SALAH SATU poin putusan terhadap mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara adalah diharuskan membayar uang pengganti kasus korupsi pengadaan bantuan sosial (bansos) sebesar Rp14,5 miliar.
"Menjatuhkan pidana tambahan untuk membayar uang pengganti Rp14.597.450.000 dengan ketentuan apabila tidak dibayar satu bulan setelah inkracht, maka harta benda dirampas, apabila harta bendanya tidak cukup maka diganti dengan pidana penjara selama 2 tahun," kata ketua majelis hakim, Muhammad Damis, saat membacakan putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (23/8).
Masih ada sekalangan orang yang menilai putusan pidana uang pengganti terhadap Juliari tersebut sebagai sebuah terobosan hukum yang patut diapresiasi. Pasalnya, kasus yang didakwakan dan dianggap terbukti adalah suap atau tidak merugikan keuangan negara.
Dalam pemahaman mereka, seolah-olah uang yang harus dikembalikan hanya uang negara yang dikorupsi atau korupsi yang merugikan keuangan negara.
Dalam hubungan ini, benarkah pidana uang pengganti hanya dijatuhkan terhadap terdakwa yang merugikan keuangan negara saja? Apa sebenarnya pengertian "uang pengganti"?
Pidana uang pengganti adalah pidana tambahan terhadap terdakwa berupa keharusan membayar berupa uang pada negara sejumlah harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi sesuai dakwaan yang dinilai terbukti di pengadilan.
Pidana tambahan uang pengganti demikian diatur dalam Pasal 18 Ayat (1) huruf b UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 (UU Tipikor) yang berbunyi:
"Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah: a. ... dst; b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi."
Kata kunci dari konsep pidana uang pengganti dalam pasal di atas adalah harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi yang harus diserahkan kepada negara.
Bila terdakwa tidak memperoleh/mendapatkan uang atau harta benda dari tindak pidana korupsi yang dilakukannya, maka tidak boleh dikenakan sanksi pidana pembayaran uang pengganti. Ini sering terjadi dalam perkara tipikor.
Dalam kasus Juliari Batubara, misalnya, hakim menilai Juliari terbukti memperoleh/mendapatkan uang dari tindak pidana korupsi (suap) sebesar Rp14,5 miliar, maka kepada yang bersangkutan dijatuhkan pidana pembayaran uang pengganti.
Jelaslah bahwa konsep pembayaran pidana uang pengganti berupa uang yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Dan tindak pidana korupsi demikian tidak selalu merugikan keuangan negara baik langsung atau tidak langsung.Â
Penyelenggara negara yang menerima suap dari kalangan swasta juga termasuk korupsi. Seperti perkara Juliari. Sekalipun dia tidak merugikan keuangan negara secara langsung.
Sebagaimana diketahui, hanya sebagian kecil kategori pidana korupsi yang merugikan keuangan negara dalam UU Tipikor. Salah dua diantaranya tersebut dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor.Â
Pasal-pasal lain dari UU Tipikor, tidak berkategori merugikan keuangan negara, sebut saja orang yang memberi janji sesuatu kepada PNS/ASN (Pasal 5), menyuap hakim (Pasal 6 Ayat (1) huruf a).
Pasal lainnya yang tidak memiliki unsur merugikan keuangan negara, antara lain pemborong curang (Pasal 7), memalsukan buku administrasi keuangan (Pasal 9), PNS atau penyelenggara negara menerima hadiah atau janji (Pasal 12), dan lain-lain.
Singkat kata, uang pengganti adalah uang yang berasal dari tindak pidana korupsi yang harus diserahkan kepada negara. Tanpa kecuali. Sehingga ini prosedur standar biasa.(*)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H