"Prinsip pencinta alam: Tidak mengambil sesuatu kecuali foto, tidak meninggalkan sesuatu kecuali jejak kaki, tidak membunuh sesuatu kecuali waktu."
Hampir setiap pendaki pemburu edelweiss yang penulis temui percaya pada mitos bahwa bunga edelweiss merupakan bunga abadi lambang keabadian cinta. Entah apa dasar rasionalnya, pokoknya percaya saja, namanya juga mitos.
Tidak selalu, tapi pendaki tipe begini biasanya juga percaya pada hal-hal berbau gaib di gunung, seperti hantu, dedemit, penunggu pohon, dan seterusnya. Jika ada pendaki tiba-tiba hilang kesadaran, maka akan langsung divonisnya kesurupan mahluk halus, sekalipun sebenarnya akibat keletihan atau hipotermia.
Karena percaya pada hal mitos demikian, maka salah satu tujuan para pendaki ini mendaki gunung adalah mencari bunga edelweiss, mengagumi, memetik, membawa pulang, lalu memberikannya pada orang tercinta sebagai oleh-oleh sekaligus pembuktian diri, dan sebagian lainnya disimpan sendiri.
Pastinya mereka sudah tahu bahwa bunga edelweiss merupakan tumbuhan langka yang dilindungi dan terlarang keras dipetik. Kalaupun seorang pendaki merasa tidak tahu kemungkinan besar hanya pura-pura belaka.
Belakangan diketahui bunga edelweis mengandung hormon etilen, yang berfungsi agar bunganya tidak mudah gugur. Nampaknya hal inilah yang jadi inspirasi lahirnya julukan bunga abadi, yang kemudian berkembang menjadi mitos lambang keabadian cinta. Ironisnya, dijuluki bunga abadi tapi menjadi tidak abadi karena ulah manusia.
Sepanjang pengamatan penulis, percaya pada mitos demikianlah akar permasalahan maraknya pencurian edelwiess di gunung. Rasa penasaran membuat pendaki berani kucing-kucingan memetik edelweiss. Ada kepuasan dan kebanggaan sendiri mendapatkan bunga edelweiss di gunung.
Bunga edelweiss, yang pucat itu, sebagaimana kita sama tahu, tidak lebih indah dibandingkan bunga mawar, bunga lily, bunga krisan, bunga padi,dan lainnya. Hanya saja, karena ia bunga langka, endemik di tempat tertentu saja, sulit dibudidayakan dan rawan mati saat tangkainya dipetik, karena itu pantas dilindungi.
Mengeramatkan, mengagung-agungkan secara berlebihan, membuat bunga edelweiss terancam tangan-tangan jahil pendaki alay. Andai saja tidak ada mitos demikian, dipercaya bunga ini nasibnya akan sama dengan bunga-bunga lain, seperti bunga cantigi, bunga ilalang, bunga padi, dan sebagainya, yang diabaikan sebagian besar pendaki.
Hal serupa terjadi pada Taman Edelweiss di sekitar puncak Gunung Marapi, jumlahnya terus berkurang dari tahun ke tahun. Penyusutannya luar biasa, jauh berkurang jumlahnya dibandingkan tahun 1990-an.
Selain perlunya penyebarluasan kampanye etika pendaki gunung, dan kesadaran pelestarian alam, perlu juga dibongkar akar masalah percaya mitos bahwa bunga edelweiss adalah bunga abadi lambang keabdian cinta.
Jika mitos itu dapat dihilangkan, akar masalah sudah ditemukan. Tinggal lagi penguatan etika dan penegakan peraturan dengan sanksi tegas bagi para pencuri edelweiss. Satu dan lain hal, bunga edelweiss bisa melindungi dirinya sendiri dengan hormon etilen, tapi tidak dari manusia.(*)
SUTOMO PAGUCI
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H