Merevisi PP 99/2012 dan Permenkumham 03/2018, sebagai dasar hukum syarat pembebasan bersyarat (PB), menjadi satu-satunya cara bila hendak melakukan pembebasan bersyarat (PB) terhadap Abu Bakar Baasyir (ABB).Â
Tak pelak ini akan lahirkan preseden buruk bagi sistem hukum. Bagaimana peraturan yang berlaku umum diubah demi kepentingan satu orang.
Salah satu syarat PB napi terorisme adalah menandatangani ikrar kesetiaan pada NKRI dan Pancasila. Syarat ini ditolak ABB. Karena itulah dokumen PB-nya belum diajukan sekalipun syarat 2/3 masa pidana telah terpenuhi pada 13 Desember 2018 lalu.
Sebagaimana diketahui, ABB dipidana penjara selama 15 tahun dan baru akan bebas murni pada 24 Desember 2023 mendatang. Dalam kaitan ini, hanya ada dua celah hukum untuk pembebasan lebih cepat dari itu, yakni: prosedur PB atau grasi.
Namanya saja "pembebasan bersyarat", tentu ada syarat-syarat yang harus dipenuhi ABB. Pembebasan tanpa syarat sebelum waktunya mau tak mau harus dengan terlebih dahulu mengubah peraturan.
Anggap saja peraturan diubah menjadi, misalnya, warga binaan pemasyarakatan (WBP) kasus terorisme tidak perlu lagi syarat menandatangani ikrar kesetiaan pada NKRI dan Pancasila.
Maksud awal hanya ingin memenuhi kepentingan ABB. Namun yang terjadi peraturan terpaksa diubah dan berlaku untuk semua WBP kasus terorisme. Karena namanya saja "peraturan" tentu harus berlaku umum, mustahil hanya berlaku untuk satu orang bernama ABB saja.
Terbayang bagaimana kekacauan sistem hukum pemasyarakatan WBP kasus terorisme, termasuk program deradikaliasasi yang dijalankan pemerintah.
Semua program pembinaan dan deradikalisasi mentah lagi. Sebab, tidak ada dokumen "pengunci" sebagai pegangan setelah WBP mendapat PB. Pembinaan tinggal pembinaan. Napi terorisme bisa melenggang keluar tanpa perlu ikrar kesetiaan pada NKRI dan Pancasila.
Perubahan peraturan demikian terkesan sangat buruk. Karena awalnya demi memenuhi kebutuhan satu orang bernama ABB. Lalu berefek domino pada semua napi terorisme.
Terbayang pula bagaimana perasaan korban dan keluarga korban terorisme di seluruh Indonesia dan dunia. Di titik ini masuk akal ada tekanan dari Australia yang warganya banyak menjadi korban bom Bali. Ke depan sangat mungkin tekanan dunia internasional pada Indonesia akan makin besar.