingga mati. Pembelaan diri begini juga tidak memenuhi syarat Pasal 49 KUHP.

Serangan itu harus bersifat melawan hukum dan pembelaan diri terhadapnya sangat perlu atau terpaksa (noodzajelijk). Seorang teman bercanda pura-pura mau memukul (ini tidak bersifat melawan hukum), lalu dibalas pakai pedang hingga korban tewas, tidak memenuhi syarat pembelaan diri vide Pasal 49 KUHP. 

Berbeda dengan Amaq Sinta yang dibegal pakai pedang samurai. Pembelaan diri pakai senjata tajam masih dapat diterima. Bahwa Amaq Sinta membawa senjata tajam bisa hapus sifat melawan hukum dalam fungsi negatif.

Karena kompleksitas pembelaan diri itulah, maka ahli hukum dan pembentuk undang-undang sepakat penilaiannya harus dilakukan oleh hakim di muka persidangan.

Dengan demikian, cara yg ditempuh Polri, yakni menghentikan penyidikan, merupakan langkah keliru atau bermasalah secara hukum, bersifat melampaui kewenangannya.

Yang benar menurut hukum, Polri meneruskan kasus ini ke Kejaksaan tanpa perlu menahan tersangka, untuk selanjutnya Kejaksaan melakukan penuntutan ke pengadilan, lalu hakim menilai dan menjatuhkan putusan bebas. 

Bila fakta pembelaan diri tsb memenuhi syarat, karena pembelaan diri memang ada syaratnya secara hukum, maka jaksa penuntut mengajukan tuntutan bebas (vrijspraak) terhadap terdakwa, dan terdakwa/penasihat hukumnya juga mengajukan pledoi minta dibebaskan dengan dasar Pasal 49 KUHP.

Terhadap tuntutan bebas dan peldoi demikian hakim kemudian memeriksa fakta dan hukumnya dan menilai apakah perbuatan tersebut memenuhi syarat pembelaan terpaksa vide Pasal 49 KUHP atau tidak. Baru kemudian hakim menjatuhkan vonis bebas terhadap terdakwa.

Tanpa prosedur ini, Kepolisian (dan juga Kejaksaan sebagai pengendali perkara atau dominus litis) telah melampaui kewenangannya.

Banyak efek negatif dari tindakan melampaui kewenangan demikian, antara lain, rawan penyelundupan hukum Pasal 49 KUHP agar lolos tak perlu ke persidangan, padahal dirinya tak memenuhi syarat pembelaan diri menurut hukum.

Misalnya, orang yang mengaku-ngaku membunuh karena korban begal, padahal aslinya pembunuhan berencana. Makanya, penilaian yang objektif perlu dilakukan oleh hakim di persidangan yang terbuka untuk umum.

Sementara kerawanan dari sisi masyarakat, akan makin marak aksi main hakim sendiri. Apakah ini sudah dikalkulasi Polri?

Sedikit saran, yang diperlukan sebenarnya, adalah ketegasan Polri dan Kejaksaan diiringi kemampuan komunikasi publik yang baik, agar tindakan hukum yang ditempuh aparat dapat dipahami oleh masyarakat.(*)

SUTOMO PAGUCI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun