Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Jika Diajukan, Inilah Alasan Mengapa Grasi Perkara Ahok Layak Dipertimbangkan

27 Maret 2018   12:40 Diperbarui: 2 April 2018   15:33 3279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ahok dalam sidang putusan, Selasa (9/5/2017). Foto: Kompas.com/Kristianto Purnomo

Sedangkan kelompok lain umat Islam yang merasa agamanya tidak ternodai dapat menjadi dasar bahwa tidak tepat memukul rata sebagai penodaan agama. Bukankah banyak saksi dan ahli beragama Islam yang diajukan pihak Ahok. Banyak lagi pendukung Ahok yang beragama Islam mengirimkan bunga, surat dan ucapan simpati kepadanya. Semua ini menjadi bukti bahwa memukul rata pidato Ahok sebagai penodaan agama adalah tidak tepat.

Fakta bahwa hanya golongan masyarakat tertentu saja yang merasa ternodai dari ucapan dalam pidato Ahok cukup menjadi alasan penerapan pasal yang berbeda. Dengan demikian, jelaslah, pasal yang lebih tepat adalah Pasal 156 KUHP (penistaan terhadap golongan masyarakat).

Dari sisi Ahok, sangat mungkin ada pertimbangan bahwa menerima putusan lebih baik demi kepentingan bangsa yang lebih luas, misalnya bahwa pengajuan grasi akan membebani presiden secara politik di tahun-tahun politik mendatang. Presiden dapat saja diasosiasikan sekubu dengan "penista agama" yang dampaknya buruk bagi citra presiden menyongsong pilpres 2019. 

Pertimbangan demikian tentu dengan asumsi masyarakat semua sependapat Ahok penista agama dan semua masyarakat "bodoh", logikanya linier semua. Kenyataannya, tidak semua masyarakat khususnya umat Islam sependapat bahwa Ahok telah menodai agama, dan pula masyarakat sudah cerdas. 

Bangsa Indonesia yang besar ini punya kearifan tersendiri dalam memandang mana kasus yang benar-benar murni hukum, dan mana kasus yang bertendensi kepentingan politik, seperti kasus Ahok ini, yang meledak pada saat momen pilkada. Dimana ucapan yang lebih kurang sama sudah pernah dilakukan Ahok sejak dalam pilkada Belitong Timur dulu, namun tidak heboh seperti dalam Pilkada Jakarta.

Jika berpikir dalam kerangka kebangsaan yang lebih luas, upaya mengubah pidana putusan Ahok sangat patut dipertimbangkan. Terutama agar publik tidak mempersepsi bahwa surah Almaidah ayat 51 telah bergeser dari norma agama yang berlaku hanya bagi penganut yang meyakininya, menjadi hukum positif atau aturan normatif yang berlaku umum di Indonesia, menjadi aturan pilkada, bahwa umat Islam dilarang memilih calon gubernur (atau bupati/wali kota) beragama non Islam. Bahaya sekali!

Pasalnya, putusan yang pukul rata pidato Ahok tersebut sebagai penodaan agama, secara tersirat bermakna bahwa regulasi pilkada terkait calon kepala daerah bukan lagi undang-undang, melainkan Almaidah 51. Setiap orang yang menyebut itu sebagai pembodohan dinilai sebagai penista agama. Padahal, Indonesia jelas-jelas bukan negara agama. 

Taroklah diandaikan presiden mengabulkan permohonan grasi yang diajukan Ahok, berupa mengurangi atau mengubah jenis pidana, publik diyakini tidak akan serta merta menstigmatisasi presiden sebagai pendukung penista agama, karena Ahok tetap menjalani pemidanaan. Ini lebih masuk akal dan relatif "aman" dibandingkan grasi berupa menghapuskan sama sekali pidana yang dikenakan pada Ahok.

Pada akhirnya kembali lagi ke Ahok apakah akan mengajukan permohonan grasi atau tidak. Permohonan grasi pada dasarnya beririsan dengan permohonan PK, karena sama-sama upaya yang legal. Dari sisi ini, pun, tak perlu ada keraguan. Dengan catatan, Ahok menyadari bahwa dirinya mengaku bersalah dan permohonannya itu belum tentu dikabulkan.

Jika Ahok hendak mengajukan permohonan grasi, tentu harus dilakukan dengan cepat, sebab masa pidana yang harus dijalaninya praktis tinggal tersisa sekitar lima bulan saja, sebelum masuk masa pembebasan bersyarat, dan akan bebas sama sekali tanggal 9 Mei 2019 mendatang atau mungkin lebih cepat dari itu jika memperhitungkan masa remisi yang diberikan.

Yang jelas, tanpa upaya untuk ubah putusan hakim tersebut, karir politik Ahok dipastikan tamat khusus untuk posisi presiden, wakil presiden dan diangkat sebagai menteri, kecuali undang-undangnya diubah melalui forum legislative review atau judicial review. Tanpa perubahan aturan, paling banter Ahok hanya bisa kembali menjadi kepala daerah seperti gubernur, bupati dan walikota.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun