Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Tiga Alasan Mengapa Gerakan #2019GantiPresiden Wajib Ditolak

8 Agustus 2018   12:09 Diperbarui: 26 Agustus 2018   21:27 670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa unsur pemerintah daerah dan warga di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi secara tegas menolak gerakan #2019GantiPresiden di daerahnya. Ke depan, Kepolisian dan pemerintah daerah seluruh Indonesia wajib kompak menolak gerakan ini. Jangan ada keraguan sedikit pun untuk menolak (untuk tidak memberi izin).

Berikut ini menurut penulis tiga alasan mengapa gerakan #2019GantiPresiden wajib ditolak oleh segenap elemen bangsa yang cinta negara, taat hukum dan menjunjung tinggi demokrasi yang sehat.

Gerakan Makar

Gerakan #2019GantiPresiden jelas MAKAR atau upaya menggulingkan pemerintahan yang sah. Alasannya, pada tahun 2019 tersebut, yang ada adalah pemilihan presiden, bukan ganti presiden. Sehingga siapapun presiden terpilih harus didukung, tidak boleh diganti.

Demikian pula presiden petahana (Jokowi) yang masih menjabat hingga Oktober 2019, juga tidak boleh diganti sembarangan diluar konstitusi.

Tegasnya, ada dua fase jabatan presiden pada tahun 2019 mendatang: presiden petahana dan presiden terpilih hasil pilpres. Kedua-duanya tidak boleh diganti.

Yang perlu dipahami, di dalam istilah "pemilihan persiden dan wakil presiden" tidak tercakup pengertian "ganti presiden". Di dalam konsep "pemilihan presiden dan wakil presiden" hanya melahirkan hasil berupa presiden terpilih. Jadi, memilih presiden tidak sama dengan mengganti presiden.

Konsep "ganti presiden" lebih tepat ditujukan untuk mengganti presiden terpilih yang sah melalui pemilu, yang mana syarat-syaratnya telah limitatif ditetapkan oleh konstitusi UUD 1945 dan perundangan organik lainnya, yaitu karena presiden melakukan pelanggaran hukum (menghianati negara, korupsi, dan tidak tercela lainnya) dan terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden. Di luar syarat-syarat yang ditetapkan konstitusi tersebut, penggantian presiden merupakan tindakan inkonstitusional.

Jika yang dimaksud adalah "memilih presiden" di luar petahana (Jokowi), maka istilah yang benar adalah, misalnya, #2019PrabowoPresiden atau #2019AHYPresiden dan sebagainya. Itupun, kampanye demikian harus dilakukan di masa kampanye.

Pun, sangat berbeda antara kosep "kebebasan berekspresi" dan gerakan #2019GantiPresiden. Kebebasan berekspresi memang dijamin konstitusi, tetapi harus dilakukan sesuai koridor hukum. Sementara gerakan #2019GantiPresiden bersifat makar, bertentangan dengan hukum.

Kampanye Dini

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum memberi arti "kampanye" sebagai, kegiatan peserta pemilu atau pihak yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri peserta pemilu. Karena ada kata "dan/atau" maka definisi ini bersifat kumulatif atau alternatif.

Harus diakui, dalam istilah gerakan #2019GantiPresiden sendiri tidak mengandung muatan yang bermakna kampanye, seperti disebut definisi di atas. Akan tetapi aksi di lapangan sudah barang tentu akan bermuatan materi kampanye, yaitu menawarkan citra diri capres pengganti presiden terpilih yang dianggap lawan politik. Pasti tak terelakkan. Jelas-jelas hal demikian sebagai kampanye.

Sangat disayangkan, jika Bawaslu dan jajarannya hanya terpaku pada istilah #2019GantiPresiden an sich, tetapi abai pada materi yang bermuatan kampanye dan provokasi, yang disampaikan pada tiap acara tersebut, seperti terjadi di depan gerai martabak Markobar di Solo baru-baru ini.

Sebagaimana diketahui tahapan kampanye pilpres (dan juga calon anggota DPR, DPD dan DPRD) ditetapkan berlangsung pada 23 September 2018 s/d 13 April 2019 mendatang. Kampanye di luar jadwal tersebut tergolong kampanye dini yang ilegal.

Memecah Belah

Hemat penulis, sudah benar alasan penolakan gerakan #2019GantiPresiden oleh MUI Jawa Barat, yaitu karena gerakan #2019GantiPresiden bersifat memecah belah, selain dipandang sebagai kampanye dini yang inkonstitusional. Sekarang belum saatnya kampanye bagi semua pendukung bakal calon presiden.

Yang paling krusial, gerakan #2019GantiPresiden acap membawa jargon-jargon agama untuk memframing bahwa Jokowi sebagai tidak berpihak kepada umat Islam, tidak melindungi ulama, dan seterusnya. Framing yang sangat berbahaya dan rawan menimbulkan gesekan sosial dan konflik horizontal di akar rumput.

Jika gerakan #2019GantiPresiden dibiarkan, sudah barang tentu akan mendapat penolakan dari pendukung presiden terpilih saat ini (baca: Jokowi). Pasalnya, Jokowi masih menjabat presiden periode ini hingga Oktober 2019 mendatang. Mengganti presiden terpilih begini jelas inkonstitusional.

Jika logika #2019GantiPresiden dipaksakan juga, bagaimana andai yang terpilih dalam pilpres 2019 mendatang adalah (tetap) Jokowi? Apakah berlaku juga gerakan #2019GantiPresiden tersebut? Inilah problem serius istilah dan gerakan #2019GantiPresiden itu.

Sesuai berbagai survei, kans Jokowi terpilih kembali dalam pilpres mendatang adalah yang paling tinggi diantara semua kandidat, di atas 50%. Sudah barang tentu pendukung Jokowi akan khawatir jika gerakan #2019GantiPresiden tetap terjadi sekalipun telah ada presiden terpilih.

Akumulasi dari pendapat dan kesadaran politik publik bahwa #2019GantiPresiden merupakan gerakan makar, kampanye dini dan memecah belah masyarakat, telah cukup sebagai alasan untuk melarang gerakan ini di seluruh Indonesia. Termasuk yang dilarang, misalnya, gerakan massa kampanye #JokowiDuaPeriode. Biar adil.(*)

SUTOMO PAGUCI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun