Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pencabutan Hak Politik Caleg Tak Semudah Membalikkan Telapak Tangan

4 September 2018   10:36 Diperbarui: 4 September 2018   20:43 1671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung Komisi Pemilihan Umum (Foto: KOMPAS/WISNU WIDIANTORO)

Apalagi bila pencabutan hak politik itu bersifat diskriminatif pula, misalnya, calon yang jelas-jelas telah diputus DKP bersalah karena menculik dan menghilangkan paksa aktivis 1997-98, malah tidak dilarang oleh KPU. Maka, makin bermasalah PKPU tersebut dari segi etis moral.

Secara semangat pemberantasan korupsi dan kemaslahatan negara, penulis sepakat pelarangan caleg mantan terpidana korupsi, bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak dan kejahatan berat lainnya. Akan tetapi harus melalui pengaturan undang-undang.

Dalam hubungan ini, kalaupun ke depan ada pembatasan hak bagi mantan terpidana korupsi dan lain-lain tersebut dengan undang-undang, harus dicermati secara kasuistis. Hal mana agar tidak menimbulkan ketidakadilan dan penzaliman.

Dalam praktik penulis melihat langsung bahwa tidak semua mantan terpidana korupsi itu benar-benar memenuhi unsur kejahatan bila dilihat dari actus reus (unsur fisik/perbuatan) dan mens rea-nya (unsur mental/kesalahan). Sering kali karena jabatan atau kedudukannya, terdakwa dianggap ikut bertanggung jawab.

Contoh kasus. Seorang ASN ditunjuk sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam sebuah proyek pengadaan barang/jasa pemerintah. Pekerjaan diselesaikan 100%, sesuai spesifikasi teknis dalam RAB, sesuai pula dengan gambar pekerjaan, dan PPK tidak mendapat uang suap.

Akan tetapi pekerjaan terlambat dikerjakan, walaupun pada akhirnya selesai juga, sedangkan pembayaran kepada kontraktor telah dilakukan 100%.

Dalam kasus di atas, unsur tindak pidana korupsi, yang bersifat formil, telah terpenuhi. Sekalipun di dalam diri terdakwa tidak memiliki niat jahat.

Contoh lain lagi. Seorang swasta (kontraktor) dihadapkan ke pengadilan tipikor karena menerima pembayaran 100% atas pekerjaan yang dikerjakan 100% bahkan lebih akan tetapi terlambat dari jangka waktu kontrak. 

Keterlambatan ini bukan kemauan kontraktor, melainkan karena dinamika pengerjaan, misalnya: setelah kolom/tiang bangunan "dibobok" ternyata tingkat keretakan lebih besar dari yang harus diperbaiki, dibandingkan nilai pekerjaan dalam kontrak. Perubahan kontrak dan penambahan pekerjaan butuh waktu, sementara tahun anggaran mau berakhir.

Dalam contoh kasus kedua ini, di dalam diri kontraktor tidak ada anasir jahat untuk mencuri uang negara. Pembayaran yang diterimanya sepadan dengan nilai pekerjaannya, hanya saja ia bekerja terlambat dan menerima uang sebelum waktunya.

Kedua contoh kasus korupsi di atas tentu sangat berbeda dengan kasus dimana seorang pejabat negara menerima uang suap dari kalangan swasta supaya orang swasta tersebut dapat proyek. Dalam kasus begini sangat jelas unsur jahat dalam diri pejabat negara tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun