Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Laporan Balik Terlapor di KPI Harus Ditolak Polisi, Ini Dasar Hukumnya

8 September 2021   09:13 Diperbarui: 8 September 2021   19:52 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi korban pelecehan seksual. (PEXELS/PIXABAY)

Tersiar kabar para terlapor pelecehan seksual dan perundungan di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) akan melakukan laporan balik terhadap korban bernisial MS.

Dilansir dari Kompas.com (07/09/2021), terduga pelaku berinisial RT dan EO, melalui Penasihat Hukumnya, Tegar Putuhena, menyebutkan alasannya, yakni karena korban MS menyebarkan rilis identitas nama terduga pelaku, sehingga mengakibatkan terjadinya cyber bullying terhadap mereka.

Bila terlapor melakukan laporan balik, maka Polri harus menolak laporan balik demikian. Jangan ada keraguan seperti dikesankan publik. Berikut dasar hukumnya yang juga perlu diketahui publik.

Pertama, Pasal 10 Ayat (1) UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang berbunyi, "Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya."

Dalam hubungan ini, MS berperan baik sebagai korban, saksi, maupun pelapor.

Ada baiknya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) segera mengambil inisiatif jemput bola untuk melakukan perlindungan terhadap saksi korban (MS) agar penerapan pasal dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban di atas benar-benar maksimal.

Namun, tanpa perlindungan LPSK, pun, norma dalam Pasal 10 Ayat (1) UU No 13 Tahun 2006 tersebut dapat dipedomani oleh lembaga penegak hukum, khususnya penyidik Polri.

Presedennya sudah banyak, misalnya, dalam kasus-kasus tindak pidana korupsi. Dimana pelapor tidak dapat dikenakan pasal pencemaran nama baik dengan laporaan balik oleh terlapor sampai perkara pokok berkekuatan hukum tetap.

Kedua, Pasal 310 Ayat (3) KUHP yang berbunyi, "Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri."

Pasal 310 Ayat (3) KUHP tersebut memuat norma pengecualian delik pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 310 Ayat (1) dan (2) KUHP.

Dari narasi yang disampaikan pihak RT dan EO, gelagatnya mereka mengancam akan melapor dengan dasar Pasal 27 Ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Pasal 27 Ayat (3) UU ITE menyebut melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Norma dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tersebut berasal dari norma Pasal 310 KUHP. Norma UU ITE ini memperluas konsep pencemaran nama baik dalam Pasal 310 KUHP menjadi termasuk dengan menggunakan sarana elektronik.

Apa yang dilakukan oleh korban MS dengan bersuara ke publik dan melapor ke polisi merupakan bentuk pembelaan diri sebagai korban. Karena itu, berlaku norma Pasal 310 Ayat (3) KUHP.

Ketiga, Pasal 18 UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berbunyi, "Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri."

Menurut hukum administrasi negara, norma yang diatur dalam Pasal 18 UU No 2 Tahun 2002 tersebut di atas dikenal dengan konsep "diskresi kepolisian".

Dalam hubungan ini, penerapan diskresi kepolisian termasuk dengan menilai upaya pembelaan diri MS tidak sekadar untuk kepentingan pribadi MS, melainkan juga untuk kepentingan umum berupa menjaga nama baik dan marwah KPI dan untuk efek pertakut bagi masyarakat melakukan perundungan dan pelecehan seksual.

Bila Polri tidak mau mengambil diskresi dalam kasus ini maka publik yang akan dirugikan. Orang-orang akan takut melapor atau bahkan sekadar bersuara terkait pelecehan dan perundungan yang dialaminya.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun