U N S U R Â "merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" merupakan unsur inti (bestandeel delict) dalam Pasal 2 dan 3 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 ("UU PTPK").
Semula, unsur ini berbunyi "yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara", dimana kata "dapat" tersebut bermakna delik formil, yakni adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan undang-undang, bukan dengan timbulnya akibat (kerugian keuangan negara atau perekonomian negara).
Dalam perkembangannya, kata "dapat" tersebut tidak boleh lagi digunakan dalam unsur Pasal 2 dan 3 UU PTPK.
Adalah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 25/PUU-XIV/2016 tanggal 5 Desember 2016 yang memutuskan kata "dapat" dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sejak itulah, tindak pidana korupsi dalam pasal ini berubah dari delik formil menjadi delik materil. Dengan kata lain, unsur "kerugian keuangan negara" (sebagai akibat) yang dulu bukan unsur inti, sekarang menjadi unsur inti, bahkan unsur utama, yang harus dibuktikan terlebih dahulu.
Konsekuensi dari delik materil demikian adalah, sebelum penetapan tersangka kepada seseorang, kerugian keuangan negara tersebut haruslah terlebih dahulu dihitung dan disimpulkan oleh ahli atau harus dibuktikan.
Jika ahli menyimpulkan ada kerugian keuangan negara yang diakibatkan perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan, maka barulah seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi Pasal 2 dan 3 UU PTPK.Â
Bukan kebalikannya, seperti sering terjadi, dimana penetapan tersangka terlebih dahulu baru kemudian menyusul penghitungan kerugian keuangan negara oleh ahli. Ini bentuk penyalahgunaan kekuasaan (abus de pouvoir) oleh penyidik yang dapat berakibat penyidikan dinyatakan tidak sah oleh hakim praperadilan.
Keuangan negara sendiri menurut UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara adalah, semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Sementara, definisi kerugian keuangan negara berdasarkan Pasal 1 angka 22 UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara adalah, "kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja ataupun lalai."
Menurut doktrin dan Putusan MK di atas, konsep "nyata" berarti kerugian itu harus telah terjadi, bukan sekadar potensi kerugian (potential loss) semata. Sedangkan konsep "pasti" berarti kerugian itu harus dapat dihitung secara matematis oleh ahli.
Lebih lanjut, Putusan MK Nomor: 003/PUU-IV/2006 tanggal 24 Juli 2006 terkait pengujian Pasal 2 Ayat (1) UU PTPK, dalam pertimbangannya menyebutkan:
"Untuk mempertimbangkan keadaan khusus dan kongkret sekitar peristiwa yang terjadi, yang secara logis dapat disimpulkan kerugian negara terjadi atau tidak terjadi, haruslah dilakukan oleh ahli dalam keuangan negara, perekonomian negara, serta ahli dalam analisis hubungan perbuatan seseorang dengan kerugian."
Kemudian, terkait penghitungan kerugian keuangan negara untuk kepentingan pro justitia, Pasal 10 UU No 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan:
- (1) BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian keuangan negara yang diakibatkan perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.
- (2) Penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK.
Dalam hubungan ini, Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Surat Edaran MA (SEMA) Nomor: 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakukan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar MA Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.
Salah satu poin dari rumusan Kamar Pidana (Khusus) MA tersebut menyatakan, hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang secara konstitusional berwenang men-declare kerugian keuangan negara.
Dengan demikian, ahli yang paling berwenang dan independen dalam menghitung dan menetapkan kerugian keuangan negara untuk keperluan peradilan hanya auditor BPK, bukan yang lain.
Selain auditor BPK, seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Inspektorat daerah atau lembaga, boleh memeriksa akan tetapi tidak berwenang menyatakan atau men-declare ada kerugian keuangan negara untuk keperluan peradilan.Â
Sebagai catatan kaki, BPKP dan Inspektorat merupakan bagian eksekutif, sebagai organ pengawasan internal pemerintah, bukan badan independen seperti halnya BPK. Kalaupun auditor BPKP men-declare kerugian keuangan negara maka proporsinya hanya untuk keperluan internal pemerintah sebagai usernya.
Dalam praktek peradilan, sering kali, penghitungan kerugian keuangan negara hanya dilakukan oleh auditor BPKP. Dan auditor yang menghitung tersebut sekaligus bertindak sebagai ahli dalam berkas perkara dan di persidangan.
Penghitungan kerugian negara untuk keperluan peradilan oleh BPKP demikian tidak ditemukan dasarnya dalam UU, hanya didasarkan pada peraturan di bawah UU dan putusan pengadilan.
Alat bukti surat berupa laporan hasil pemeriksaan (LHP) oleh BPK dan alat bukti ahli auditor BPK lebih kuat dibandingkan produk BPKP.Â
LHP BPK merupakan alat bukti yang sempurna. Hakim tidak punya ruang secara hukum untuk mengesampingkannya. Kecuali, dalam kejadian khusus, ketika fakta dalam LHP BPK dapat dipatahkan dengan alat bukti yang dihadirkan terdakwa, secara terang benderang.
Tegasnya, penetapan kerugian keuangan negara haruslah dilakukan oleh ahli, bukan dihitung sendiri oleh penyidik, penuntut umum maupun hakim. Sekalipun mungkin mereka mampu untuk melakukannya. Apa ratio-legisnya?
Sebab, penghitungan oleh penyidik, penuntut umum maupun oleh hakim demikian bukan alat bukti yang sah menurut KUHAP. Jadi, penghitungan demikian tidak boleh digunakan untuk menyimpulkan atau men-declare ada kerugian keuangan negara atau tidak.
Dalam praktek, masih sering ditemui hakim memutuskan dakwaan Pasal 2 dan 3 UU PTPK sebagai terbukti dengan dasar penghitungan kerugian keuangan negara oleh BPKP. Bahkan ada yang tanpa alat bukti penghitungan oleh auditor ahli sama sekali.
Ada kalanya hakim memutus dengan dasar kerugian keuangan negara dari keterangan saksi fakta biasa (bukan ahli/auditor BPK). Ini juga bentuk pelanggaran UU yang nyata. Pasalnya, saksi fakta bukanlah ahli sebagaimana dimaksud UU.(*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI