Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Membayangkan Kekacauan Akibat Pembebasan Baasyir

21 Januari 2019   22:44 Diperbarui: 22 Januari 2019   10:56 711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Merevisi PP 99/2012 dan Permenkumham 03/2018, sebagai dasar hukum syarat pembebasan bersyarat (PB), menjadi satu-satunya cara bila hendak melakukan pembebasan bersyarat (PB) terhadap Abu Bakar Baasyir (ABB). 

Tak pelak ini akan lahirkan preseden buruk bagi sistem hukum. Bagaimana peraturan yang berlaku umum diubah demi kepentingan satu orang.

Salah satu syarat PB napi terorisme adalah menandatangani ikrar kesetiaan pada NKRI dan Pancasila. Syarat ini ditolak ABB. Karena itulah dokumen PB-nya belum diajukan sekalipun syarat 2/3 masa pidana telah terpenuhi pada 13 Desember 2018 lalu.

Sebagaimana diketahui, ABB dipidana penjara selama 15 tahun dan baru akan bebas murni pada 24 Desember 2023 mendatang. Dalam kaitan ini, hanya ada dua celah hukum untuk pembebasan lebih cepat dari itu, yakni: prosedur PB atau grasi.

Namanya saja "pembebasan bersyarat", tentu ada syarat-syarat yang harus dipenuhi ABB. Pembebasan tanpa syarat sebelum waktunya mau tak mau harus dengan terlebih dahulu mengubah peraturan.

Anggap saja peraturan diubah menjadi, misalnya, warga binaan pemasyarakatan (WBP) kasus terorisme tidak perlu lagi syarat menandatangani ikrar kesetiaan pada NKRI dan Pancasila.

Maksud awal hanya ingin memenuhi kepentingan ABB. Namun yang terjadi peraturan terpaksa diubah dan berlaku untuk semua WBP kasus terorisme. Karena namanya saja "peraturan" tentu harus berlaku umum, mustahil hanya berlaku untuk satu orang bernama ABB saja.

Terbayang bagaimana kekacauan sistem hukum pemasyarakatan WBP kasus terorisme, termasuk program deradikaliasasi yang dijalankan pemerintah.

Semua program pembinaan dan deradikalisasi mentah lagi. Sebab, tidak ada dokumen "pengunci" sebagai pegangan setelah WBP mendapat PB. Pembinaan tinggal pembinaan. Napi terorisme bisa melenggang keluar tanpa perlu ikrar kesetiaan pada NKRI dan Pancasila.

Perubahan peraturan demikian terkesan sangat buruk. Karena awalnya demi memenuhi kebutuhan satu orang bernama ABB. Lalu berefek domino pada semua napi terorisme.

Terbayang pula bagaimana perasaan korban dan keluarga korban terorisme di seluruh Indonesia dan dunia. Di titik ini masuk akal ada tekanan dari Australia yang warganya banyak menjadi korban bom Bali. Ke depan sangat mungkin tekanan dunia internasional pada Indonesia akan makin besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun