Dalam praktik hukum di lapangan sering terjadi perdebatan antara penyidik dan advokat seputar saksi, apakah boleh atau tidak didampingi advokat/pengacara atau penasihat hukum.
Di persidangan hampir selalu hakim mengusir advokat yang hendak mendampingi seorang saksi. "Hanya terdakwa yang boleh didampingi penasihat hukum," selalu begitu hakim beralasan.
Asal-usul perdebatan demikian berhulu pada asas legalitas yang dianut dalam hukum pidana formil (hukum acara pidana), dimana hanya yang tertulis dalam hukum acara yang boleh diikuti, sesuai asas lex stricta.
Penganut paham legalitas yang kaku demikian biasanya dari kalangan penyidik, penuntut umum dan hakim yang memiliki pandangan sempit dan tekstual. Tidak semua tentu saja.
Bagi penyidik tipe ini, hanya tersangka dan terdakwa yang boleh didampingi oleh penasihat hukum. Mereka berpegang pada ketentuan Pasal 54 KUHAP.
Pasal 54 KUHAP menyatakan, guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini.
Pada sisi lain, sebagian penyidik tidak mempermasalahkan seorang saksi didampingi oleh advokat/penasihat hukum. Dalam situasi begini penyidik dan penasihat hukum berada dalam satu garis kesepahaman.
Menurut penulis, baik dari sisi asas legalitas yang kaku sekalipun, maupun menurut asas legalitas yang tidak kaku atau masih membuka sedikit ruang analogi, seorang saksi berhak didampingi penasihat hukum.
Berikut ulasan dan dasar hukumnya.
Pertama, dari sisi asas legalitas yang dipahami secara kaku dan tekstual, hukum acara tidak hanya berada dalam KUHAP.