Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengadili Imajinasi Sukmawati di Tahun Politik

4 April 2018   09:48 Diperbarui: 4 April 2018   12:45 973
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Puisi pada dasarnya ekspresi imajinasi, perasaan dan estetika. Bagaimana cara mengadilinya? Bagaimana cara sebuah imajinasi seseorang diadili dengan imajinasi orang lain pula?

Kalau aku berpuisi "nyanyian Via Vallen lebih merdu dari alunan azanmu", karena kebetulan azanmu kurasa memang tak merdu, apakah aku akan dipenjarakan karena merasa begitu? Aku tak melarang orang azan atau bercadar, sama sekali tidak, hanya mengeluarkan ekspresi perasaanku saja.

Sukmawati membacakan puisi "Ibu Indonesia" dalam acara 29 tahun Anne Avantie Berkarya di Indonesia Fashion Week 2018 yang dihelar di Jakarta Convention Center, Senayan, beberapa waktu lalu.

Ada dua frase yang dipersoalkan beberapa pihak terkait puisi Sukmawati itu. Pertama, frase yang membandingkan "sari konde ibu Indonesia" dengan "cadar dirimu". Kedua, frase yang membandingkan "suara kidung ibu Indonesia lebih merdu dari alunan azanmu." Puisi Sukmawati itu dinilai menyinggung SARA.

Pada intinya, Sukmawati sedang berimajinasi tentang kebudayaan Indonesia yang dikaitkan dengan pemahaman agama. Bahwa, kebudayaan asli Indonesia tak kalah indah dibandingkan kebudayaan hasil tafsir agama dari luar (timur tengah). Karena itu Sukmawati berpesan melalui puisinya dengan kalimat di bawah ini.

"Lihatlah ibu Indonesia. Saat penglihatanmu menjadi asing. Supaya kau dapat mengingat. Kecantikan asli dari bangsamu."

Atas pesan Sukmawati melalui puisinya itu tak pelak menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Sebagian dengan elegan menanggapi puisi Sukmawati itu dengan puisi pula. Sebagian lainnya melapor ke polisi. Selasa (3/4/2018) kemaren saja setidaknya ada tiga pihak melapor ke polisi, dua orang di Jakarta dan satu kelompok masyarakat di Surabaya.

Orang-orang yang melapor ke polisi itu seolah menegaskan bahwa mereka mewakili seluruh umat Islam, bahwa mereka adalah pembela agama, mengatasnamakan (pemeluk) agama.

Polisi, seperti biasa, tak kuasa untuk menolak laporan masyarakat, apa lagi laporan dugaan tindak pidana bernuansa SARA begini, di tahun politik pula. Apapun isu SARA yang berkembang di masyarakat perlu diantisipasi agar tidak berekskalasi menjadi konflik horizontal.

Beberapa pihak segera "menggoreng" puisi Sukmawati tersebut menjadi isu politik, yang digelindingkan hingga ke Pilkada Jawa Timur, karena ada keponakan Sukmawati sedang bertarung di sana, yaitu Puti Guntur Soekarno.

Yang lebih akrobatik lagi, di media sosial gencar suara-suara mengaitkan puisi Sukmawati tersebut menjadi kesalahan Jokowi. Kelihatan sekali digoreng untuk kepentingan politik menuju pilpres 2019, sekalipun tidak ada hubungannya secara langsung dengan Jokowi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun