Karena alasan inilah mengapa para pendaki atau penggiat alam bebas sebaiknya tidak sembarangan membuang sisa makanan. Jika ada sisa makanan sebaiknya dikubur dalam tanah.
Lihat apa yang terjadi. Bila sisa makanan tersebut dimakan oleh binatang liar, seperti burung jalak, maka burung ini akan kecanduan makanan manusia. Ternyata makanan manusia enak juga, banyak micinnya.
Diantara sisa makanan manusia favorit burung jalak Sumatera yang biasa penulis temui di berbagai hutan dan gunung adalah mie instan. Rasa gurih mie instan dengan kadar micin yang tinggi benar-benar membuat burung jalak ketagihan berat.
Saking ketagihannya, pola alami burung jalak jadi berubah, suka dekat dan ngintil manusia berharap ada makanan yang tercecer. Jika tidak ada mie instan, setidaknya remah nasi jadilah.
Gara-gara burung jalak suka ngintil pendaki gunung hingga ke puncak, tak jarang sebagian pendaki ke-ge-er-an merasa burung jalak itu memandu si pendaki biar tak kesasar. Wow! Baik benar ya burungnya.
Secara alami makanan burung jalak tersedia melimpah di hutan, seperti ulat, jangkrik, buah-buahan, belalang dan sebagainya. Gara-gara terkecap makanan manusia, pola makan alami burung jalak tersebut bergeser jadi pemburu makanan manusia.
Untunglah burung jalak yang kecanduan makanan manusia tersebut cukup beruntung selalu dapat makanan sisa di jalur pendakian yang ramai.
Bakal lain ceritanya andai burung jalak itu terbang jauh dan kehilangan jejak manusia yang biasa membuang sisa makanan sembarangan, bisa-bisa si jalak kelaparan. Ogah lagi makan makanan alam, sampai beberapa waktu hingga pola makan alaminya kembali. Beruntung jika pola makan alaminya kembali, jika tidak bisa-bisa si jalak mati kelaparan.
Penulis ingat contoh lain. Bagaimana kurus keringnya monyet-monyet di Pelawangan Sembalun, Gunung Rinjani, akibat pendakian ditutup rutin tiap tahun selama sekitar tiga bulan. Monyet-monyet itu terbiasa makan sisa pendaki tiba-tiba tak dapat makanan karena pendakian ditutup.
Kira-kira begitulah yang bakal terjadi pada burung jalak akibat kecanduan makanan manusia. Pola alaminya berubah yang dapat mengancam hidupnya, termasuk kemungkinan perubahan genetis yang sifatnya diturunkan. Terbayang betapa bahayanya.
Sudah sekian lama penulis mengamati perubahan perilaku burung jalak Sumatera akibat kecanduan makanan manusia, seperti dengan mudah ditemui di gunung Kerinci, Singgalang, Marapi, Talang, Dempo, Tandikat, Talamau dan lain-lain.
Di gunung Talamau, Pasaman Barat, Sumatera Barat, misalnya. Di sini relatif sepi pendaki, jadilah burung-burung jalak terlihat sangat agresif mengikuti pendaki berharap ada sisa makanan yang tercecer.
Berbeda dengan burung jalak di gunung Singgalang. Di sini relatif ramai pendaki hampir setiap hari, khususnya akhir minggu, jadi cukup tersedia sisa makanan pendaki yang berceceran di jalan dan pos-pos pemberhentian. Mudah saja jalak mendapat makanan.
Yang terbaik memang membiarkan binatang liar tetap liar. Jika pola alaminya berubah akan berantai dampaknya bagi ekosistem yang pada gilirannya dapat saja merugikan manusia itu sendiri.
Ada contoh lain yang lebih ekstrim. Jangankan membuang sisa makanan, sedangkan memegang lumut di rimba pakai tangan telanjang saja sebaiknya dihindari, karena bakteri di tangan sangat mungkin berpindah ke lumut tersebut dan mempengaruhi kesehatan dan mengancam mutasi genetis yang berbahaya.
Sangat mendesak advokasi bagi pelaku kegiatan alam bebas agar menjaga kelestarian alam yang dikunjungi. Jika tidak, rasakan dampak langsungnya, seperti banyak basecamp di gunung yang diserbu babi hutan yang kecanduan makanan manusia, hal yang dulu tak terjadi.
Jika sulit berpikir idealis, setidaknya praktis saja. Bahwa menjaga kelestarian alam pada dasarnya untuk kepentingan manusia sendiri, biar tenda aman dari babi hutan dan burung. Menentramkan melihat burung jalak tetap hidup alami dan bebas.(*)
SUTOMO PAGUCI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H