Peristilahan yang tepat jika benar kelak Abu Bakar Baasyir (ABB) akan dibebaskan atas perintah presiden adalah "pembebasan bersyarat" (PB) atau bentuk lain, tapi yang jelas bukan "bebas murni".
Sesuai putusan pengadilan, ABB dipidana penjara selama 15 tahun, dan baru akan bebas murni pada 24 Desember 2023 mendatang. Jika hendak dibebaskan sebelum itu maka harus melalui prosedur PB. Namanya juga "pembebasan bersyarat" tentu ada syaratnya.
Jika pembebasan bersyarat tanpa syarat, seperti dikehendaki oleh ABB, maka namanya bukan PB. Tunggu sampai tanggal 24 Desember 2023 baru bisa bebas tanpa syarat. Di luar itu, hanya mungkin bebas melalui prosedur grasi.
Menurut Presiden Jokowi dan kuasa hukumnya (Yusril Ihza Mahendra), kepada media massa, alasan rencana pembebasan ABB karena pertimbangan kemanusiaan, tidak ada pertimbangan politis menjelang pemilu. Benarkah?
Untuk menguji apakah (rencana) pembebasan ABB bersifat politis atau tidak adalah dengan mengacu pada syarat-syarat PB yang ditetapkan peraturan perundang-undangan, khususnya UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, PP No 99 Tahun 2012 dan Permenkumham No 03 Tahun 2018.
Syarat-syarat PB ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus, masing-masing dengan perincian yang banyak. Di mana masing-masing syarat tersebut ada kelengkapan dokumennya yang harus dipenuhi.
Untuk napi atau warga binaan pemasyarakatan (WBP) kasus terorisme, misalnya, syarat-syarat umum PB diatur dalam Pasal 82 Permenkhumham 03/2018 antara lain telah menjalani 2/3 masa pidana. Sedangkan syarat-syarat khusus diatur dalam Pasal 84 Permenkumham 03/2018 antara lain menandatangani ikrar kesetiaan pada NKRI.
Semua persyaratan PB di atas berlaku untuk semua WBP sesuai kategori tindak pidananya. Tidak ada pengecualian. Sesuai asas persamaan di depan hukum.
Beredar pemberitaan ABB menolak untuk menandatangani ikrar kesetiaan pada NKRI, karena itu pengajuan PB-nya belum disampaikan sekalipun 2/3 masa pidana ABB telah jatuh tempo pada tanggal 13 Desember 2018 lalu.
Dalam hubungan ini, jika PB tetap diberikan kepada ABB tanpa memenuhi syarat yang ditentukan peraturan perundang-undangan di atas, maka akan menimbulkan pelanggaran asas keadilan dan persamaan di depan hukum.
Resiko moral (moral hazard) dari pemberian PB tanpa memenuhi syarat akan cukup besar, setidaknya akan merusak sistem dan berpotensi menimbulkan rasa ketidakadilan bagi WBP lainnya. Rasa ketidakadilan yang tak terkelola dapat memicu rusuh di lapas.
Karena itu, jika hendak membebaskan ABB tanpa syarat, maka jangan ditempuh prosedur PB. Tempuh jalur grasi. Inipun bila ABB bersedia mengajukan permohonan grasi, artinya tersirat mengakui bersalah dan, tentu saja, ada syarat-syaratnya---yang mana ABB tidak suka bersyarat.
Bila tidak, maka biarkan ABB menjalani masa pidananya hingga habis, tentu dengan resiko, salah satunya kemungkinan meninggal di lapas. Itu lebih baik ketimbang resiko merusak sistem dan tatanan hukum hanya demi satu orang apalagi bila bersifat politis.(*)
SUTOMO PAGUCI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H