Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Jika Diajukan, Inilah Alasan Mengapa Grasi Perkara Ahok Layak Dipertimbangkan

27 Maret 2018   12:40 Diperbarui: 2 April 2018   15:33 3279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ahok dalam sidang putusan, Selasa (9/5/2017). Foto: Kompas.com/Kristianto Purnomo

Grasi merupakan upaya hukum istimewa atau lebih tepat upaya nonhukum (upaya politik) terpidana dengan memohon pengampunan kepada presiden untuk mengubah pelaksanaan pidana putusan yang telah berkekuatan hukum tetap di semua tingkatan.

Syarat-syarat teknis grasi diatur dalam UU No 22 Tahun 2002 tentang Grasi sebagaimana diubah dengan UU No 5 Tahun 2010 (UU Grasi), yaitu terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap berupa pidana mati, seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun.

Prinsipnya, grasi hanya dapat diajukan satu kali saja, kecuali terpidana yang permohonan grasinya pernah ditolak dan telah lewat 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan grasi atau terpidana yang grasinya pernah dikabulkan dari pidana mati menjadi seumur hidup dan telah lewat 2 (dua) tahun dari tanggal pemberian grasi sebelumnya.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 4 Ayat (2) UU Grasi, pemberian grasi oleh presiden dapat berupa: (i) peringanan atau perubahan jenis pidana; (ii) pengurangan lamanya pidana; (iii) penghapusan pelaksanaan pidana.

Peringanan atau perubahan jenis pidana dapat berupa pidana mati diubah menjadi pidana seumur hidup. Pengurangan lamanya pidana berupa mengurangi masa pidana misalnya dari semula 10 tahun menjadi 8 tahun, di sini si terpidana masih tetap harus menjalani pidana di lembaga pemasyarakatan, hanya saja jumlahnya dikurangi. Pemberian grasi terpidana Antasari Azhar adalah satu contohnya.

Sementara penghapusan pelaksanaan pidana berarti pelaksanaan pidana selanjutnya dari terpidana pemohon grasi dihapuskan sejak tanggal putusan grasi. Dengan demikian si terpidana dibebaskan sejak tanggal pemberian grasi diterima, selanjutnya terpidana dikeluarkan dari lembaga pemasyarakatan.

Untuk sampai pada menerima atau menolak permohonan grasi yang diajukan terpidana, presiden melakukannya setelah menerima pertimbangan dari Mahkamah Agung. Dalam kaitan ini, karena sifatnya pertimbangan, presiden bisa mempedomani atau tidak mempedomani pertimbangan Mahkamah Agung. Keputusan menerima atau menolak grasi merupakan hak sepenuhnya presiden.

Menjadi jelas, bahwa sekali pun grasi sifatnya pengampunan yang diberikan presiden, atau dari sisi terpidana berarti permohonan ampunan (berarti pengakuan bersalah), akan tetapi ada "celah hukum" pengajuan permohonan grasi tidak selalu berarti pengakuan bersalah sesuai alur narasi putusan an sich.

Berdasarkan "celah hukum" ini, pada bagian mengingat dan menimbang grasi yang diberikan merujuk pasal yang berbeda dari putusan, dalam kasus Ahok yang semula penodaan agama (vide Pasal 156a huruf a KUHP) menjadi ujaran kebencian terhadap golongan (vide Pasal 156 KUHP) yang gradasi ancaman pidananya lebih ringan. Diakui ini tergolong kontroversial, tapi tidak ada salahnya dicoba sebagai bentuk "terobosan hukum" dalam kasus yang spesifik.

Dalam permohonan demikian, pemohon grasi (terpidana) secara implisit tetap mengakui bersalah, hanya saja pasal yang dikenakan harusnya berbeda. Bila dikilas balik, permohonan maaf Ahok secara terbuka kepada kelompok umat Islam yang merasa tersinggung adalah implisit bahwa pasal yang lebih tepat dikenakan adalah Pasal 156 KUHP.

Mengapa Pasal 156 KUHP, rasionalnya adalah, yang merasa ternodai agamanya hanya sekelompok orang, khususnya masyarakat yang sekubu dengan pelapor, di mana kepada mereka permohonan maaf Ahok dulu ditujukan.

Sedangkan kelompok lain umat Islam yang merasa agamanya tidak ternodai dapat menjadi dasar bahwa tidak tepat memukul rata sebagai penodaan agama. Bukankah banyak saksi dan ahli beragama Islam yang diajukan pihak Ahok. Banyak lagi pendukung Ahok yang beragama Islam mengirimkan bunga, surat dan ucapan simpati kepadanya. Semua ini menjadi bukti bahwa memukul rata pidato Ahok sebagai penodaan agama adalah tidak tepat.

Fakta bahwa hanya golongan masyarakat tertentu saja yang merasa ternodai dari ucapan dalam pidato Ahok cukup menjadi alasan penerapan pasal yang berbeda. Dengan demikian, jelaslah, pasal yang lebih tepat adalah Pasal 156 KUHP (penistaan terhadap golongan masyarakat).

Dari sisi Ahok, sangat mungkin ada pertimbangan bahwa menerima putusan lebih baik demi kepentingan bangsa yang lebih luas, misalnya bahwa pengajuan grasi akan membebani presiden secara politik di tahun-tahun politik mendatang. Presiden dapat saja diasosiasikan sekubu dengan "penista agama" yang dampaknya buruk bagi citra presiden menyongsong pilpres 2019. 

Pertimbangan demikian tentu dengan asumsi masyarakat semua sependapat Ahok penista agama dan semua masyarakat "bodoh", logikanya linier semua. Kenyataannya, tidak semua masyarakat khususnya umat Islam sependapat bahwa Ahok telah menodai agama, dan pula masyarakat sudah cerdas. 

Bangsa Indonesia yang besar ini punya kearifan tersendiri dalam memandang mana kasus yang benar-benar murni hukum, dan mana kasus yang bertendensi kepentingan politik, seperti kasus Ahok ini, yang meledak pada saat momen pilkada. Dimana ucapan yang lebih kurang sama sudah pernah dilakukan Ahok sejak dalam pilkada Belitong Timur dulu, namun tidak heboh seperti dalam Pilkada Jakarta.

Jika berpikir dalam kerangka kebangsaan yang lebih luas, upaya mengubah pidana putusan Ahok sangat patut dipertimbangkan. Terutama agar publik tidak mempersepsi bahwa surah Almaidah ayat 51 telah bergeser dari norma agama yang berlaku hanya bagi penganut yang meyakininya, menjadi hukum positif atau aturan normatif yang berlaku umum di Indonesia, menjadi aturan pilkada, bahwa umat Islam dilarang memilih calon gubernur (atau bupati/wali kota) beragama non Islam. Bahaya sekali!

Pasalnya, putusan yang pukul rata pidato Ahok tersebut sebagai penodaan agama, secara tersirat bermakna bahwa regulasi pilkada terkait calon kepala daerah bukan lagi undang-undang, melainkan Almaidah 51. Setiap orang yang menyebut itu sebagai pembodohan dinilai sebagai penista agama. Padahal, Indonesia jelas-jelas bukan negara agama. 

Taroklah diandaikan presiden mengabulkan permohonan grasi yang diajukan Ahok, berupa mengurangi atau mengubah jenis pidana, publik diyakini tidak akan serta merta menstigmatisasi presiden sebagai pendukung penista agama, karena Ahok tetap menjalani pemidanaan. Ini lebih masuk akal dan relatif "aman" dibandingkan grasi berupa menghapuskan sama sekali pidana yang dikenakan pada Ahok.

Pada akhirnya kembali lagi ke Ahok apakah akan mengajukan permohonan grasi atau tidak. Permohonan grasi pada dasarnya beririsan dengan permohonan PK, karena sama-sama upaya yang legal. Dari sisi ini, pun, tak perlu ada keraguan. Dengan catatan, Ahok menyadari bahwa dirinya mengaku bersalah dan permohonannya itu belum tentu dikabulkan.

Jika Ahok hendak mengajukan permohonan grasi, tentu harus dilakukan dengan cepat, sebab masa pidana yang harus dijalaninya praktis tinggal tersisa sekitar lima bulan saja, sebelum masuk masa pembebasan bersyarat, dan akan bebas sama sekali tanggal 9 Mei 2019 mendatang atau mungkin lebih cepat dari itu jika memperhitungkan masa remisi yang diberikan.

Yang jelas, tanpa upaya untuk ubah putusan hakim tersebut, karir politik Ahok dipastikan tamat khusus untuk posisi presiden, wakil presiden dan diangkat sebagai menteri, kecuali undang-undangnya diubah melalui forum legislative review atau judicial review. Tanpa perubahan aturan, paling banter Ahok hanya bisa kembali menjadi kepala daerah seperti gubernur, bupati dan walikota.

Penulis pribadi sarankan Ahok tidak menempuh opsi grasi, karena itu lebih konsisten, gagah dan terhormat. 

Baca juga artikel terkait: Syarat Ini Ganjal Ahok Jadi Cawapres Jokowi.(*)

SUTOMO PAGUCI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun