PEMBERIAN REMISI kepada narapidana korupsi, narkoba dan terorisme sering kali mendapat penolakan dari masyarakat khususnya pengamat dan aktivis LSM. Alasan rasa keadilan selalu mengemuka.Â
Sebenarnya apa, sih, konsep remisi? Dan bagaimana hubungannya dengan rasa keadilan?
Remisi adalah hak pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana yang memenuhi syarat sebagai bagian sistem pembinaan kecuali narapidana yang divonis pidana mati atau seumur hidup. Itu konsep intinya.
Secara filosofis, ketika seorang terdakwa divonis bersalah dan telah dieksekusi di lembaga pemasyarakatan (Lapas), maka si terdakwa berubah menjadi narapidana atau warga binaan pemasyarakatan. Di sini si napi wajib menjalani masa pemidanaannya dengan sebaik-baiknya.Â
Pada sisi lain, hak negara (dan masyarakat melalui jaksa penuntut umum) untuk menuntut dan menghukum sudah selesai. Sekali lagi, s u d a h  s e l e s a i.Â
Karena itu, tidak boleh lagi masyarakat teriak "rasa keadilan!", "mana rasa keadilan?!" terhadap napi. Karena rasa keadilan sudah tercantum dalam putusan hakim! Dan itu yang sedang dijalani oleh narapidana.
Sebaliknya, pada saat pemasyarakatan itu berjalan yang timbul adalah hak-hak terpidana. Atau, dalam bahasa kebalikannya, yang timbul adalah kewajiban negara untuk memenuhi hak-hak narapidana.
Apa saja hak-hak narapidana itu? Banyak. Antara lain hak diberi remisi apabila memenuhi syarat.Â
Ada lagi hak menjalankan ibadah, hak pelayanan kesehatan, hak mendapat kunjungan dari keluarga dan penasihat hukum, hak mendapat pembebasan bersyarat, hak cuti menjelang bebas, dan lain-lain sesuai peraturan perundang-undangan.Â
Penolakan sekalangan orang terhadap pemberian remisi pada terpidana Djoko Tjandra (DT), misalnya, dengan alasan DT tidak berkelakuan baik karena melarikan diri (sebelum menjalani pidana) dan tidak sesuai rasa keadilan masyarakat.Â