Sangat jelas ada energi kebencian dan kemarahan publik terhadap korupsi dan segala hal terkait korupsi termasuk para politisi mantan napi korupsi yang hendak mencalonkan diri sebagai anggota DPR/DPRD/DPD.
KPU sebagai unsur pelaksana undang-undang di bidang kepemiluan mencoba mewadahi energi kebencian publik itu.
Sebaliknya, Bawaslu sebagai unsur pengawas dan penegakan hukum dibidang kepemiluan berusaha "mengerem" upaya KPU tersebut, yang dinilainya berada di atas undang-undang.
Pasalnya, KPU membatasi hak politik warga negara hanya berdasarkan Peraturan KPU, yang dibuatnya sendiri, bukan berdasarkan rumusan tegas undang-undang. Mengapa hal ini dianggap relevan?
Sebab, Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 menegaskan, pembatasan hak warga negara harus melalui instrumen undang-undang, artinya, pembatasan hak itu wajib disetujui sendiri oleh warga sebagai perwujudan kedaulatan rakyat.
"Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang...dst," tegas pasal ini.
Pembatasan hak caleg mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi dengan PKPU No 20 Tahun 2018, dianggap "offside". Bukan semangat pembarantasan korupsi KPU yang dinilai "offside", melainkan caranya.
Dari segi semangat pemberantasan korupsi, KPU layak diapresiasi positif. Hanya saja caranya dinilai melanggar konstitusi.
Harusnya, KPU menginisiasi perubahan UU Pemilu dengan memasukkan ketentuan tegas di dalam pasalnya soal larangan caleg mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak atau korupsi.
Setelah diatur dengan UU, barulah KPU menindaklanjutinya ke aspek teknis kepemiluan dengan mengeluarkan PKPU. Bukan seperti saat ini, materi muatan dalam PKPU mengatur materi muatan UU.
Sebagaimana diketahui, pencabutan hak politik dipilih dan memilih hanya absah dengan ketentuan undang-undang dan/atau putusan hakim. Di luar itu dipandang sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad).