"Ibu akan kami periksa. BAP namanya. Jawab saja apa yang saya tanyakan." Si penyidik merasa di atas angin.
Setelah selesai sesi awal pemeriksaan, si jelata diperintah untuk baca BAP-nya. Si jelata bingung. Kadang sampai harus penyidiknya bantu membacakan.Â
Setelah itu, si jelata diperintah tanda tangan di sudut kanan bawah tiap lembar dan lembar terakhir bagian bawah BAP. Dengan tangan gemetar BAP ditandatangi dengan tanda tangan karangan saat itu juga, ceker ayam.
Kira-kira begitulah gambaran ilustrasi saat orang paling jelata diperiksa dalam proses penyidikan.
Kadang-kadang keluarga si jelata merasa kasihan. Lalu mencari pengacara atau datang ke LBH. Siapa tahu mereka bisa bantu. Sementara proses hukum masih terus berjalan.
Saat pengacara tiba-tiba mendampingi si jelata, si oknum penyidik kaget tapi berusaha menyembunyikan kekagetan. Berusaha nampak santai. Tapi sulit untuk tidak bermuka masam pada si jelata sambil membatin dalam hati "kok pakai pengacara sih!"
Baru satu sesi pemeriksaan si jelata sudah keletihan, fisik, lebih-lebih mental. Dikiranya sudah selesai semua kali itu. Nyatanya, proses di kantor baru saja dimulai. Masih berbulan-bulan lagi.
Apalagi kalau si jelata diputuskan ditahan. Tatapannya jadi kosong. Bingung, capek, takut bercampur jadi satu.
Digiring melewati pintu besi dingin berwarna abu-abu. Di dalam ruangan jeruji besi, tahanan lain menatap lekat-lekat untuk menilai apakah orang baru ini bisa jadi teman atau "dikerjai".
Neraka dunia level dua baru saja dimulai.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H