Penulis ingat contoh lain. Bagaimana kurus keringnya monyet-monyet di Pelawangan Sembalun, Gunung Rinjani, akibat pendakian ditutup rutin tiap tahun selama sekitar tiga bulan. Monyet-monyet itu terbiasa makan sisa pendaki tiba-tiba tak dapat makanan karena pendakian ditutup.
Kira-kira begitulah yang bakal terjadi pada burung jalak akibat kecanduan makanan manusia. Pola alaminya berubah yang dapat mengancam hidupnya, termasuk kemungkinan perubahan genetis yang sifatnya diturunkan. Terbayang betapa bahayanya.
Sudah sekian lama penulis mengamati perubahan perilaku burung jalak Sumatera akibat kecanduan makanan manusia, seperti dengan mudah ditemui di gunung Kerinci, Singgalang, Marapi, Talang, Dempo, Tandikat, Talamau dan lain-lain.
Di gunung Talamau, Pasaman Barat, Sumatera Barat, misalnya. Di sini relatif sepi pendaki, jadilah burung-burung jalak terlihat sangat agresif mengikuti pendaki berharap ada sisa makanan yang tercecer.
Berbeda dengan burung jalak di gunung Singgalang. Di sini relatif ramai pendaki hampir setiap hari, khususnya akhir minggu, jadi cukup tersedia sisa makanan pendaki yang berceceran di jalan dan pos-pos pemberhentian. Mudah saja jalak mendapat makanan.
Yang terbaik memang membiarkan binatang liar tetap liar. Jika pola alaminya berubah akan berantai dampaknya bagi ekosistem yang pada gilirannya dapat saja merugikan manusia itu sendiri.
Ada contoh lain yang lebih ekstrim. Jangankan membuang sisa makanan, sedangkan memegang lumut di rimba pakai tangan telanjang saja sebaiknya dihindari, karena bakteri di tangan sangat mungkin berpindah ke lumut tersebut dan mempengaruhi kesehatan dan mengancam mutasi genetis yang berbahaya.
Sangat mendesak advokasi bagi pelaku kegiatan alam bebas agar menjaga kelestarian alam yang dikunjungi. Jika tidak, rasakan dampak langsungnya, seperti banyak basecamp di gunung yang diserbu babi hutan yang kecanduan makanan manusia, hal yang dulu tak terjadi.