Ketidakadilan itu nyata! Ketimpangan perlakuan pada Nenek Minah vs Jaksa Pinangki satu contoh saja. Di lapangan sudah jadi rahasia umum.
Kalau orang berpangkat dan kaya diproses hukum, yakinlah, semua bakal baik dan ramah padanya seperti di surga, yang dirampas cuma kebebasan fisik.
Giliran orang kecil dan miskin diproses hukum, beh, bakal jadi neraka dunia!
Teror hukum sebenarnya dari rakyat kecil dan miskin saat berurusan dengan hukum yakni perasaan buta hukum itu sendiri.
Bayangkan seorang anak kecil tersesat di rimba asing dan gelap, tanpa pengetahuan apapun soal bertahan hidup di hutan yang ganas.
Si rakyat jelata akan dihadapkan pada "proses dan prosedur" yang panjang dan berliku. Dipanggil orang berseragam pakai surat saja sudah jadi teror tersendiri.
Belum lagi ketika datang ke kantor yang bersih, harum dan bersekat-sekat dengan orang berseragam sipil di mana-mana. Celingak-celinguk dan gugup. Aduh, mau diapain saya. Apa yang harus dilakukan?
Teror belum berhenti. Kadang si jelata disuruh nunggu. Lamaaaaa banget. Dalam keadaan letih dan lapar sambil menatap lantai yang dingin dan dinding bercat putih. Otak sudah pasti blenk.
Nanti di suruh masuk ke ruangan yang asing. Di dalam sudah ada beberapa orang menunggu, wajahnya sering kali dingin dan acuh tak acuh, sambil sibuk dengan intrupsi banyak urusan lain.
"Ibu datang sendiri? Punya pengacara?" Pertanyaan sederhana tapi bikin bingung orang jelata dan buta hukum. Apalagi perut lapar karena tadi tak sempat sarapan saking kalutnya.
"Ibu akan kami periksa. BAP namanya. Jawab saja apa yang saya tanyakan." Si penyidik merasa di atas angin.
Setelah selesai sesi awal pemeriksaan, si jelata diperintah untuk baca BAP-nya. Si jelata bingung. Kadang sampai harus penyidiknya bantu membacakan.Â
Setelah itu, si jelata diperintah tanda tangan di sudut kanan bawah tiap lembar dan lembar terakhir bagian bawah BAP. Dengan tangan gemetar BAP ditandatangi dengan tanda tangan karangan saat itu juga, ceker ayam.
Kira-kira begitulah gambaran ilustrasi saat orang paling jelata diperiksa dalam proses penyidikan.
Kadang-kadang keluarga si jelata merasa kasihan. Lalu mencari pengacara atau datang ke LBH. Siapa tahu mereka bisa bantu. Sementara proses hukum masih terus berjalan.
Saat pengacara tiba-tiba mendampingi si jelata, si oknum penyidik kaget tapi berusaha menyembunyikan kekagetan. Berusaha nampak santai. Tapi sulit untuk tidak bermuka masam pada si jelata sambil membatin dalam hati "kok pakai pengacara sih!"
Baru satu sesi pemeriksaan si jelata sudah keletihan, fisik, lebih-lebih mental. Dikiranya sudah selesai semua kali itu. Nyatanya, proses di kantor baru saja dimulai. Masih berbulan-bulan lagi.
Apalagi kalau si jelata diputuskan ditahan. Tatapannya jadi kosong. Bingung, capek, takut bercampur jadi satu.
Digiring melewati pintu besi dingin berwarna abu-abu. Di dalam ruangan jeruji besi, tahanan lain menatap lekat-lekat untuk menilai apakah orang baru ini bisa jadi teman atau "dikerjai".
Neraka dunia level dua baru saja dimulai.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H