Dari narasi yang disampaikan pihak RT dan EO, gelagatnya mereka mengancam akan melapor dengan dasar Pasal 27 Ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Pasal 27 Ayat (3) UU ITE menyebut melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Norma dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tersebut berasal dari norma Pasal 310 KUHP. Norma UU ITE ini memperluas konsep pencemaran nama baik dalam Pasal 310 KUHP menjadi termasuk dengan menggunakan sarana elektronik.
Apa yang dilakukan oleh korban MS dengan bersuara ke publik dan melapor ke polisi merupakan bentuk pembelaan diri sebagai korban. Karena itu, berlaku norma Pasal 310 Ayat (3) KUHP.
Ketiga, Pasal 18 UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berbunyi, "Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri."
Menurut hukum administrasi negara, norma yang diatur dalam Pasal 18 UU No 2 Tahun 2002 tersebut di atas dikenal dengan konsep "diskresi kepolisian".
Dalam hubungan ini, penerapan diskresi kepolisian termasuk dengan menilai upaya pembelaan diri MS tidak sekadar untuk kepentingan pribadi MS, melainkan juga untuk kepentingan umum berupa menjaga nama baik dan marwah KPI dan untuk efek pertakut bagi masyarakat melakukan perundungan dan pelecehan seksual.
Bila Polri tidak mau mengambil diskresi dalam kasus ini maka publik yang akan dirugikan. Orang-orang akan takut melapor atau bahkan sekadar bersuara terkait pelecehan dan perundungan yang dialaminya.(*)