Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gaji Guru Berbasis Kinerja Hasil Nilai Peserta Didik, Mungkinkah?

24 Maret 2018   06:00 Diperbarui: 24 Maret 2018   10:17 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting) selama ini hanya diberlakukan pada kegiatan atau program kerja pada suatu entitas anggaran (budget entity) seperti lembaga dan badan pemerintah.

Sementara itu, untuk individu per individu aparatur sipil negara (ASN), seperti guru, umumnya masih memiliki gaji dan tunjangan yang sifatnya tetap tiap bulan. Paling jauh ada pendapatan tambahan berbasis kinerja berupa tunjangan sertifikasi.

Ke depan, pendapatan guru perlu menyesuaikan dengan hasil akhir, misalnya mengacu evaluasi per semester, berdasarkan nilai rata-rata murid asuhannya. Jika rata-rata kelas mata pelajaran matematika hanya 30, misalnya, maka guru mata pelajaran tersebut hanya berhak mendapat penghasilan 30 persen dari standar gaji di satuan fungsional yang sama.

Dengan sistem ini mau tak mau guru akan mengajar berorientasi hasil, akan terpacu terus belajar, terus mengasah kreatifitas mengajar agar anak didiknya mendapat nilai yang bagus. Luar biasa jika mendapat gaji sampai 90 persen.

Mengapa gagasan ini penting, adalah karena sistem penggajian ASN guru saat ini kurang memacu guru untuk mengajar sepenuhnya berorientasi hasil, melainkan lebih ke rutinitas, paling banter ada tekanan kepala sekolah agar nama atau akreditasi sekolah menjadi baik. Tapi itu kurang mengikat dan memacu. Murid mau paham atau tidak materi ajar bodoh amat.

Kenyataannya, boleh dikatakan, sistem pengajaran di kelas saat ini belum sepenuhnya berhasil. Buktinya, menjamur lembaga privat bimbingan belajar (bimbel) bagi murid-murid sekolah formal untuk mengejar nilai rapor, ujian nasional dan ujian masuk perguruan tinggi. Inilah potret nyata kegagalan pengajaran sekolah formal.

Membludaknya peserta bimbel di lembaga-lembaga swasta membuktikan secara telak, bahwa sistem pengajaran sekolah formal kurang jitu berorientasi hasil, makanya murid-murid memilih pelajaran tambahan di luar.

Andai saja sistem pengajaran di kelas sekolah formal sepenuhnya telah berorientasi hasil, berupa standar nilai tertentu, maka tak diperlukan lagi murid-murid ikut bimbel. Untuk apa ikut bimbel, menghabiskan waktu dan biaya tambahan saja, jika pengajaran di sekolah sudah berstandar lebih dari bimbel.

Bukankah sebuah ironi besar, sistem pengajaran guru di sekolah formal yang telah tersistem nasional, besar-besaran, telah berlangsung lama, dengan anggaran luar biasa besar secara nasional, tapi dengan mudah dikalahkan oleh sistem pengajaran lembaga bimbel yang baru berdiri kemaren sore. Lebih ironis lagi instruktur bimbel itu berasal dari guru-guru dan dosen sekolah formal.

Dengan sistem belajar ala bimbel yang lebih menyenangkan dan interaktif, walau tidak sepenuhnya berorientasi hasil nilai akhir peserta didik, namun hasilnya kelihatan jauh lebih nyata dibandingkan hasil belajar pada guru di bangku sekolah formal. Apalagi jika sistem pengajarannya sepenuhnya berorientasi hasil, disamping cara mengajar yang interaktif dan menyenangkan, tentu lebih baik lagi.

Dengan pola pengajaran sekolah sekarang, yang bisa digantikan lembaga bimbel, untuk apa sekolah formal menghabiskan anggaran negara saja, toh pada akhirnya murid-murid merasa perlu ikut bimbel. Ekstrimnya, bubarkan saja sekolah formal, biar murid ikut bimbel saja. Tapi tentu itu tak mungkin, karena itu pengajaran sekolah formal perlu berbenah.

Sebagai mantan murid dan sekarang menjadi wali murid, penulis resah melihat sistem pengajaran di sekolah formal. Pagi-pagi anak sekolah sehari penuh, sorenya anak ke lembaga bimbel. Hal mana karena belajar di sekolah tak cukup jitu hasilnya, jadi perlu ditambal dengan ikut bimbel.

Andai saja sekolah formal mengajarkan mata pelajaran dengan orientasi hasil, sampai bisa/cakap, tentu tak perlu anak ikut bimbel. Waktu luang bisa untuk bermain, istirahat, salurkan bakat dan hobi.

Ini tidak. Anak seolah robot. Pagi sampai sore sekolah sehari penuh, sorenya langsung ikut bimbel/kursus, malamnya mengaji. Praktis tersisa waktu tipis saja untuk bermain dan istirahat. Mau jadi apa generasi begini?(*)

SUTOMO PAGUCI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun