Puisi pada dasarnya ekspresi imajinasi, perasaan dan estetika. Bagaimana cara mengadilinya? Bagaimana cara sebuah imajinasi seseorang diadili dengan imajinasi orang lain pula?
Kalau aku berpuisi "nyanyian Via Vallen lebih merdu dari alunan azanmu", karena kebetulan azanmu kurasa memang tak merdu, apakah aku akan dipenjarakan karena merasa begitu? Aku tak melarang orang azan atau bercadar, sama sekali tidak, hanya mengeluarkan ekspresi perasaanku saja.
Sukmawati membacakan puisi "Ibu Indonesia" dalam acara 29 tahun Anne Avantie Berkarya di Indonesia Fashion Week 2018 yang dihelar di Jakarta Convention Center, Senayan, beberapa waktu lalu.
Ada dua frase yang dipersoalkan beberapa pihak terkait puisi Sukmawati itu. Pertama, frase yang membandingkan "sari konde ibu Indonesia" dengan "cadar dirimu". Kedua, frase yang membandingkan "suara kidung ibu Indonesia lebih merdu dari alunan azanmu." Puisi Sukmawati itu dinilai menyinggung SARA.
Pada intinya, Sukmawati sedang berimajinasi tentang kebudayaan Indonesia yang dikaitkan dengan pemahaman agama. Bahwa, kebudayaan asli Indonesia tak kalah indah dibandingkan kebudayaan hasil tafsir agama dari luar (timur tengah). Karena itu Sukmawati berpesan melalui puisinya dengan kalimat di bawah ini.
"Lihatlah ibu Indonesia. Saat penglihatanmu menjadi asing. Supaya kau dapat mengingat. Kecantikan asli dari bangsamu."
Atas pesan Sukmawati melalui puisinya itu tak pelak menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Sebagian dengan elegan menanggapi puisi Sukmawati itu dengan puisi pula. Sebagian lainnya melapor ke polisi. Selasa (3/4/2018) kemaren saja setidaknya ada tiga pihak melapor ke polisi, dua orang di Jakarta dan satu kelompok masyarakat di Surabaya.
Orang-orang yang melapor ke polisi itu seolah menegaskan bahwa mereka mewakili seluruh umat Islam, bahwa mereka adalah pembela agama, mengatasnamakan (pemeluk) agama.
Polisi, seperti biasa, tak kuasa untuk menolak laporan masyarakat, apa lagi laporan dugaan tindak pidana bernuansa SARA begini, di tahun politik pula. Apapun isu SARA yang berkembang di masyarakat perlu diantisipasi agar tidak berekskalasi menjadi konflik horizontal.
Beberapa pihak segera "menggoreng" puisi Sukmawati tersebut menjadi isu politik, yang digelindingkan hingga ke Pilkada Jawa Timur, karena ada keponakan Sukmawati sedang bertarung di sana, yaitu Puti Guntur Soekarno.
Yang lebih akrobatik lagi, di media sosial gencar suara-suara mengaitkan puisi Sukmawati tersebut menjadi kesalahan Jokowi. Kelihatan sekali digoreng untuk kepentingan politik menuju pilpres 2019, sekalipun tidak ada hubungannya secara langsung dengan Jokowi.
Menghadapi tarik-menarik kepentingan, antara yang murni memahami sebagai penistaan agama dan yang bermuatan kepentingan politik, polisi sebaiknya tegas. Bahwa imajinasi puisi tidak bisa diadili dan dituntut secara hukum oleh pendapat orang lain yang tak sepaham. Silakan lawan puisi dengan puisi.
Mengutip HB Jassin (1917-2000), "Pendapat seseorang tak bisa mengadili imajinasi". Bahwa pendapat seseorang atau kelompok orang yang berseberangan dengan imajinasi puitik Sukmawati tidak dapat menjadi dasar untuk menyeret Sukmawati ke pengadilan.Â
Di atas semua itu, aparat penegak hukum yang harus tegas, jangan mau ditunggangi kepentingan politik, termasuk kepentingan kelompok radikal. Jangan takut tekanan, seperti pada kasus Ahok dulu, sekalipun di tahun politik.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H