Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum memberi arti "kampanye" sebagai, kegiatan peserta pemilu atau pihak yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri peserta pemilu. Karena ada kata "dan/atau" maka definisi ini bersifat kumulatif atau alternatif.
Harus diakui, dalam istilah gerakan #2019GantiPresiden sendiri tidak mengandung muatan yang bermakna kampanye, seperti disebut definisi di atas. Akan tetapi aksi di lapangan sudah barang tentu akan bermuatan materi kampanye, yaitu menawarkan citra diri capres pengganti presiden terpilih yang dianggap lawan politik. Pasti tak terelakkan. Jelas-jelas hal demikian sebagai kampanye.
Sangat disayangkan, jika Bawaslu dan jajarannya hanya terpaku pada istilah #2019GantiPresiden an sich, tetapi abai pada materi yang bermuatan kampanye dan provokasi, yang disampaikan pada tiap acara tersebut, seperti terjadi di depan gerai martabak Markobar di Solo baru-baru ini.
Sebagaimana diketahui tahapan kampanye pilpres (dan juga calon anggota DPR, DPD dan DPRD) ditetapkan berlangsung pada 23 September 2018 s/d 13 April 2019 mendatang. Kampanye di luar jadwal tersebut tergolong kampanye dini yang ilegal.
Memecah Belah
Hemat penulis, sudah benar alasan penolakan gerakan #2019GantiPresiden oleh MUI Jawa Barat, yaitu karena gerakan #2019GantiPresiden bersifat memecah belah, selain dipandang sebagai kampanye dini yang inkonstitusional. Sekarang belum saatnya kampanye bagi semua pendukung bakal calon presiden.
Yang paling krusial, gerakan #2019GantiPresiden acap membawa jargon-jargon agama untuk memframing bahwa Jokowi sebagai tidak berpihak kepada umat Islam, tidak melindungi ulama, dan seterusnya. Framing yang sangat berbahaya dan rawan menimbulkan gesekan sosial dan konflik horizontal di akar rumput.
Jika gerakan #2019GantiPresiden dibiarkan, sudah barang tentu akan mendapat penolakan dari pendukung presiden terpilih saat ini (baca: Jokowi). Pasalnya, Jokowi masih menjabat presiden periode ini hingga Oktober 2019 mendatang. Mengganti presiden terpilih begini jelas inkonstitusional.
Jika logika #2019GantiPresiden dipaksakan juga, bagaimana andai yang terpilih dalam pilpres 2019 mendatang adalah (tetap) Jokowi? Apakah berlaku juga gerakan #2019GantiPresiden tersebut? Inilah problem serius istilah dan gerakan #2019GantiPresiden itu.
Sesuai berbagai survei, kans Jokowi terpilih kembali dalam pilpres mendatang adalah yang paling tinggi diantara semua kandidat, di atas 50%. Sudah barang tentu pendukung Jokowi akan khawatir jika gerakan #2019GantiPresiden tetap terjadi sekalipun telah ada presiden terpilih.
Akumulasi dari pendapat dan kesadaran politik publik bahwa #2019GantiPresiden merupakan gerakan makar, kampanye dini dan memecah belah masyarakat, telah cukup sebagai alasan untuk melarang gerakan ini di seluruh Indonesia. Termasuk yang dilarang, misalnya, gerakan massa kampanye #JokowiDuaPeriode. Biar adil.(*)