Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Pangkal Bala Percaya Mitos Bunga Edelweiss

1 Februari 2018   15:32 Diperbarui: 12 Oktober 2019   10:35 4281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Taman Edelweiss Gunung Marapi, Februari 2017. Jauh menyusut dibandingkan tahun 1990-an. (Dokpri)

"Prinsip pencinta alam: Tidak mengambil sesuatu kecuali foto, tidak meninggalkan sesuatu kecuali jejak kaki, tidak membunuh sesuatu kecuali waktu."

Hampir setiap pendaki pemburu edelweiss yang penulis temui percaya pada mitos bahwa bunga edelweiss merupakan bunga abadi lambang keabadian cinta. Entah apa dasar rasionalnya, pokoknya percaya saja, namanya juga mitos.

Tidak selalu, tapi pendaki tipe begini biasanya juga percaya pada hal-hal berbau gaib di gunung, seperti hantu, dedemit, penunggu pohon, dan seterusnya. Jika ada pendaki tiba-tiba hilang kesadaran, maka akan langsung divonisnya kesurupan mahluk halus, sekalipun sebenarnya akibat keletihan atau hipotermia.

Karena percaya pada hal mitos demikian, maka salah satu tujuan para pendaki ini mendaki gunung adalah mencari bunga edelweiss, mengagumi, memetik, membawa pulang, lalu memberikannya pada orang tercinta sebagai oleh-oleh sekaligus pembuktian diri, dan sebagian lainnya disimpan sendiri.

Pastinya mereka sudah tahu bahwa bunga edelweiss merupakan tumbuhan langka yang dilindungi dan terlarang keras dipetik. Kalaupun seorang pendaki merasa tidak tahu kemungkinan besar hanya pura-pura belaka.

Taman Edelweiss Gunung Marapi, Februari 2017. Jauh menyusut dibandingkan tahun 1990-an. (Dokpri)
Taman Edelweiss Gunung Marapi, Februari 2017. Jauh menyusut dibandingkan tahun 1990-an. (Dokpri)
Entah sejak kapan persisnya ada mitos bahwa bunga eldeweiss, yang biasa tumbuh di gunung, merupakan bunga abadi lambang keabadian cinta. Sejak dahulu sekali sudah lazim terdengar mitos begini. Yang jelas bunga ini pertama kali diteliti oleh ahli botani asal Jerman bernama Georg Karl Reinwardt tahun 1819 di lereng Gunung Gede.

Belakangan diketahui bunga edelweis mengandung hormon etilen, yang berfungsi agar bunganya tidak mudah gugur. Nampaknya hal inilah yang jadi inspirasi lahirnya julukan bunga abadi, yang kemudian berkembang menjadi mitos lambang keabadian cinta. Ironisnya, dijuluki bunga abadi tapi menjadi tidak abadi karena ulah manusia.

Sepanjang pengamatan penulis, percaya pada mitos demikianlah akar permasalahan maraknya pencurian edelwiess di gunung. Rasa penasaran membuat pendaki berani kucing-kucingan memetik edelweiss. Ada kepuasan dan kebanggaan sendiri mendapatkan bunga edelweiss di gunung.

Terciduk! Ditegur, bunga edelweisnya spontan dibuang. Kejadian di puncak hutan mati Gunung Talang, Sabtu (5/8/2017) 13.55 WIB (Dokpri)
Terciduk! Ditegur, bunga edelweisnya spontan dibuang. Kejadian di puncak hutan mati Gunung Talang, Sabtu (5/8/2017) 13.55 WIB (Dokpri)
Padahal, andai saja pendaki mau menggunakan akalnya dengan kritis, termasuk mempertanyakan berbagai mitos di gunung, tentunya akan melihat bahwa bunga edelwiess sebenarnya biasa-biasa saja. Tidak ada abadi-abadinya. (Abadi apaan, coba, cuma bunga begitu doang).

Bunga edelweiss, yang pucat itu, sebagaimana kita sama tahu, tidak lebih indah dibandingkan bunga mawar, bunga lily, bunga krisan, bunga padi,dan lainnya. Hanya saja, karena ia bunga langka, endemik di tempat tertentu saja, sulit dibudidayakan dan rawan mati saat tangkainya dipetik, karena itu pantas dilindungi.

Mengeramatkan, mengagung-agungkan secara berlebihan, membuat bunga edelweiss terancam tangan-tangan jahil pendaki alay. Andai saja tidak ada mitos demikian, dipercaya bunga ini nasibnya akan sama dengan bunga-bunga lain, seperti bunga cantigi, bunga ilalang, bunga padi, dan sebagainya, yang diabaikan sebagian besar pendaki.

Tinggal kenangan, edelweis di cadas gunung Talang tahun 2016 lalu (dokpri)
Tinggal kenangan, edelweis di cadas gunung Talang tahun 2016 lalu (dokpri)
Di gunung Talang, Solok, Sumatera Barat, misalnya. Penyusutan jumlah bunga edelweiss luar biasa dahsyat. Dalam tiga tahun terakhir bunga ini nyaris habis di sekitar lereng cadas menuju puncak hutan mati. Padahal, tiga tahun sebelumya masih cukup banyak ditemui rumpun edelweiss yang lebat di kiri-kanan trek menuju puncak. Sedangkan di sekitar hutan mati bunga ini sudah nyaris habis sama sekali!

Hal serupa terjadi pada Taman Edelweiss di sekitar puncak Gunung Marapi, jumlahnya terus berkurang dari tahun ke tahun. Penyusutannya luar biasa, jauh berkurang jumlahnya dibandingkan tahun 1990-an.

Selain perlunya penyebarluasan kampanye etika pendaki gunung, dan kesadaran pelestarian alam, perlu juga dibongkar akar masalah percaya mitos bahwa bunga edelweiss adalah bunga abadi lambang keabdian cinta.

Jika mitos itu dapat dihilangkan, akar masalah sudah ditemukan. Tinggal lagi penguatan etika dan penegakan peraturan dengan sanksi tegas bagi para pencuri edelweiss. Satu dan lain hal, bunga edelweiss bisa melindungi dirinya sendiri dengan hormon etilen, tapi tidak dari manusia.(*)

SUTOMO PAGUCI

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun