Masih banyak orang yang mencampuradukan atau menyamakan antara "gratifikasi" dan "suap" dalam terminologi hukum pidana korupsi. Seolah gratifikasi selalu sama dengan suap.Â
Makanya, sekalangan orang marah ketika terdakwa Samin Tan dibebaskan hakim Pengadilan Tipikor dengan alasan pemberian oleh Samin Tan termasuk pemerasan atau gratifikasi dan pemberi gratifikasi belum diatur sanksi pidananya. Apa bedanya dengan kasus Harun Masiku?
Tulisan berikut ini memberikan ulasan perbedaan konsep gratifikasi dan suap dengan contoh kasusnya.
Gratifikasi
Pengertian gratifikasi diatur dalam Pasal 12B ayat (1) huruf a dan b dan (2) UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 dan penjelasan pasalnya ("UU PTPK").Â
Pasal 12 B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; b. yang nilainya kurang dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dari redaksi pasal di atas, artinya, setiap gratifikasi dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Jadi, kebalikannya yang disebut gratifikasi yang bukan suap.
Dengan kata lain, bila diartikan secara contrario, gratifikasi yang bukan suap adalah, pemberian dalam arti luas kepada PNS/ASN atau penyelenggara negara yang tidak berhubungan dengan jabatan dan yang tidak berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Kemudian, penjelasan Pasal 12 B ayat (1) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan "gratifikasi" adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Selanjutnya, penjelasan Pasal 12 B ayat (2) menyebutkan bahwa gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Dari pengertian pasal dan penjelasannya tersebut kita jadi tahu bahwa gratifikasi adalah pemberian kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang tidak berhubungan dengan jabatan atau tugasnya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Contoh kasus 1:Â
Presiden Jokowi diberitakan menerima hadiah 12 item barang senilai Rp8,788 miliar dari Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud dalam kunjungan kerja Presiden di Arab Saudi pada tanggal 15 Mei 2019. Oleh Presiden melalui Sekretariat Presiden, pemberian tersebut dilaporkan pada KPK dan oleh KPK ditetapkan sebagai gratifikasi dan menjadi barang milik negara.
Pemberi (Raja Salman) dan penerima (Presiden Jokowi) bukan bermaksud agar Presiden Jokowi melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam kedudukan sebagai Presiden yang berlawanan dengan kewajiban dan tugas beliau. Melainkan sekadar pemberian hadiah tanda persahabatan kedua negara.Â
Contoh kasus 2:Â
A ketemu polisi di pos perempatan lampu merah lalu memberi polisi tersebut sebuah telepon genggam.Â
Disebut gratifikasi, apabila A memberi telepon genggam tersebut tanpa maksud apa-apa. Cuma memberi saja. Kebetulan A kenal baik polisi itu. Lalu A pergi dari sana dengan kendaraannya.
S u a p
Setiap pemberian pada PNS/ASN atau penyelenggara negara yang berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya disebut suap.
Dalam contoh kasus 2 di atas, menjadi suap apabila A memberi telepon genggam tersebut dengan maksud agar oknum polisi tidak menilang dirinya, dan benar saja oknum polisi tersebut tidak menilang dirinya.
Dari contoh di atas terlihat jelas perbedaan gratifikasi dan suap. Perbedannya, gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas kepada PNS atau penyelenggara negara yang tidak berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.Â
Sementara suap adalah pemberian kepada PNS atau penyelenggara negara yang berhubungan dengan jabatan atau tugas si penerima untuk tujuan agar si penerima melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Tugas polantas menilang pengendara yang melanggar UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Apabila ada oknum polantas yang tidak menilang misalnya karena diberi sesuatu oleh pelanggar maka itu disebut suap, karena berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Sanksi pidana
UU PTPK tidak mengatur sanksi pidana bagi pemberi gratifikasi, seperti dilakukan oleh Presiden Jokowi saat menerima hadiah dari Raja Salman. Artinya, pemberian demikian bukan suatu delik atau bukan tindak pidana.Â
Yang diatur sanksi pidana oleh UU PTPK adalah pemberian sesuatu kepada penerima dari kalangan PNS/ASN/penyelenggara negara, itupun apabila pemberian tersebut ternyata merupakan suap.
Dalam peristiwa suap demikian, baik penerima maupun pemberi sama-sama dapat diberi sanksi pidana sesuai UU PTPK.
Contoh pasal suap dalam UU PTPK yang mengatur sanksi pidana bagi pemberi dan penerima suap: Pasal 5 ayat (1) (pemberi suap pada PNS/penyelenggara negara; Pasal 5 ayat (2) (penerima suap dari kalangan PNS/penyelenggara negara).
Di samping itu, Pasal 6 ayat (1) (pemberi suap pada hakim), Pasal 6 ayat (2) (penerima suap dari kalangan hakim), Pasal 11 (penerima suap dari kalangan PNS/penyelenggara negara); Pasal 12 (penerima suap dari kalangan PNS/penyelenggara negara, advokat dan hakim).
Contoh kasus 3:Â
Harun Masiku menjadi tersangka pemberi suap dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b UU PTPK. Harun Masiku menyuap Komisioner KPU Wahyu Setiawan  Rp1,5 miliar agar KPU menetapkan Harun sebagai anggota DPR.
Menjadi jelas, bahwa sangkaan tindak pidana yang dikenakan kepada Harun Masiku sama dengan Samin Tan, hanya saja berbeda dengan perbuatan yang menurut majelis hakim Pengadilan Tipikor terbukti dilakukan oleh Samin Tan berupa pemerasan atau memberi gratifikasi.
Akan tetapi jaksa penuntut umum (JPU) kekeh menyatakan Samin Tan terbukti memberi Rp5 miliar sebagai suap kepada mantan DPR RI Eni Maulani Saragih guna membantu pemutusan perjanjian karja pengusahaan tambang batu bara (PKB2B) generasi III.
Karena JPU mengajukan kasasi, maka Putusan Pengadilan Tipikor terhadap Samin Tan tersebut masih mungkin berubah. Karena ada wilayah tafsir hukum di sana.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H